Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: ISESS
Kab/Kota: Cipinang
Kasus: pembunuhan, pencurian
Tokoh Terkait
Problem di tubuh kepolisian bisa berakibat salah tangkap
Alinea.id
Jenis Media: News

Di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Jakarta Timur, ketika keduanya tengah menjalani hukuman, mereka bertemu dengan Gunel yang masih punya hubungan darah dengan Sengkon. Gunel ditangkap karena kasus pencurian. Kepada Sengkon, Gunel mengaku sebagai pelaku perampokan dan pembunuhan yang dituduhkan kepada Sengkon dan Karta.
Pada Oktober 1980, komplotan Gunel pun ditangkap. Akhirnya, November 1980, Sengkon yang divonis 7 tahun dan Karta yang divonis 12 tahun dibebaskan dari penjara usai segala macam proses hukum.
Menanggapi hal itu, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan, polisi sudah dibekali ilmu kriminologi, penyidikan, forensik, dan kemampuan autopsi yang mumpuni. Maka, amat disayangkan jika terjadi beberapa kejadian salah tangkap. Ketika salah tangkap terjadi, kata Bambang, artinya anggota yang bertugas tidak mengedepankankan ilmu maupun profesionalitasnya.
“Ini kan tergantung kemauan polisi. Kalau secara institusi sudah terpenuhi. Namun tidak secara personal yang kerap sepele melihat masalah dan tidak mau repot,” kata Bambang kepada Alinea.id, Rabu (29/5).
Bambang pun menilai, beberapa penyidik kerap menggunakan data sekadarnya, tanpa melaksanakan prosedur yang ada. Kemudian, alat bukti penyidikan sebatas keterangan pelaku, yang sering diperoleh dengan intimidasi dibuat supaya mengaku. Pengakuan tersebut dianggap merupakan alat bukti dengan bobot terkuat, sehingga bisa menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Padahal, katanya, alat bukti masih ada yang bersifat circumstantial evidence atau bukti tidak langsung. Misalnya, sidik jari, senjata yang digunakan sebagai alat membunuh, maupun barang-barang lainnya yang ada di sekitar tempat kejadian perkara (TKP). Sementara, setiap orang dengan asas praduga tak bersalah berhak untuk mengingkari tuduhan apa pun.
“Antisipasinya bukan dengan dipaksa mengaku, melainkan penyidikan secara ilmiah, seperti forensik sebagai bukti materil harus dikejar,” ujar Bambang.
Terpisah, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) Edi Saputra Hasibuan menganggap, Polri secara sumber daya manusia masih dalam kondisi tidak baik. Padahal, standar pemenuhan alat bukti yang cukup, minimal hanya dua. Nafsu akan pengakuan seorang tersangka menjadi motivasi. Sayangnya, kata dia, didapatkan dengan kekerasan, bukan penyidikan ilmiah.
“Polisi jangan terlalu mengandalkan pengakuan. Yang penting bisa buktikan, berdasarkan (alat) bukti,” ujar Edi, Rabu (29/5).
Di sisi lain, Bambang mengatakan, salah tangkap sering terjadi pada masyarakat kalangan bawah. Minimnya akses dan tidak melek hukum, menjadikan kelompok ini sangat rentan diintimidasi.
Fungsi pengawasan, ujar Bambang, perlu berfokus pada mentalitas. Secara struktur, Kapolri Listyo Sigit Prabowo harus menjalankan fungsi Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum) Polri. Irwasum sendiri merupakan unsur pengawas dan pembantu pimpinan di tingkat Mabes Polri, yang berada di bawah Kapolri.
Lebih lanjut, Bambang menjelaskan, mental kejar target penyelesaian kasus secara kuantitas pun menjadi persoalan. Akibatnya, kasus yang selesai dianggap prestasi. Padahal, kualitas penyidikan rendah. Belum lagi tak kompak antara satuan di tubuh kepolisian. Misalnya, oknum bermasalah di divisi profesi dan pengamanan (propam), tetapi dapat promosi dari bidang SDM Polri.
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) juga tidak bisa berbuat banyak. Sebab, tiga orang dari sipil sebagai komisioner terbilang minoritas.
“Moral integritas itu fluktuatif. Apalagi polisi manusia biasa, belum tentu bisa objektif,” kata Bambang.
Di samping itu, Edi mempersoalkan kondisi anggota di lapangan yang masih “buta” dan “tuli” soal profesionalisme. Apalagi, ketika terkait penetapan status tersangka terhadap seseorang. Maka, pengawasan dari masyarakat dan warganet perlu diusahakan.
“Polisi harus meningkatkan profesionalisme. Sekolah yang pintar sampai doktor, jangan sampai masyarakat lebih pintar soal hukum daripada polisinya,” kata Edi.
Sentimen: negatif (66.6%)