Sentimen
Negatif (99%)
19 Apr 2024 : 06.55
Informasi Tambahan

Grup Musik: APRIL

Institusi: UNPAD

Kab/Kota: Bogor

Kasus: kekerasan seksual

Aturan Impor dan Barang Bawaan Dibatalkan Setelah Cek Ombak, Pertanda Ada Prosedur yang Dilanggar?

19 Apr 2024 : 06.55 Views 5

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional

Aturan Impor dan Barang Bawaan Dibatalkan Setelah Cek Ombak, Pertanda Ada Prosedur yang Dilanggar?

PIKIRAN RAKYAT - Pembatalan atau revisi peraturan yang dibuat pemerintah dalam produk hukum apa pun -mulai dari peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga eksekutif maupun yang melalui proses penyusunan bersama lembaga legislatif, memberikan sinyalemen bahwa ada prosedur pembuatan aturan yang dilanggar sehingga mengurangi kredibilitas pemerintah. Hal itu juga menandakan kegagalan presiden dalam mengontrol menteri-menterinya, sehingga menghasilkan kebijakan yang tidak tepat.

Yang terbaru, yakni pencabutan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor yang telah diubah menjadi Permendag Nomor 3 Tahun 2024, per 16 April 2024. Berdasarkan versi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, aturan tersebut ‘hanya’ direvisi kembali.

Pengamat Hukum Giri Ahmad Taufik menilai, pembatalan maupun revisi peraturan yang sifatnya mengikat umum seperti Permendag, memperkuat sinyal adanya beberapa prosedur yang dilanggar pada saat penyusunannya. Misalnya, proses pada tahap pengkajian yang seharusnya mengukur dampak jika peraturan tersebut dikeluarkan kepada publik.

“Jadi, dampaknya harus dinilai terlebih dahulu dalam proses pengkajian. Bukan dilihat ketika peraturan sudah disahkan,” kata Dosen Pascasarjana Universitas Djuanda Bogor yang juga merupakan peneliti PSKN Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran ini, ketika dihubungi Pikiran Rakyat, Rabu, 17 April 2024.

Untuk mengukur dampak, ada salah satu fase yang disebut partisipasi masyarakat, di mana pemrakarsa peraturan ini harus mengajak stakeholder berdiskusi dengan mengajak bicara, menerima masukan, serta mengolah masukan tersebut sebelum disahkan menjadi peraturan. Partisipasi tersebut harus bersifat bermakna atau meaningful participation.

“Artinya jika peraturan ini menuai kontroversi setelah disahkan, proses partisipasinya tidak mengacu pada langkah-langkah itu, tidak menganalisis dampak juga. Ini yang menyebabkan aturan seperti itu mendapatkan penolakan luas dari masyarakat,” tutur Giri.

Adapun syarat utama dalam partisipasi bermakna, yakni kontroversi yang muncul sebelum pengesahan. Dalam menghadapinya, pembuat kebijakan seharusnya melakukan langkah mitigasi, dengan menerima masukan dan memformulasikan peraturan yang menjawab aspirasi sebagian besar masyarakat. Bukan justru menimbulkan kontroversi baru ketika sudah disahkan.

Jika 'cek ombak' dilakukan setelah peraturan disahkan, dampak negatifnya justru berbalik kepada pemerintah, karena menunjukkan pemerintahan yang tidak kredibel. Hal itu akan terasa antara lain ketika melakukan proses penegakan hukum sehingga menjadi problematik.

Meskipun diputuskan secara ‘internal’, dalam Perpres No. 68 tahun 2021 disebutkan bahwa setiap rancangan peraturan menteri/kepala lembaga yang akan ditetapkan oleh menteri/kepala lembaga wajib mendapatkan persetujuan presiden. Dengan demikian, pembatalan atau revisi sebuah peraturan bisa juga menandakan kegagalan sistem pemerintahan (presiden) dalam mengontrol bawahannya, yakni melakukan evaluasi sebelum peraturan tersebut disahkan.

“Seharusnya presiden juga bisa melihat potensi dampak yang mungkin timbul, untuk memastikan bahwa proses pembentukan peraturan sudah sesuai dengan prosedur,” ujarnya.

Jika diperhatikan, beberapa peraturan yang dibatalkan atau direvisi adalah aturan yang kontroversial, karena dinilai memberatkan masyarakat. Menurut Giri, hal itu lantaran ada kecenderungan dari presiden untuk tidak melibatkan masyarakat di dalam diskusi penyusunan kebijakan.

Misalnya, dalam proses pengesahan UU Omnibus Law maupun Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang menyiratkan ada keengganan pemerintah untuk berdiskusi dengan publik. Artinya, kata Giri, ada fase di mana pengambil kebijakan gagal melibatkan masyarakat untuk mengukur dampak ketika aturan tersebut dikeluarkan.

Melihat proses pembentukan beberapa produk hukum tersebut, ada pula sinyalemen bahwa pemerintah tidak mendengarkan aspirasi masyarakat, meskipun sudah disuarakan secara masif. Sehingga, hanya dianggap menjadi gangguan yang diabaikan pemerintah.

Disebutkan Giri, ketidakefektifan suara publik tersebut disebabkan karena fungsi kontrol DPR yang lemah. Bahkan, dalam kasus proses pembahasan dua produk hukum tersebut, ada represi keras yang dilakukan pemerintah.

“Seharusnya dalam negara demokratis, suara-suara itu dilontarkan oleh oposisi di parlemen. Sayangnya, dalam pemerintahan saat ini hampir tidak ada oposisi, sehingga bukan merupakan indikasi keberhasilan suara publik,” tutur Giri.***

Sentimen: negatif (99.8%)