Sentimen
Positif (99%)
11 Apr 2024 : 08.25
Informasi Tambahan

Grup Musik: APRIL

Kab/Kota: Semarang, Ngawi

Kasus: Maling

Mudik PMI Tercekik Aturan Baru Bea Cukai, Nasib Pilu Pahlawan Devisa 'Diperas' Negara

11 Apr 2024 : 08.25 Views 10

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional

Mudik PMI Tercekik Aturan Baru Bea Cukai, Nasib Pilu Pahlawan Devisa 'Diperas' Negara

PIKIRAN RAKYAT - Pekerja Migran Indonesia (PMI) atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI) mengungkapkan amarah mereka kala kembali pulang ke Indonesia. Bagaimana tidak? Barang-barang yang mereka kirimkan kini tertahan di Bea Cukai.

Aturan baru Bea Cukai mengenai batas jumlah barang bawaan dari luar negeri diumumkan setelah mereka mengirimkan berbagai paket dari negara tempat bekerja. Begitu tiba di Tanah Air, paket-paket itu pun tak kunjung sampai ke rumah, karena tertahan di Bea Cukai tanpa alasan yang jelas.

Salah satu PMI yang bekerja di Taipei, Tutik (50) pun terdengar jengkel gara-gara barang yang dikirim sejak 5 Februari 2024 tak kunjung sampai di rumahnya di Ngawi, Jawa Timur. Padahal, biasanya kiriman yang diangkut menggunakan jasa ekspedisi langganannya selalu tiba tidak lebih dari satu bulan.

Akan tetapi, kali ini pihak ekspedisi mengatakan bahwa barang-barang yang dikemas sebanyak empat kardus itu tertahan di Bea Cukai Semarang tanpa alasan jelas.

"Saya cek di aplikasi ekspedisi tiba di pelabuhan 13 Maret 2024, sampai sekarang masih antre katanya di bea cukai," ucap Tutik, Senin 8 April 2024.

Empat kardus yang dikirimnya itu terdiri dari dua kardus berukuran besar dan dua kardus kecil. Tak ada yang spesial atau mahal di dalamnya, kebanyakan adalah barang-barang bekas pemberian majikannya yang sudah meninggal di panti jompo.

Misalnya baju bekas, sandal bekas, dan tas bekas. Termasuk popok dewasa, susu, dan beberapa makanan ringan sebagai oleh-oleh lebaran.

"Enggak ada barang branded, tidak ada barang baru. Semuanya saya beli kadang sudah terpakai sekali atau dua kali, baru dikirim pulang. Intinya barang-barang bekas kita lah dan yang dikasih majikan," tutur Tutik.

"Itu pun baju-baju saya beli saat diskon, saya kumpulin dari jatah uang makan dari majikan. Saya beli mainan, anak minta coklat, suami minta dibelikan kopi," ujarnya menambahkan.

Tutik mengaku tak habis pikir dengan kebijakan pemerintah yang menahan barang-barangnya tersebut. Sebab, semua barang itu dibeli dari hasil jerih payahnya bekerja selama sembilan tahun di Taipei. Dia bahkan merasa diperlakukan seperti pelaku kejahatan.

"Terus terang saya kecewa, kami di sini kondisinya susah, eh malah kena tahan. Ya Allah... Padahal cuma makanan buat Lebaran di rumah. Sakit rasanya diperlakukan begini," katanya.

"Kami bukan maling, bukan koruptor, barang-barang itu bukan untuk diperjualbelikan. Saya kumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk menyenangkan keluarga," ucap Tutik menambahkan.

Kini, dia hanya bisa pasrah dengan nasib barang-barangnya. Pihak ekspedisi tak bisa memastikan kapan kirimannya lolos dari antrean bea cukai Semarang.

Tutik sempat terpikir untuk menghubungi suaminya di Ngawi agar menjemput sendiri barang kirimannya. Sebab untuk mengirim dari Taipei ke Indonesia, dia harus membayar ongkos ekspedisi sekitar Rp3 juta.

Itu mengapa dia sangat berharap pemerintah tidak mempersulit barang-barang kiriman pekerja migran yang disebutnya tidak mahal tersebut.

"Dengan segala hormat kepada Presiden saya mohon jangan dipersulit untuk pengiriman barang-barang kami yang cuma baju bekas. Saya takut makanan-makanan itu bisa kedaluwarsa. Tolong bapak-bapak kami penyumbang devisa negara, bukan koruptor," tutur Tutik.

Minta PMI Dibebaskan dari Aturan Baru Bea Cukai

etua Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (Sekar Bumi), Karsiwen mengatakan bahwa apa yang dialami Tutik juga terjadi pada buruh migran lainnya di banyak negara. Dari laporan yang dia terima, barang-barang yang dikirim sebelum revisi Peraturan Menteri Perdagangan nomor 36 tahun 2023 tentang kebijakan dan pengaturan impor itu terhambat di bea cukai.

Padahal, harusnya diberikan jeda waktu bagi barang yang dikirim sebelum peraturan tersebut diterapkan. Imbasnya, ada keluarga pekerja migran yang akhirnya terpaksa menebus beberapa barang kirimannya karena dianggap sebagai 'barang impor'.

"Aturan ini kan saklek banget, harusnya ada jeda waktu sosialisasi kepada teman-teman buruh yang sudah duluan mengirim barangnya. Nah ini kan tidak," ujar Karsiwen.

Dia memaparkan, Kementerian Perdagangan dan Bea Cukai sebetulnya telah menggelar sosialisasi online dengan sejumlah kelompok buruh migran pada 22 Maret lalu. Di situ, disampaikan bahwa ada pengecualian bebas izin impor terhadap barang kiriman pekerja migran Indonesia, seperti pakaian jadi dan aksesori pakaian jadi dengan kondisi baru.

Maksimal yang boleh dikirim sebanyak lima buah dan dalam kondisi tidak baru maksimal 15. Barang tekstil sudah jadi lainnya yang dalam kondisi baru atau tidak baru, dibatasi lima.

Barang elektronik yang tidak termasuk telepon seluler, komputer genggam dan kimputer tablet dalam kondisi baru atau tidak baru maksimal dua. Ada juga alas kaki dalam kondisi baru atau tidak baru dibatasi dua, kosmetik dan perbekalan kesehatan rumah tangga dalam kondisi baru atau tidak baru maksimal lima. Lalu, mainan anak dalam kondisi baru atau tidak baru dibatasi empat.

Pajak Tak Masuk Akal

Akan tetapi, yang jadi masalah, terhadap barang-barang yang jumlahnya melebihi batasan dikenakan pajak yang angkanya disebut 'tidak masuk akal'. Sebab barang-barang itu kebanyakan dibeli dengan harga diskon.

"Itu hitungan pajaknya bagaimana? Karena kadang ada barang yang beli diskonan dan pihak bea cukai mengecek harga dengan standar harga normal untuk menetapkan pajaknya. Kan jadi rancu kalau tidak ada proses interview saat mengecek barang-barang itu. Ini yang belum jelas," kata Karsiwen.

"Kasihan keluarga penerima, dia terima paketan harus bayar sekian untuk ambil barang. Jadi beban ganda untuk pekerja migran dan keluarganya," ucapnya menambahkan.

Bagi Karsiwen, kebijakan yang diberlakukan kepada pekerja migran ini bukanlah pengecualian seperti yang diklaim Kementerian Perdagangan. Namun, sama seperti warga lainnya karena tetap ada batasan maksimum total barang yang dikirim ke Indonesia tak boleh lebih dari 1.500 dolar AS atau sekitar Rp23,8 juta.

Sementara untuk menaksir barang-barang kiriman para buruh migran tak lebih dari angka itu, dia mempertanyakan cara penghitungannya. Karena lagi-lagi, barang yang dikirim kebanyakan dibeli ketika ada potongan harga alias diskon atau pemberian dari majikan.

Karsiwen mengungkapkan, mustahil ada pekerja migran yang rela menghabiskan gajinya demi membeli barang mewah bermerek. Belum lagi ongkos untuk pengiriman lewat ekspedisi terbilang mahal.

"Jadi janganlah mereka dicurigai kirim barang untuk dagangan atau jastip-jastip itu, karena ongkosnya tidak murah," ujarnya.

Karsiwen pun berharap pemerintah membebaskan sepenuhnya pekerja migran Indonesia dari peraturan yang disebutnya "ruwet" tersebut. Kalaupun ada dugaan barang impor selundupan yang mengatasnamakan pekerja migran, bisa dicek ulang identitas pengirim dan penerimanya apakah betul-betul TKI atau bukan.

Adapun terhadap barang-barang yang dikirim sebelum Permendag diberlakukan agar dilepaskan dari gudang bea cukai.

"Jumlah buruh migran itu sembilan juta, ada yang bekerja di perkebunan dan tak tahu informasi ini, apakah tidak ada pengecualian? Kami buruh migran mau lebaran, sudah keluarkan ongkos kirim eh barangnya ditahan sementara besok lebaran. Ujung-ujungnya barang itu ke mana dan untuk siapa? Kalau disuruh bayar pajak, enggak sanggup lah," tutur Karsiwen, dikutip Pikiran-Rakyat.com dari BBC.***

Sentimen: positif (99.8%)