Sentimen
Positif (96%)
30 Mar 2024 : 18.46
Informasi Tambahan

Grup Musik: APRIL

Tokoh Terkait

Potongan THR dan Gaji Maret 2024 Bikin Resah, Cacat Komunikasi Pemerintah Buat Rakyat Susah

30 Mar 2024 : 18.46 Views 9

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional

Potongan THR dan Gaji Maret 2024 Bikin Resah, Cacat Komunikasi Pemerintah Buat Rakyat Susah

PIKIRAN RAKYAT - Pengamat pajak sekaligus manajer riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar mengatakan bahwa reaksi negatif dari masyarakat muncul karena pemerintah tidak mengomunikasikan dengan baik penerapan skema tarif efektif rata-rata (TER).

Dia pun mempertanyakan, jika ujung-ujungnya beban pajak seseorang dalam setahun akan tetap sama, mengapa skemanya mesti diubah?

Pemerintah, terutama pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, berulang kali mengatakan bahwa skema TER bertujuan mempermudah penghitungan PPh pasal 21. Aturan itu diadopsi dari best practice yang telah dijalankan secara global.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Dwi Astuti menuturkan bahwa skema TER memudahkan perusahaan menghitung dan memotong pajak penghasilan karyawan.

Selain itu, karyawan juga bisa lebih mudah menghitung jumlah kredit pajaknya di akhir tahun dan melakukan koreksi bila ada kesalahan perhitungan.

"Kemudahan penghitungan pajak terutang melalui penerapan tarif efektif diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pelaporan SPT masa PPh pasal 21 oleh pemberi kerja," tutur Dwi Astuti.

Sebagai catatan, hanya ada 11,6 juta wajib pajak orang pribadi yang melaporkan perhitungan dan pembayaran pajaknya untuk tahun 2022, merujuk data pemerintah per Maret 2023. Padahal pada tahun yang sama, ada 135,3 juta penduduk Indonesia yang bekerja, menurut data Badan Pusat Statistik per Agustus 2022.

Berarti, hanya 8,6 persen dari seluruh orang Indonesia yang bekerja yang melaporkan pajaknya pada saat itu. Namun, Fajry Akbar dari CITA mempertanyakan, kemudahan apa sebenarnya yang disebut pemerintah muncul dari penerapan skema TER.

"Para praktisi (seperti konsultan pajak) sebenarnya komplain juga, bahwa 'simplifikasi' ini enggak betul-betul membantu mereka, enggak benar-benar memudahkan mereka," katanya.

"Simplifikasinya di mana? Bahkan mereka malah protes bahwa ini hanya nambah kerjaan mereka," ucap Fajry Akbar menambahkan.

Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Suryo Utomo sebelumnya sempat mengatakan bahwa ada sekiranya 400 skenario pemotongan pajak penghasilan di skema lama, mengindikasikan kerumitan yang harus dihadapi berbagai perusahaan saat memotong pajak karyawannya.

Dengan TER, perusahaan sebagai pemotong pajak memang akan lebih mudah melakukan penghitungan untuk periode Januari-November. Namun, pada Desember perusahaan tetap harus kembali menggunakan skema lama untuk mencari angka PPh pada bulan terakhir.

"Ujung-ujungnya sama saja," ujar Suryo Utomo.

Jerit Masyarakat 'Digerogoti' Pajak

Membengkaknya pemotongan gaji dan Tunjangan Hari Raya (THR) Lebaran 2024 yang diterima para karyawan, membuat mereka menjerit. Bahkan di media sosial, banyak warganet yang terkejut dan komplain karena potongan pajaknya dirasa begitu besar.

Ada yang mengatakan bahwa potongan pajaknya pada Maret 2024 lebih tinggi dari upah minimum regional (UMR) Jakarta. Ada juga yang bilang potongan pajaknya bisa untuk jatah makan sebulan.

"THR sekecil ini berkelahi dengan pajak," kata akun @ryu****.

Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2023 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 tahun 2023 menjadi dasar penerapan skema TER. Masing-masing aturan itu terbit pada 27 dan 29 Desember 2023, hanya beberapa hari jelang implementasinya pada 1 Januari 2024.

Oleh karena itu, sejak awal tahun, berbagai perusahaan mulai mengabarkan perubahan skema penghitungan PPh ini kepada para karyawannya. Misalnya, perusahaan e-commerce tempat Dila (nama disamarkan) bekerja.

"Tapi (orang-orang) enggak memperhatikan dan memusingkan. Ternyata pas turun THR dan gajian, cukup berasa banget dampaknya," tuturnya.

Besarnya potongan pajak atas pengasilan dan tunjangan hari raya (THR) Lebaran 2024 yang cair pada Maret membuat banyak orang terkejut. Biang keroknya adalah skema baru penghitungan dan pemungutan pajak penghasilan (PPh) yang diterapkan sejak Januari 2024.

Aturan baru itu disebut hanya menambah pekerjaan praktisi pajak, dan memaksa banyak orang mengatur ulang rencana keuangannya. Apalagi menjelang Lebaran 2024 yang akan jatuh pada pekan kedua April, berbagai perusahaan telah menyalurkan THR bersamaan dengan gaji bulanan pegawainya di minggu terakhir Maret.

Akan tetapi, bagi banyak orang, hari gajian kali ini justru jadi hari yang mengejutkan. Termasuk salah seorang karyawan perusahaan e-commerce di Jakarta, Dila (nama disamarkan).

"Ini udah THR-an? Serius? Kok segini?" ucap para karyawan.

Berbagai pertanyaan itu terlontar setelah mereka mengecek rekening tabungan tepat pada hari gajian atau payday pada 25 Maret 2024. Di luar THR dan tunjangan lembur yang sifatnya tak tetap, Dila biasanya mendapat penghasilan kotor sebesar Rp12,8 juta per bulan, termasuk gaji pokok senilai Rp11 juta.

Setelah dipotong PPh serta iuran BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan, angka bersihnya kira-kira Rp11,6 juta. Itu menggunakan perhitungan PPh dengan asumsi Dila tidak pernah lembur dan menggunakan fasilitas asuransi dan kesehatan (benefit in kinds).

Pada Maret 2024, Dila mendapat THR senilai satu bulan gaji pokok dan tunjangan lembur hingga Rp2,1 juta. Oleh karena itu, penghasilan kotornya mencapai sekitar Rp26 juta.

Akan tetapi, angka bersih yang masuk ke rekeningnya hanya Rp22,1 juta. Di luar potongan untuk iuran BPJS, PPh-nya saja menyentuh Rp3,4 juta.

"Pajak THR tahun ini kayak diam-diam menghanyutkan," ujar Dila.

"Mencoba menerima tapi enggak ikhlas," ucapnya menambahkan.

Mengapa Potongan Pajak Maret 2024 Melonjak?

Sejak 1 Januari 2024, pemerintah menerapkan skema penghitungan baru untuk potongan pajak atas penghasilan individu, atau kerap disebut PPh pasal 21. Aturan itu merujuk nomor pasal di Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Skema baru ini menggunakan tarif efektif rata-rata (TER) yang terbagi menjadi dua jenis: tarif efektif bulanan untuk pegawai tetap dan pensiunan serta tarif efektif harian untuk pegawai tidak tetap.

Karena Dila adalah pegawai tetap yang bekerja di perusahaan swasta, penghitungan pajaknya menggunakan tarif efektif bulanan. Di skema lama, seorang wajib pajak mesti menghitung jumlah total pemasukan bersihnya selama setahun, lalu menguranginya dengan angka penghasilan tidak kena pajak (PTKP), agar mendapat besaran penghasilan kena pajak (PKP).

Tarif pajak dengan lima lapisan berbeda lantas dikenakan ke PKP itu untuk mengetahui jumlah pajak yang harus dibayar dalam setahun. Angka setahun itu lalu dibagi 12 untuk mendapat angka potongan PPh bulanan.

Sedangkan di skema baru yang menggunakan TER, potongan PPh dihitung tiap bulannya dari Januari hingga November alih-alih mencari rata-rata setahun. Semakin besar penghasilan bruto bulanan, kian tinggi pula persentase TER yang digunakan dalam perhitungan.

Jadi, angkanya bisa berbeda dari satu bulan ke bulan lain tergantung besaran pemasukan bruto seseorang. Oleh karena itu, potongan PPh di bulan Maret atas pemasukan yang mencakup THR jadi lebih besar dibandingkan Februari yang tanpa THR.

Contohnya Dila yang pada Maret 2024, potongan PPh-nya mencapai Rp3,4 juta karena pemasukan brutonya melonjak setelah ada tambahan THR, tunjangan lembur, dan komponen layanan asuransi dan kesehatan (yang juga masuk perhitungan PPh).

Padahal pada bulan lainnya, saat tak ada tambahan-tambahan tersebut, potongan pajak Dila berdasarkan hitungan TER hanya sekitar Rp840 ribu. Hal serupa dirasakan Anita (nama disamarkan).

"Setelah dihitung, saya harus membayar pajak 3,6 kali lebih banyak dibanding pembayaran pajak pada bulan lain tanpa adanya THR," katanya.

"Hal ini membuat saya harus mengatur ulang anggaran rumah tangga. Apalagi ini momen mudik, sudah hitung-hitungan budget berapa untuk mudik dan menyisihkan untuk tabungan. Akhirnya uang untuk menabung itu harus direlakan untuk membayar pajak," tutur Anita menambahkan.

Mengapa TER tidak diterapkan pada Desember? Karena Desember akan menjadi bulan penghitungan kelebihan atau kekurangan bayar pajak seseorang. Jadi pada Desember, perusahaan-perusahaan akan menggunakan skema lama untuk menghitung total PPh yang harus dibayar selama setahun.

Lalu, hasilnya akan dikurangi jumlah pajak yang telah dipotong dengan skema TER pada Januari-November. Hasil pengurangan terakhir akan menjadi angka PPh Desember. Bila angkanya minus, yang berarti ada kelebihan bayar dari karyawan, perusahaan terkait diharapkan segera mengembalikannya ke karyawan.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Dwi Astuti mengatakan bahwa ujung-ujungnya beban pajak kumulatif seseorang selama setahun akan tetap sama.

"TER tidak menambah beban pajak yang ditanggung oleh wajib pajak. Beban pajak yang ditanggung wajib pajak (selama setahun) akan tetap sama," ujarnya, dikutip Pikiran-Rakyat.com dari BBC.***

Sentimen: positif (96.9%)