Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: Imparsial
Kab/Kota: Surabaya
Kasus: HAM
Tokoh Terkait
Koalisi Masyarakat Sipil Kecam Pangkat Jenderal Kehormatan Prabowo, Ungkit Dugaan Pelanggaran HAM Berat
Pikiran-Rakyat.com
Jenis Media: Nasional

PIKIRAN RAKYAT - Koalisi Masyarakat Sipil mengecam pemberian kenaikan pangkat jenderal kehormatan bintang empat untuk Prabowo Subianto. Gelar itu dinilai tidak pantas diberikan mengingat yang bersangkutan memiliki rekam jejak buruk dalam karier militer, khususnya keterlibatannya dalam pelanggaran berat HAM masa lalu.
Koalisi menyatakan, tindakan itu juga melukai perasaan korban dan mengkhianati Reformasi 1998. Pemberian gelar tersebut, menurut koalisi, lebih merupakan langkah politis transaksi elektoral dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menganulir keterlibatan Prabowo dalam pelanggaran berat HAM masa lalu.
Berdasarkan Keputusan Dewan Kehormatan Perwira Nomor: KEP/03/VIII/1998/DKP, Prabowo telah ditetapkan bersalah dan terbukti melakukan beberapa penyimpangan dan kesalahan termasuk melakukan penculikan terhadap beberapa aktivis pro demokrasi pada tahun 1998. Berdasarkan surat keputusan itu, Prabowo kemudian dijatuhi hukuman berupa diberhentikan dari dinas keprajuritan.
Koalisi berpandangan, pemberian pangkat kehormatan terhadap seseorang yang telah dipecat secara tidak hormat oleh TNI sejatinya telah mencederai nilai-nilai profesionalisme dan patriotisme dalam tubuh institusi tersebut.
Selain itu, apresiasi berupa pemberian kenaikan pangkat kehormatan justru bertentangan dengan janji Jokowi dalam Nawacitanya untuk menuntaskan berbagai kasus pelanggaran berat HAM di Indonesia sejak kampanye Pemilu di tahun 2014 lalu. Terlebih, pada 11 Januari 2023, Jokowi telah memberikan pidato pengakuan dan penyesalan atas 12 kasus pelanggaran HAM berat salah satunya kasus penculikan dan penghilangan paksa yang telah ditetapkan oleh Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM berat sejak tahun 2006.
Dengan demikian, hal itu haruslah beriringan dengan konsistensi, komitmen, dan langkah nyata dari pemerintah untuk mengusut tuntas kasus ini dan mengadili para pelaku alih-alih melindungi mereka dengan tembok impunitas dan memberikan kedudukan istimewa dalam tatanan pemerintahan negara ini. Koalisi menilai, pemberian gelar kehormatan bagi Prabowo juga bentuk pengkhianatan terhadap gerakan Reformasi 1998. Kebebasan yang dinikmati hari itu merupakan buah perjuangan para martir dari gerakan Reformasi 1998.
Mereka yang dulu ditumbangkan oleh Reformasi 1998, hari ini malah ingin diberikan penghargaan. Bahkan, menurut koalisi, Prabowo belum pernah diadili atas tuduhan kejahatan yang dia lakukan. Jadi, nama Prabowo masih masuk dalam daftar hitam terduga pelaku kejahatan kemanusiaan karena belum pernah diputihkan atau dibersihkan melalui sidang pengadilan yang terbuka melalui Pengadilan HAM ad hoc yang digelar untuk mengadili kasus penculikan dan penghilangan aktivis 1997-1998.
Serangkaian tindakan Jokowi yang kerap kali memberikan apresiasi dan karpet merah bagi terduga pelaku kejahatan HAM di Indonesia tentu turut memperkuat belenggu impunitas di bumi pertiwi. Hal itu, menurut koalisi, kembali menunjukkan human rights vetting mechanism tidak pernah dijalankan secara serius dalam sistem politik dan pemerintahan di Indonesia. Padahal, memeriksa latar belakang atau rekam jejak personel yang akan menduduki jabatan-jabatan publik atau yang disebut juga vetting mechanism, merupakan elemen kunci dari reformasi sektor keamanan yang efektif, tapi tidak pernah berjalan di Indonesia sejak Indonesia bertransisi dari kepemimpinan otoriter ke demokrasi dan supremasi sipil pada 1998.
Soft law internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa yakni dalam Updated Set of Principles for the Protection and Promotion of Human Rights Through Action to Combat Impunity pada Februari 2005 (Rangkaian Prinsip yang Diperbarui untuk Perlindungan dan Promosi HAM Melalui Tindakan Memerangi Impunitas) dalam Prinsip 36 menyebutkan, “Public officials and employees who are personally responsible for gross violations of human rights, in particular those involved in military, security, police, intelligence and judicial sectors, shall not continue to serve in State institutions.”
Prinsip tersebut memiliki arti, "Pejabat dan pegawai publik yang secara pribadi bertanggung jawab atas pelanggaran berat HAM, khususnya yang terlibat di bidang militer, keamanan, polisi, intelijen, dan peradilan, tidak boleh terus bertugas di lembaga negara.
Lebih dari itu, pemberian gelar kehormatan Prabowo dipandang jelas-jelas akan merusak nama baik institusi TNI. Bagaimana mungkin orang yang diberhentikan oleh TNI pada masa lalu karena terlibat atau bertanggung jawab dalam kejahatan kemanusiaan hari ini akan diberi gelar kehormatan. Artinya, lanjut koalisi, Jokowi telah memaksa institusi TNI menjilat ludah mereka sendiri demi kepentingan politik keluarganya. Presiden tidak hanya mempolitisasi TNI, melainkan meruntuhkan muruah dan martabat TNI yang telah dibangun oleh banyak prajurit dengan darah dan air mata.
Koalisi memandang sudah seyogianya TNI tidak ditarik-tarik dan dilibatkan dalam ‘cawe-cawe’ politik praktis dengan melantik seorang jenderal pelanggar HAM dengan pangkat kehormatan. "Kami mengingatkan agar alat pertahanan keamanan negara seperti TNI dan Polri untuk tetap netral dan tidak berpihak dalam aras politik apa pun," kata Julius Ibrani mewakili koalisi dalam keterangan tertulis yang diterima Pikiran Rakyat, Rabu, 28 Februari 2024.
Pemberian gelar juga akan semakin memperpanjang rantai impunitas. Dengan pemberian gelar tersebut, tindakan kejahatan yang dilakukan atau melibatkan prajurit militer akan dianggap sebagai hal 'normal' karena terduga pelakunya alih-alih diproses hukum tapi justru diberi gelar jenderal kehormatan.
Koalisi pun mengeluarkan sejumlah desakan. Pertama, mendesak presiden membatalkan rencana pemberian pangkat kehormatan terhadap Prabowo Subianto yang diduga terlibat dalam kasus penculikan dan penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998.
Kedua, Komnas HAM RI mengusut dengan serius kasus kejahatan pelanggaran HAM berat masa lalu dengan memanggil serta memeriksa Prabowo Subianto atas keterlibatannya dalam kasus penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998.
Ketiga, Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk segera melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat dalam hal ini kasus penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998.
Keempat, pemerintah, dalam hal ini presiden beserta jajarannya menjalankan rekomendasi DPR RI pada 2009 yakni membentuk pengadilan HAM ad hoc, mencari 13 orang korban yang masih hilang, merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang, dan meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia. Kelima, TNI-POLRI menjaga netralitas dan tidak terlibat dalam aktivitas politik.
Koalisi Masyarakat Sipil terdiri dari sejumlah lembaga masyarakat, yakni Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) IMPARSIAL, IKOHI (Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia), Asia Justice and Rights (AJAR), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), ELSAM, HRWG, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Centra Initiative Lokataru Foundation, Amnesty International Indonesia, Public Virtue, SETARA Institute Migrant CARE, The Institute for Ecosoc Rights Greenpeace Indonesia, Public Interest Lawyer Network (Pil-NET Indonesia), KontraS Surabaya, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Banten (LBH Keadilan), Lembaga Pengembangan Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (LPSHAM), dan Federasi KontraS.***
Sentimen: negatif (100%)