Sentimen
Netral (98%)
13 Feb 2024 : 13.08
Informasi Tambahan

Event: Pemilu 2019, Rezim Orde Baru

Tokoh Terkait
Yunus Husein

Yunus Husein

Pemilu 2024 di Tengah Demokrasi yang Rusak, Sistem Bermasalah dan Ongkos Politik Mahal

13 Feb 2024 : 13.08 Views 7

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional

Pemilu 2024 di Tengah Demokrasi yang Rusak, Sistem Bermasalah dan Ongkos Politik Mahal

PIKIRAN RAKYAT - Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Usep Hasan Sadikin, menilai, terlalu banyak orang menyimpan harapan besar kalau pemilu berperan signifikan mengubah suatu negara dalam berdemokrasi. Padahal, pemilu hanya salah satu aspek saja dari demokrasi.

"Sehingga, bila kita melihat pemilu yang sekarang ini, jangan dilepaskan dari konteks demokrasi Indonesia yang trennya turun secara signifikan," tuturnya, Jumat, 9 Februari 2024.

Menurutnya, sejak tahun 2009 hingga sekarang, situasi demokrasi di Indonesia mengalami tren penurunan yang signifikan. Mengutip lembaga pemeringkat demokrasi seperti The Economist Democracy Index dan Freedom House Democracy Index, beberapa tahun ke belakang, Indonesia sempat dikenal sebagai negara dengan kategori demokrasi sepenuhnya.

Namun, semakin ke sini, predikat demokrasi Indonesia menurun sehingga disebut 'demokrasi setengah hati', 'demokrasi yang sakit', atau bahkan 'demokrasi yang cacat'.

Menurunnya indeks demokrasi Indonesia beriringan dengan permasalahan pemilu. Sebelum Pemilu 2024, Indonesia menghadapi persoalan dari segi peserta pemilu, seperti calonnya yang bagus, tapi partai politiknya tidak.

"Nah, di konteks Pemilu 2024 ini, kita menghadapi masalah dalam institusi peradilannya, seperti putusan Mahkamah Konstitusi nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia capres-cawapres. Putusan MK yang berkaitan dengan pemilu. Itu menunjukkan buruknya peradilan pemilu," tuturnya.

Di tengah situasi demokrasi yang 'cacat' itu, Usep menilai, pelaksanaan pemilu saat ini juga setidaknya diwarnai oleh dua permasalahan mendasar yakni sistem pemilu yang menyimpang dan buruknya kualitas partai politik. Keduanya berdampak kepada kualitas pendidikan politik di masyarakat.

Sistem pemilu

Terkait dengan sistem pemilu yang menyimpang, Usep mengatakan, Indonesia salah memilih varian dari sistem pemilu. Selama ini, Indonesia menerapkan sistem proporsional, khususnya sistem proporsional terbuka.

Pada dasarnya, sistem proporsional menekankan kerja pengorganisasian partai politik. Tapi, dalam kenyataannya, para pemilih selama ini terbiasa dengan memilih individu secara langsung.

Hal ini dinilainya tidak luput dari trauma atas politik Orde baru ketika partai politik begitu dibenci. Pada saat bersamaan, masyarakat mengalami depolitisasi masif, baik di media massa sampai kampus. Bahkan, organisasi pemenang pemilu pada era itu tidak disebut partai.

Pengkondisian oleh rezim Orba yang menumpulkan ketajaman politik masyarakat pada akhirnya berimbas hingga saat ini. Salah satunya adalah munculnya pandangan berpolitik yang fokus pada individu politis daripada partai politik itu sendiri. "Jadi, itu anomali. Kita memilih sistem proporsional, tapi malah kita menjauh dari institusi partai politik," tuturnya.

Usep juga mencontohkan momen Amandemen UUD 1945 pada tahun 2004 yang konsekuensinya juga berimbas kepada pengubahan UU Pemilu. Hasil dari berbagai perubahan tersebut kemudian semakin menjauhkan pengorganisasian partai politik dari semua jabatan politik.

"Misalnya, memilih pemimpin eksekutif pemerintahan, seperti presiden, kita memilihnya presiden langsung. Bukan berdasarkan pilihan dari DPR yang mana merupakan faksi dari partai politik. Selama ini ada anggapan, 'kalau saya tuh inginnya milih orang, bukan memilih partai'," katanya.

Begitu juga dengan pemilihan legislatif, pemilih terbiasa dengan sistem proporsional terbuka yang diterapkan sejak 2004. "Secara sistemik, pemilih diarahkan untuk tidak perduli dengan partai politik. Pada tahun 2009, itu sistem proporsional full terbuka sampai sekarang, dan itu semakin memperburuk situasi partai politik," tuturnya.

Partai politik ‘mahal’

Pada saat bersamaan, tantangan partai politik semakin berat oleh adanya UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Regulasi tersebut dinilainya membuat partai politik menjadi institusi yang 'mahal' untuk dibentuk dan 'mahal' untuk bisa mengikuti pemilu.

Syarat-syarat seperti memiliki kantor dan kepengurusan di 100 persen provinsi, 75 persen di kabupaten/kota, sampai 50 persen di kecamatan, dinilainya telah membuat partai politik ‘mahal’ dari segi ongkos. "Secara hukum, parpol dibuat buruk dengan menjauhkannya dari akar rumput," katanya.

Dengan adanya karakter partai politik 'mahal' seperti itu, yang terjadi kemudian adalah situasi dimana pembentukan partai politik berlangsung secara 'top down'. Dengan kata lain, partai politik seringkali dibentuk oleh orang yang ultra kaya.

Selain itu, imbas lainnya dari karakter partai politik yang 'mahal' dan kemudian pemilu dengan sistem proporsional adalah soal anggota partai politik. Alih-alih kaderisasi, partai politik lebih cenderung melakukan rekrutmen anggota dengan melihat elektabilitasnya untuk kepentingan mendulang suara.

Pendidikan politik

Situasi itu juga pada akhirnya berimbas kepada permasalahan pendidikan politik. Secara sistemik partai politik dinilainya tidak memiliki insentif untuk lebih bertanggung jawab dalam melakukan pendidikan politik. Padahal, itu menjadi salah satu fungsinya dalam UU Partai Politik.

"Karena tadi, sistem pemilunya mendorong partai pragmatis untuk rekrut saja individu-individu yang dianggap baik, menarik, oleh pemilih, menjelang pemilu. Padahal, pendidikan politik adalah salah satu fungsi dan tanggungjawab parpol di UU Parpol," katanya.

Selain tidak berfungsinya partai politik, pendidikan politik di Indonesia yang tidak berkembang juga dipengaruhi oleh gagalnya negara dalam menjamin peserta didik minimal sampai SMA. Berdasarkan UU Sistem Pendidikan Nasional, jaminan peserta didik masih sebatas sampai SMP. Padahal, bila melihat pengalaman pemilu sebelumnya, pemenangnya selalu ditentukan oleh pemilih dengan tingkat pendidikan di bawah SMP.

Daerah pemilihan

Tantangan dalam pemilu juga diwarnai dengan daerah pemilihan yang besar. Usep menilai, dapil yang besar menciptakan multipartai yang ekstrim di parlemen. Hal tersebut kemudian berdampak kepada tidak jelasnya ideologi partai politik.

Menurutnya, sistem kepartaian DPR Indonesia, sejak hasil Pemilu 1999 hingga Pemilu 2019, trennya adalah naik sebagai multipartai ekstrem. Pengertian multipartai ekstrim di sini adalah terdapat lebih dari 5 partai relevan yang bisa mempengaruhi pemerintah dan pembentukan undang-undang.

Hitungan tersebut berdasarkan rumus effective number of parliamentary parties (ENPP). Nilai ENPP 3 sampai 5, fragmentasi partai parlemen bersifat moderat. Nilai ENPP lebih dari 5, bersifat ekstrem. Sejak Indonesia menerapkan sistem pemilu proporsional semi terbuka pada Pemilu DPR 2004 dengan besaran daerah pemilihan 3-12 kursi, dihasilkan DPR bersistem kepartaian multipartai ekstrem.

Padahal dalam Pemilu 1999, sistem proporsional tertutup mengkonversi suara 48 partai politik peserta pemilu menjadi multipartai moderat. Lalu pada Pemilu DPR 2009, 2014, dan 2019 dengan sistem proporsional terbuka dan daerah pemilihan 3-10 kursi, tetap menghasilkan multipartai ekstrem.

Menurutnya, hal itu jadi bagian sebab hilangnya oposisi di dalam DPR. Kecairan ideologi partai di DPR, karena banyak partai yang persentase kursinya relatif imbang, sehingga bekerja berdasar tujuan mendapat jatah kekuasaan dan proyek pembangunan sebagai konsekuensi legislasi.

Ia mencontohkan legislasi inisiatif Pemerintah, seperti Omnibuslaw Cipta Kerja, Revisi Undang-Undang Minerba, dan Undang-Undang Ibu Kota Negara yang punya banyak catatan formil dan materil, bisa cepat sah tanpa penyertaan berarti dari fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran DPR.

Menurutnya, mengubah sistem kepartaian dari multipartai ekstrem menjadi moderat bisa dilakukan alamiah dan demokratis. Di antaranya dengan mengurangi besaran dapil dari 3-10/3-12. Jika sistem proporsional terbuka yang dipilih, maksimal kursi menjadi 3. Jika sistem proporsional tertutup yang dipilih, maksimal kursi menjadi 5.

"Selama ini dapil besar telah mendorong partai politik hanya meraih suara dengan berbagai cara. Secara sistemik, ongkos politik menjadi amat mahal," katanya.

Akibatnya, setelah mendapat kursi di DPR, partai-partai malah mengesampingkan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran. Berkuasa di DPR berarti membayar ongkos politik yang dikeluarkan pada pemilu sebelumnya, lalu mengumpulkannya untuk pemilu berikutnya. "Politik parlemen bukan hanya amat mahal, tapi juga koruptif," tuturnya.

Pengajar STH Indonesia Jentera, Yunus Husein, mengatakan, pemilu sudah di depan mata, tetapi perjalanannya diiringi kontroversi dan kekhawatiran. “Sepanjang waktu prosesnya, kita telah menjadi saksi praktik demokrasi yang semakin merosot dan dilakukan secara serampangan,” katanya.

Ia menyorot adanya penyalahgunaan kekuasaan, dengan hukum dan etika kepentingan politik dan kendali penuh. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 dinilainya menjadi bukti nyata bahwa perilaku melanggar etik malah mendapat layanan panggung politik tertinggi.

Penyalahgunaan kekuasaan negara dalam Pemilu terjadi tanpa hambatan. “Bahkan Presiden Joko Widodo, yang seharusnya menjadi penjaga prinsip-prinsip demokrasi, patut diduga terlibat dalam penyelewengan etika yang semakin memperkuat analisis bahwa kita sedang berada pada titik nadir demokrasi Indonesia,” katanya.

Menurut dia, tindakan ini dapat merongrong kepercayaan rakyat pada lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi penjaga keadilan dan keseimbangan.

Ia mengatakan, sebelum momen politik elektoral ini, berbagai kalangan telah menyoroti kemunduran demokrasi dalam beberapa tahun belakangan. Beberapa contohnya seperti legislasi tanpa partisipasi dan untuk kepentingan segelintir elite, pembatasan kebebasan sipil, hingga kriminalisasi.

“Hari ini, kita harus menghadapi kenyataan bahwa mimpi buruk demokrasi Indonesia makin nyata terlihat. Pemilu, yang seharusnya menjadi momentum perubahan dan keberlanjutan gagasan republik yang mencerminkan kedaulatan rakyat, terancam oleh manipulasi dan pelanggaran etika tanpa putus,” tuturnya.

Ia menilai, untuk menyelamatkan demokrasi Indonesia, seluruh elemen masyarakat perlu mewujudkan tindakan konkret dan kesadaran kolektif. “Harus ada upaya bersama untuk mencegah pemiskinan teladan bangsa bagi generasi berikutnya,” katanya.***

Sentimen: netral (98.4%)