Sentimen
Positif (100%)
1 Des 2023 : 06.10
Informasi Tambahan

Event: Pilkada Serentak

Kasus: bullying, kecelakaan

Temuan KPAI: Media Sosial dan Situs tentang Bunuh Diri Memengaruhi Keputusan Anak untuk Akhiri Hidup

1 Des 2023 : 06.10 Views 5

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional

Temuan KPAI: Media Sosial dan Situs tentang Bunuh Diri Memengaruhi Keputusan Anak untuk Akhiri Hidup

PIKIRAN RAKYAT - Pendampingan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memperlihatkan bahwa media sosial dan beberapa situs tentang bunuh diri memengaruhi keputusan anak untuk mengakhiri hidupnya. Latar belakang anak yang mengakhiri hidup pun merupakan motif berlapis, sehingga semua pihak harus mulai menanggapi dengan serius.

Selama 11 bulan di tahun 2023, Januari-November 2023, KPAI sendiri sudah mencatat ada sekitar 37 kasus anak mengakhiri hidupnya. Hanya November, kasus yang dicatat sudah mencapai 8 kasus. Namun, pengaduan langsung ke KPAI selama Januari-November ini hanya 12 kasus.

Menurut komisioner KPAI, Diyah Puspitarini, data itu menunjukkan memang kasus yang ditangani lebih sedikit dibandingkan jumlah anak yang mengakhiri hidupnya. Itu disebabkan keterbatasan informasi dan pelaporannya.

"Sekitar 35-40 persen yang kami dampingi langsung. Pengaduan langsung ada 12, namun setelah kami record dari media massa dan lain-lain, ada sekitar 37 anak dari bulan Januari-November 2023 yg melakukan upaya mengakhiri hidup," katanya, Kamis, 30 November 2023.

Baca Juga: Jadwal Kampanye Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming di Jawa Barat Digelar Tiap Akhir Pekan

Bahkan, data KPAI itu menunjukkan bahwa kasus anak mengakhiri hidup menjadi menjadi penyebab kematian terbesar ke tiga untuk anak-anak Indonesia. Penyebab pertama adalah kecelakaan di jalan raya dan ke dua karena penyakit. Penyebab ke tiga adalah kekerasan yang bisa memicu anak mengakhiri hidupnya.

Dari medsos dan situs internet, anak-anak mendapatkan informasi mengenai cara-cara mengakhiri hidup sampai akhirnya mereka bisa memutuskan. Bahkan, ada kasus yang ditangani KPAI sampai anak mencoba mengakhiri hidup dengan membeli sianida.

"Dari pendampingan KPAI, kami melihat bahwa media sosial dan beberapa situs mempunyai pengaruh. Beberapa kasus yang kami awasi secara langsung, sebelum anak mengakhiri hidup, mereka mencoba mencari tahu di media sosial, atau berbagai link yang menjelaskan bagaimana mereka bisa lakukan itu," ucapnya.

Baca Juga: Buruh Tak Terima Soal Kenaikan UMK Jabar 2024, Bey Machmudin: Sudah Diputuskan, Patuhi Bersama

Karena itulah, kata dia, dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan KPAI pada 28 November 2023 terkait peran negara dalam menyikapi tingginya angka anak menyakiti diri dan mengakhiri hidup di Indonesia, ada rekomendasi terkait media sosial dan situs tersebut. Rekomendasi itu khususnya untuk Kementerian Komunikasi dan Informatika.

"Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia agar membatasi akses link tentang bunuh diri yang saat ini sangat mudah diakses anak-anak," ujar Diyah.

Motif berlapis dibarengi rasa putus harapan

Data KPAI menunjukkan bahwa kasus anak mengakhiri hidup terjadi pada usia rawan, yaitu di usia yang setara kelas 5-6 SD, kelas 1-2 SMP, dan kelas  1-2 SMA. Pola itu disebut usia rawan karena pada masa anak-anak mengalami perubahan.

Baca Juga: Jubir AMIN Ungkap Makna Pose di Desain Surat Suara Pilpres 2024: Bawa Semangat Kemenangan Pilkada DKI

Usia rawan itu dialami anak dengan berbagai kondisi yang menjadi latar belakang anak mengakhiri hidup. Apalagi, hal itu dibarengi dengan perasaan putus harapan yang dialami anak.

"Kenapa anak bisa sampai memutuskan, ada rasa hopeless. Mereka ada kekhawatiran, ketakutan, ketidaktahuan cara penyelesaian. Mereka punya masalah, iya, namun kemudian mereka bertanya kepada siapa, tidak menemukannya," tutur Diyah.

Hal itu berbarengan dengan latar belakang pengalaman anak yang sampai memutuskan untuk mengakhiri hidup. Motifnya tidak pernah menjadi motif tunggal, melainkan selalu berlapis. Misalnya, anak mengalami masalah akibat faktor pengasuhan, tapi ada faktor lain juga yang menambah masalahnya seperti kesehatan mental, bullying, asmara, perekonomian, agresif, dsb.

Baca Juga: BTPN Berkomitmen dalam Realisasi Inisiatif Berkelanjutan di Indonesia 

Karena itulah, kata dia, setiap pihak harus berperan dalam pencegahan. Apalagi, anak yang mengakhiri hidup umumnya memperlihatkan tanda-tanda baik secara verbal, fisik, maupun psikis.

Pencegahan dan dukungan dari pemerintah

Diyah mengatakan, FGD menguatkan pemahaman bahwa ada perubahan drastis yang dialami anak sebelum melakukan upaya mengakhiri hidup. Penelitian menunjukkan bahwa hampir 80% orang yang mencoba mengakhiri hidup akan mengatakan sesuatu sebelumnya.

"Itu sebabnya mendengarkan dan mengamati adalah kuncinya. Itu sinyal atau alarm awal yang harus diwaspadai setiap orang tua ketika anak sudah mulai bertanya-tanya bunuh diri itu apa," ujarnya.

Baca Juga: Ganjar Pranowo: Tak Semua Anak Muda Suka Gimik, Banyak yang Tertarik Ekonomi Kreatif

Akan tetapi, orang tua pun tidak boleh hanya memblokir pertanyaan itu tanpa menjelaskannya. Bila itu terjadi, anak-anak akan mencari jawabannya sendiri dan melakukannya. Orang tua justru harus menjelaskan dari berbagai perspektif, seperti dampaknya di masa depan, tidak bisa mewujudkan cita-cita, dan perspektif agama yang melarang.

Pencegahan pertama memang harus dari keluarga sebagai orang-orang terdekat. Keluarga pula yang bisa mendeteksi lebih awal ketika ada perubahan drastis yang dialami anak. Ke dua, peran guru dan teman-teman di sekolah yang juga setiap hari bersinggungan.

Pencegahan lainnya juga dukungan dari tokoh agama karena ajaran agama apapun tidak memperbolehkan bunuh diri. Hanya, tokoh agama itu diharapkan bisa menjelaskan dengan bahasa anak-anak saat ini, bukan dengan kalimat dogmatis.

Baca Juga: Harga Cabai di Ciamis Tembus Rp120.000 per Kg, Pedagang Kurangi Stok Khawatir Tak Laku

Diyah mengatakan, rekomendasi pun dikeluarkan KPAI untuk pemerintah supaya mendukung pencegahannya. Ada beberapa rekomendasi yang ditujukan untuk pemerintah, kementerian, dan lembaga terkait.

Rekomendasi untuk Kementerian Kesehatan adalah supaya memenuhi kebutuhan Tenaga Psikolog Klinis di satuan pendidikan dan lembaga layanan kesehatan. Tenaga medis itu bisa dimanfaatkan oleh anak dan keluarga sehingga harus dapat diakses setiap saat dan bebas secara pembiayaan.

Pemerintah pusat dan pemerintah daerah pun diminta membuat Peta Jalan Pencegahan Anak Menyakiti Diri dan Mengakhiri Hidup di Indonesia. Hal itu perlu ada sebagai alternatif perlindungan bagi anak.

Baca Juga: Cara Atasi Masalah Sinkronisasi Gmail di Android, Solusi Perbaiki Eror pada Aplikasi

Untuk Kemendikbudristekdikti, kementerian itu diminta memasukkan kurikulum terkait kesehatan mental. Materi itu pun akan diajarkan kepada anak di Satuan Pendidikan. Kemendikbudristekdikti pun diminta merevisi Permendikbud No. 111 tahun 2014 tentang Bimbingan Konseling pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, terutama yang mengatur tentang rasio perbandingan guru BK dan peserta didik.

Pemerintah pusat dan pemerintah daerah pun diminta meningkatkan kualitas layanan rehabilitasi sosial. Pemerintah harus memastikan tersedianya penanganan serta pemulihan anak korban yang mudah diakses untuk anak dan keluarga. Itu dilakukan melalui pembentukan kebijakan daerah, peningkatan kualitas SDM, dan dukungan anggaran.

"Kalau tidak bisa mengadakan pusat rehabilitasi kesehatan mental, paling tidak bisa melakukan edukasi dari puskesmas ke sekolah. Lalu, Kemenkominfo juga membatasi medsos dan link-link yang berkaitan dengan mengakhiri hidup, di-banned saja. Kominfo punya kewenangan ini untuk memblokir sehingga anak-anak tidak bisa mengakses link seperti itu," ujar Diyah.***

Sentimen: positif (100%)