Sentimen
Tokoh Terkait
Ajukan Uji Formil Putusan MK soal Usia Cawapres, 2 Ahli Hukum Minta Sidang Kilat
Kompas.com
Jenis Media: Nasional
/data/photo/2019/05/21/2178396626.jpg)
JAKARTA, KOMPAS.com - Dua pakar hukum tata negara, Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar, mengajukan uji formil Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 ke MK.
Putusan itu mengubah Pasal 169 huruf q UU Pemilu soal batas usia capres-cawapres. MK membolehkan anggota legislatif dan kepala daerah di segala tingkatan maju sebagai capres-cawapres sebelum 40 tahun.
Dalam gugatannya, Denny dan Zainal meminta putusan provisi atau sela, yang salah satunya meminta agar sidang uji formil itu dilaksanakan secara kilat.
Baca juga: 2 Ahli Hukum Uji Formil Minta Putusan MK soal Usia Cawapres Jangan Dulu Diberlakukan
"Menyatakan memeriksa permohonan para pemohon secara cepat dengan tidak meminta keterangan kepada MPR, DPR, Presiden, DPD, atau pihak terkait lainnya," tulis keduanya dalam gugatan itu.
"Dalam Pasal 54 UU MK juncto Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009 disebutkan, bahwa permintaan keterangan pihak-pihak tersebut tidak bersifat wajib, melainkan pilihan, karena ditulis dengan kata 'dapat', bukan 'wajib," jelas mereka.
Hal ini dimohonkan sebab tahapan pencalonan presiden dan wakil presiden berakhir pada 25 November 2023, sehingga dibutuhkan kepastian hukum segera melalui persidangan secara cepat.
Di samping itu, Denny dan Zainal meminta agar Ketua MK Anwar Usman tak turut mengadili gugatan uji formil mereka.
Hal tersebut berdasarkan Pasal 17 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan tidak sah sebuah putusan yang dihasilkan dari majelis hakim yang tidak mundur dari potensi konflik kepentingan pada perkara tersebut.
Baca juga: Dua Ahli Hukum Minta Anwar Usman Tak Ikut Adili Uji Formil Putusan MK soal Usia Cawapres
UU yang sama mengamanatkan agar jika situasi itu terjadi, maka perkara tersebut harus disidang ulang dengan komposisi majelis hakim yang berbeda.
Denny dan Zainal menjelaskan, bila sejak awal Anwar mundur dari perkara itu, maka hasil akhir putusannya akan berbeda karena komposisi hakim yang setuju dan menolak sama-sama empat orang.
Dengan komposisi 50:50, maka perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 itu seharusnya ditolak karena Wakil Ketua MK Saldi Isra ada dalam posisi menolak.
Ketentuan semacam itu diatur berdasarkan Pasal 66 ayat (4) dan 67 ayat (6) Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2023, bahwa tatkala komposisi hakim yang setuju dan menolak seimbang, maka posisi Ketua dan Wakil Ketua MK akan menjadi penentu.
"Oleh karena itu, apabila YM. Anwar Usman taat pada hukum dan etika untuk mengundurkan diri, maka Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana dimaknai dalam Putusan 90/PUU-XXI/2023 tidak akan eksis," jelas Denny dan Zainal.
Terlebih, Anwar saat ini menjadi hakim dengan laporan dugaan pelanggaran etik serta konflik kepentingan paling banyak (15 dari 21 laporan) menyusul Putusan 90 tersebut, menilik hubungan kekerabatannya sebagai ipar Presiden Joko Widodo.
Baca juga: Usulkan Hak Angket terhadap MK, Masinton Pasaribu Dilaporkan ke MKD DPR
Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang telah merampungkan pemeriksaan terhadap semua pihak terlapor dan terkait sudah menyimpulkan bahwa Anwar merupakan hakim yang paling bermasalah dalam kasus pelanggaran etik ini.
Sentimen: negatif (86.5%)