Sentimen
Positif (88%)
13 Sep 2023 : 16.34

Membangun Bersama Masyarakat: Pelajaran dari Konflik Rempang

13 Sep 2023 : 16.34 Views 8

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Nasional

Membangun Bersama Masyarakat: Pelajaran dari Konflik Rempang

PRAHARA konflik investasi di Pulau Rempang-Batam semakin memanas. Pulau Rempang, yang terletak dalam wilayah Kota Batam, Kepulauan Riau, saat ini menjadi sorotan nasional.

Bukan lagi karena keindahan alamnya, tetapi karena konflik antara pemerintah dan masyarakat setempat.

Konflik ini merupakan cerminan dari masalah dalam perencanaan investasi dan pembangunan yang tidak memadai, serta kurangnya keterlibatan masyarakat dalam proses tersebut.

Konflik lahan di Pulau Rempang berawal dari persetujuan investasi pada 2004. Mampukah pemerintah kita menyelesaikan persoalan dengan damai dan berkeadilan?

Pemerintah keliatannya sering kali terlalu terobsesi dengan capaian target investasi yang ambisius, tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan yang lebih luas.

Kasus Pulau Rempang adalah contoh nyata. Investasi besar yang diumumkan sebagai proyek strategis nasional sering kali mengesampingkan hak dan aspirasi masyarakat setempat.

Kinerja Investasi kita patut diacungi jempol atas capaian realisasi investasi tahun 2022 sebesar Rp 1.200 triliun. Target ini meningkat cukup signifikan dibandingkan 2021, yakni sebesar Rp 900 triliun. Bagaimana dengan 2023 ini?

Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi dalam enam bulan atau semester I-2023 adalah Rp 678,7 triliun.

Pada kuartal I-2023, realisasi investasi mencapai Rp 328,9 triliun dan kuartal II sebesar Rp 349 triiiun. Realisasi ini 48,5 persen dari target pada 2023 yang mencapai Rp 1.400 triliun.

Namun dibalik itu semua, tentunya kita juga harus kritis melihat bagaimana proses investasi itu dilakukan, jangan sampai mengorbankan hak-hak masyarakat dan memperhatikan masa depan aspek lingkungan.

Jangan sampai karena nafsu mencapai target investasi segala hal dihalalkan. Sebab masyarakat yang akan menjadi korban dan konflik tidak dapat dielakkan.

Keterlibatan masyarakat

Salah satu masalah mendasar dalam kasus Rempang adalah kurangnya keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan.

Aspirasi masyarakat Pulau Rempang sangat jelas, mereka tidak menolak investasi, tetapi 16 kampung tua—yang sudah dihuni turun temurun, diperkirakan sejak abad 19—agar tetap ada dan eksis berdampingan dengan proyek strategis nasional tersebut.

Apakah opsi ini pernah dibahas dengan masyarakat? Jangan sampai masyarakat hanya menjadi penonton dari mega proyek ratusan triliun rupiah yang digadang-gadang akan menarik potensi tenaga kerja ratusan ribu pencari kerja.

Pembangunan di Pulau Rempang kian terlihat usang dan terkesan tidak melibatkan partisipasi masyarakat setempat, yang berujung pada konflik dengan aparat keamanan.

Pembangunan ini juga telah memicu perdebatan mengenai hak asasi manusia dan ganti rugi yang adil kepada warga yang terkena dampaknya.

Pemerintah diingatkan untuk memprioritaskan hak asasi manusia dalam proses pembangunan dan meredam ketegangan di Pulau Rempang agar pembangunan yang diusulkan bisa berjalan dengan baik.

Kasus Pulau Rempang menjadi pelajaran yang sangat berharga tentang pendekatan yang diterapkan terkesan dadakan dan tanpa persiapan.

Masyarakat setempat, yang telah lama tinggal di pulau itu secara turun-temurun, merasa diabaikan dan tidak didengarkan.

Seorang ekonom dan filsuf Amartya Sen, juga pernah menekankan pentingnya partisipasi dalam pembangunan manusia.

Konsepnya tentang "Development as Freedom” atau "Pengembangan sebagai Kebebasan" menekankan perlunya memberikan kebebasan dan peluang kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.

Masyarakat adat Pulau Rempang harusnya menjadi subjek dalam pembangunan, jangan hanya dijadikan objek dalam pembangunan tersebut.

Pembangunan yang berpusat “Jakarta Mindset” pelan-pelan harus ditinggalkan untuk memberi peluang kepada daerah memberikan kearifan lokalnya agar dapat diakomodasi dalam aspek pembangunan itu sendiri.

Pendekatan kepada masyarakat dalam perencanaan investasi haruslah lebih humanis dan sosio-kultural.

Dialog harus diberikan prioritas, bukan tindakan kekerasan atau reaksi yang bersifat represif. Pemerintah harus lebih mendengarkan aspirasi masyarakat dan mempertimbangkan nilai-nilai budaya, adat, dan tradisi yang mereka junjung tinggi.

Sejarah masyarakat Pulau Rempang, yang adalah keturunan para prajurit Kesultanan Melayu Riau-Lingga ("Tuhfat al-Nafis" karya Raja Ali Haji), harus dihormati dan dijaga.

Masyarakat ini adalah bagian dari warisan budaya Indonesia yang kaya, dan hak mereka untuk mempertahankan identitas mereka harus diakui.

Kasus Pulau Rempang adalah pengingat bahwa pembangunan yang sukses bukan hanya tentang angka dan statistik, tetapi juga tentang keterlibatan masyarakat yang penuh makna.

Kebijakan yang memandang serius aspirasi masyarakat, mengutamakan dialog, dan memahami nilai-nilai budaya adalah kunci untuk membangun masa depan yang berkelanjutan dan inklusif.

Pemerintah harus lebih peduli terhadap rakyatnya dan memberi mereka ruang untuk berpartisipasi dalam pembangunan yang memengaruhi kehidupan mereka secara langsung.

Pulau Rempang adalah pengingat yang mahal bahwa investasi yang mengesampingkan kemanusiaan dan budaya adalah investasi yang akan membawa dampak buruk bagi kita semua.

Semoga kita semua belajar dari kasus Rempang ini.

-. - "-", -. -

Sentimen: positif (88.8%)