Sentimen
Positif (99%)
12 Sep 2023 : 08.55
Informasi Tambahan

Agama: Islam

Grup Musik: IZ*ONE

Institusi: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Dewan Pers

Tokoh Terkait
Ubaidillah

Ubaidillah

Kenapa Siaran TV Tak Boleh Dijadikan Alat Politik? Begini Penjelasannya

12 Sep 2023 : 08.55 Views 10

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional

Kenapa Siaran TV Tak Boleh Dijadikan Alat Politik? Begini Penjelasannya

PIKIRAN RAKYAT - Sudah tidak mengherankan jika persaingan politik menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) kian panas. Berbagai cara pun dilaukan untuk mempromosikan diri demi meraih suara, termasuk dengan memanfaatkan berbagai media yang ada.

Stasiun Televisi sebagai salah satu media penyiaran pun tak ayal dimanfaatkan oleh para aktor politik. Apalagi, beberapa pemilik stasiun televisi juga diketahui merupakan Ketua Umum (Ketum) di partai politik.

Akan tetapi, siaran televisi sebenarnya tidak boleh dijadikan alat politik. Sebagai salah satu alat penyiaran publik, televisi diharuskan netral.

Baca Juga: Sejarah Hari Penyiaran Nasional, Mengenang Peran Penting Penyiaran di Indonesia

Televisi sebagai frekuensi publik ditekankan adalah milik publik. Penggunaan frekuensi diperuntukan bagi publik bukan untuk kepentingan golongan apalagi pribadi. Kesadaran filosofis-regulatif pun ditanamkan kembali dalam proses perpanjangan izin stasiun televisi setiap 10 tahun sekali.

Anggota KNRP yang juga Ketua Masyarakat Cipta Media 2017, Paulus Widiyanto menuturkan bahwa frekuensi publik adalah frekuensi yang didanai pajak rakyat dan harus bisa diakses masyarakat secara gratis. Pengguna frekuensi itu, baik televisi maupun radio, tidak boleh untuk kampanye politik, bisnis, organisasi masyarakat, organisasi agama, dan serikat pekerja karena bisa memicu konflik kepentingan.

Menurutnya, organisasi politik, keagamaan, dan komersial bisa mempromosikan agenda mereka melalui lembaga penyiaran berbayar, seperti televisi kabel. Pilihan lainnya melalui radio ataupun televisi berbasis internet dengan metode (streaming) dan podcast.

Media Kadang Dipakai Jadi Alat Politik

Media terkadang digunakan sebagai alat politik oleh partai politik atau politisi tertentu, terlebih media penyiaran. Padahal, media penyiaran menggunakan ranah publik dalam melangsungkan aktivitas penyiarannya.

"Media penyiaran seperti televisi dan radio itu mereka menggunakan frekuensi publik. Dengan begitu jika materi siarannya bermuatan kepentingan politik dari segelintir golongan tentunya mereka tidak benar," kata Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2 Media) Amir Effendi Siregar saat diskusi "Independensi Media Penyiaran di Tahun Politik" di Kantor Dewan Pers, Jakarta, Rabu 11 Desember 2013.

"Berbeda halnya jika mereka menggunakan media cetak yang tidak menggunakan ranah publik. Media cetak lebih bebas daripada media penyiaran untuk dimanfaatkan pemiliknya," tuturnya menambahkan.

Baca Juga: Keragaman dan Kualitas Siaran Modal Bersaing di Penyiaran Global

Amir Effendi mencontohkan beberapa politisi dapat saja menggunakan medianya untuk kepentingan politik secara leluasa. Dia meyakini, insan media akan menemui dilema menjelang tahun politik Pemilu. Alasannya, "newsroom" dapat diintervensi oleh kekuasaan tertentu seperti oleh pemilik media.

"Terserah pemilik jika berbicara masalah media cetak, tetapi resikonya adalah jika pembaca tidak menyukai isinya yang melulu tentang kepentingan politik pemilik media. Ujung-ujungnya koran itu bisa dibuang ke tong sampah," ujarnya.

Akan tetapi, Amir Effendi Siregar mengatakan tidak ada media yang independen di belahan dunia manapun. "Tidak ada media independen secara murni. Akan tetapi yang ada adalah media-media itu berusaha mendekati nilai-nilai independen seoptimal mungkin," ucapnya.

Televisi Harus Netral

Pemerintah telah mengatur terkait isi siaran dari lembaga penyiaran, termasuk televisi, melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Dalam beberapa Pasal, ditekankan bahwa lembaga penyiaran publik wajib menjaga netralitas mereka, terutama bagi media milik negara.

"Lembaga Penyiaran Publik adalah lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat," kata Pasal 14 ayat (1).

Sementara dalam Pasal 36, diatur bahwa isi siaran setiap lembaga penyiaran, harus menjaga netralitas. "Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan
golongan tertentu," ucap pasal 36 ayat (4).

Aturan agar lembaga penyiaran bersifat netral juga diatur dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Dalam Pasal Pasal 11 ayat (1) ditekankan bahwa Lembaga penyiaran wajib memperhatikan kemanfaatan dan perlindungan untuk kepentingan publik.

"Lembaga penyiaran wajib menjaga independensi dan netralitas isi siaran dalam setiap program siaran," ujar ayat (2).

Baca Juga: Menkominfo Pastikan TV Digital Bikin Industri Penyiaran TV Lebih Efisien

Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Ubaidillah menuturkan bahwa sekarang generasi Z sudah beralih dalam mengonsumsi media dari televisi dan radio ke media internet. Namun bagi masyarakat secara umum, televisi masih menjadi sumber informasi utama.

Realitas itu pun harus disadari betul, terutama dalam menjaga suasana dan kondisi menjelang Pemilu dalam ruang-ruang demokrasi yang terbuka, dalam hal ini ranah penyiaran.

“Karenanya, lembaga penyiaran juga harus benar-benar sadar, agar dalam menyampaikan pemberitaan, iklan, atau pun sosialisasi kegiatan Pemilu tetap sesuai dengan koridor," ucap Ubaidillah usai penandatanganan kesepahaman antara KPI dan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, di Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi pada 23 Mei 2023.

Dia berharap, baik televisi dan radio atau peserta pemilu memahami petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang harus dipatuhi dalam siaran kepemiluan. Dia pun secara tegas mengingatkan lembaga penyiaran untuk menjaga keberimbangan, netralitas, dan proporsionalitas dalam setiap siaran, termasuk juga soal tone dalam pemberitaan.

Pengalaman dalam Pilkada sebelumnya, setiap calon mendapat durasi pemberitaan yang sama tapi tone atau dampak siarannya pada publik berbeda. Misalnya, yang satu diberitakan jalan sehat tapi yang lain diberitakan sedang melakukan penggusuran.

"Kita berharap media secara tertib tetap taat pada kode etik jurnalistik dan pedoman perilaku penyiaran standar program siaran (P3&SPS). Ditambah lagi akan ada peraturan bawaslu dan peraturan KPU yang baru tentang penyiaran pemilu," tutur Ubaidillah.

"Harapannya, kita dapat menyambut pesta demokrasi dengan damai dan semua rakyat terinformasi setiap tahapan pemilu. Tahu kapan waktunya nyoblos, tahu bagaimana pengecekan data sudah terdaftar atau belum, termasuk juga bagaimana cara melakukan pencoblosan di tempat lain,” ucapnya menambahkan.***

Sentimen: positif (99.6%)