Sentimen
Positif (88%)
2 Jul 2023 : 22.03
Informasi Tambahan

Event: HUT Bhayangkara

Institusi: ICJR

Kab/Kota: Temanggung

Kasus: HAM, pembunuhan, korupsi, pelecehan seksual

Partai Terkait

HUT ke-77 Bhayangkara Seremoni Tanpa Esensi, Polisi Sibuk Poles Citra Tanpa Perbaikan Nyata

2 Jul 2023 : 22.03 Views 11

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional

HUT ke-77 Bhayangkara Seremoni Tanpa Esensi, Polisi Sibuk Poles Citra Tanpa Perbaikan Nyata

PIKIRAN RAKYAT - Aliansi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menilai, perayaan Hari Ulang Tahun ke-77 Bhayangkara sekadar kegiatan seremonial tahunan yang tidak memiliki dampak apa pun bagi masyarakat. Pasalnya, tidak ada komitmen serius yang ditunjukkan Presiden maupun Kapolri untuk melanjutkan Reformasi Polri selepas berpisah dari ABRI. Reformasi itu juga dinilai mandek, bahkan mengalami kemunduran signifikan.

Kepolisian Republik Indonesia merayakan peringatan tersebut diiringi dengan berbagai agenda seperti fun walk berhadiah hingga bagi-bagi paket sembako. Kegiatan tersebut diakhiri dengan kegiatan puncak yang megah di Stadion Utama Gelora Bung Karno yang dihadiri Presiden Joko Widodo. Dalam upacara tersebut, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyampaikan pesan-pesan terkait perbaikan institusi kepolisian menjadi organisasi yang terbuka dan modern.

“Polri telah membulatkan tekad untuk berbenah, siap melakukan koreksi untuk memberi yang terbaik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, bangsa, dan negara," sebut Kapolri.

Kapolri juga menyampaikan komitmen-komitmennya untuk menjaga marwah Polri, mendengarkan kritik dan saran masyarakat, hingga menindak tegas pelanggaran dan penyimpangan di tubuh Polri. Selain itu, Presiden Joko Widodo yang hadir sebagai pemimpin upacara juga menyampaikan beberapa pesan agar Polri terus berbenah diri agar semakin dicintai masyarakat. Presiden menekankan bahwa Polri memiliki kewenangan dan kekuatan yang besar agar tidak disalahgunakan.

Baca Juga: Pakar Hukum Uninus: Polisi Harus Hilangkan Kebiasaan Damaikan Kasus Pelecehan Seksual

Personel Pelopor Brimob mengikuti upacara peringatan HUT ke-77 Hari Bhayangkara di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu (1/7/2023). HUT ke-77 Bhayangkara mengangkat tema Polri presisi untuk negeri, pemilu damai menuju Indonesia maju.

"Dalam pidatonya, baik Presiden maupun Kapolri tidak menunjukkan komitmen dan visi yang jelas untuk mereformasi Polri baik secara struktural, kultural, maupun instrumental. Presiden hanya sebatas mengingatkan anggota Polri untuk tidak melakukan penyalahgunaan wewenang," kata Muhamad Isnur, perwakilan aliansi dalam keterangan tertulis pada Minggu, 2 Juli 2023.

Sementara permasalahan terbesar Polri hari ini, menurut aliansi, adalah kewenangannya yang besar dan luas, namun minim pengawasan. Tidak ada lembaga pengawas baik internal maupun eksternal yang efektif termasuk dalam sistem peradilan pidana yang mengawasi kewenangan besar Polri. Akibatnya, Polri rentan melakukan abuse of power seperti yang selama ini terjadi.

Alih-alih menunjukkan komitmen untuk mereformasi Polri, Presiden dianggap justru lebih menyinggung perihal citra Polri dan kepercayaan masyarakat. Padahal, citra tanpa perbaikan nyata hanya omong kosong yang tidak akan mampu mengatasi akar masalah kepolisian yang berujung pada masalah demi masalah lainnya yang terus terjadi. Terlebih, menurut aliansi, ketidakpercayaan masyarakat terhadap beragam masalah penyalahgunaan wewenang di institusi Polri tidak lagi bisa diatasi hanya dengan polesan citra dan janji-janji kosong.

Baca Juga: Pesan Waketum Demokrat pada Polisi: Hukum Tumpul ke Penguasa dan Tajam ke Rakyat Harus Diakhiri

Perayaan peringatan tersebut pun dipandang hanyalah sekedar kegiatan seremonial tahunan belaka, seperti pada perayaan-perayaan sebelumnya yang tidak memiliki dampak apapun bagi masyarakat. Catatan buruk terkait perilaku Polri tetap terus mendominasi berbagai laporan tahunan masyarakat sipil maupun lembaga negara seperti Komnas HAM dan Ombudsman RI yang menempatkan Polri sebagai lembaga yang paling banyak diadukan ke lembaga tersebut. Masyarakat sipil juga memberi beberapa catatan terkait korps bhayangkara tersebut.

Pertama, dalam kurun waktu Juli 2021-Juni 2022, KontraS menemukan setidaknya telah terjadi 677 peristiwa kekerasan oleh pihak kepolisian. Sejumlah kekerasan itu telah menimbulkan 928 jiwa luka-luka, dan 59 jiwa tewas dan 1240 ditangkap. Kedua, dalam kurun waktu Juni 2022-Mei 2023, KontraS menemukan 54 peristiwa penyiksaan, penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia di Indonesia. Di antara kasus-kasus tersebut, kepolisian menjadi aktor dominan pelaku tindak penyiksaan dengan 34 peristiwa.

Penampil membawakan tarian kolosal saat upacara peringatan HUT ke-77 Hari Bhayangkara di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu (1/7/2023). HUT ke-77 Bhayangkara mengangkat tema Polri presisi untuk negeri, pemilu damai menuju Indonesia maju.

Ketiga, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat, sepanjang Mei 2022 sampai Mei 2023, dari total 89 kasus kekerasan terhadap jurnalis, 20 kasus di antaranya dilakukan oleh anggota Polri. Ini menempatkan Polri menjadi institusi paling dominan yang menjadi pelaku kekerasan terhadap jurnalis. Dalam satu tahun terakhir, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) juga menerima pengaduan dan menangani lebih dari 130 kasus terkait pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Polri, mulai dari kasus salah tangkap hingga pembunuhan di luar proses hukum (Extra Judicial Killing).

Selain itu, dalam setahun terakhir, terjadi berbagai skandal besar yang melibatkan anggota Polri seperti tragedi Kanjuruhan, Kasus Ferdy Sambo, dan kasus Teddy Minahasa. Tiga kasus tersebut merupakan cerminan Polri hari ini. Mulai dari brutalitas aparat, penggunaan kekuatan yang berlebihan, rekayasa kasus, hingga keterlibatan anggota Polri dalam pusaran kejahatan / tindak kriminal. Semua itu akan terus berulang bila tidak ada komitmen sungguh-sungguh dari internal Kepolisian serta tidak adanya langkah-langkah dan realisasi progresif dari Pemerintah dan DPR RI untuk segera mereformasi Polri.

Kemunduran reformasi Polri dapat dilihat dari aspek struktural, kultural dan instrumental yang ditunjukkan dengan berbagai masalah yang mendera Institusi ini. Berdasarkan catatan aliansi, setidaknya ada beberapa masalah fundamental yang terjadi. Pertama, kegagalan demiliterisasi Polri. Kedua, kepolisian justru memfasilitasi praktik pemolisian politik (kriminalisasi). Ketiga, kepolisian kerap melakukan kekerasan (penyiksaan, pembunuhan di luar hukum, penggunaan kekuatan berlebih) yang merupakan buah dari hukum acara pidana bermasalah. Keempat, korupsi. Kelima, masalah minimnya transparansi dan akuntabilitas penegakan hukum.

Baca Juga: Pemerhati Anak Kritik Cara Polisi Tangani Siswa Bakar Sekolah di Temanggung: Tak Akan Mampu Melarikan Diri

Semua permasalahan di atas menjadi langgeng karena terdapat kelemahan dalam pengawasan, baik pengawasan internal maupun eksternal (internal and external police oversight). Di tingkatan internal, Propam tidak berjalan efektif dan adil, dan bahkan kerap menjadi sarana impunitas bagi anggota polisi yang melakukan pelanggaran dan kejahatan. Kemudian dari sisi Eksternal terdapat kelemahan kewenangan Kompolnas dalam melakukan pengawasan.

Hal yang tidak kalah penting, dari sisi penegakan hukum, absennya kewenangan pengawasan yang ketat (strict scrutiny) dari pengadilan (judicial) dan fungsi kejaksaan sebagai dominus litis juga terbatas. Penegakan hukum berkutat di awal proses penyidikan tanpa pengawasan yang efektif baik dari jaksa maupun hakim. "Memang benar bahwa Polri membutuhkan perombakan total di internalnya, khususnya yang berkaitan dengan wewenang yang mereka miliki selama ini. Namun, perombakan tersebut tidak akan mungkin dilakukan tanpa terlebih dahulu membangun komitmen akuntabilitas dan
transparansi".

Tanpa adanya akuntabilitas dan transparansi dalam kerja-kerja kepolisian, dapat dipastikan bahwa janji-janji yang disampaikan Kapolri hanya menjadi angin lalu sebelum pelanggaran-pelanggaran besar lainnya terjadi kembali di institusi tersebut. Untuk itu, menjelang akhir masa jabatannya, Listyo Sigit sudah sepantasnya meninggalkan legacy yang baik sebagai Kapolri. Hal itu dapat ditempuh dengan meningkatkan mekanisme pengawasan internal yang memang sangat dibutuhkan untuk mengawal proses reformasi Polri. Soalnya, wewenang yang tidak memiliki mekanisme pengawasan yang jelas hanya akan menimbulkan penyalahgunaan wewenang lainnya. Salah satu langkah untuk menunjukkan komitmennya dalam memodernisasi Polri, dapat diawali dengan membuka akses Sistem Informasi Perkara yang ditangani Polri dari Polsek hingga Mabes. Selain itu, hendaknya Polri membuat laporan tahunan yang dapat diakses seluruh masyarakat. Laporan tahunan tersebut setidaknya memberikan informasi tentang penggunaan anggaran dan kinerja Polri.

Aliansi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian yang terdiri dari YLBHI, ICW, PBHI, KontraS, AJI, ICJR, dan Kurawal Foundation meminta presiden dan DPR segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kegagalan reformasi Polri selama ini dengan merevisi Undang-Undang tentang Polri. Dalam konteks menjamin transparansi dan akuntabilitas penegakan hukum, presiden dan DPR harus pula segera mereformasi sistem peradilan pidana dengan revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Selain itu, Jokowi dan DPR segera melakukan evaluasi terhadap kegagalan sistem pengawasan Polri selama ini melalui Propam dan Komisi Kepolisian Nasional dengan membentuk mekanisme pengawasan Polri baru yang efektif baik internal maupun eksternal dengan melibatkan partisipasi masyarakat sipil. Untuk Kapolri, aliansi meminta segera mengevaluasi dan membentuk mekanisme pengawasan internal yang efektif dengan melibatkan masyarakat. Listyo Sigit Prabowo juga mesti mengedepankan transparansi dan akuntabilitas dengan membuat sistem informasi perkara dan laporan kinerja serta penggunaan anggaran Polri yang mudah diakses masyarakat dan. Listyo pun harus tegas dan sungguh sungguh membersihkan institusi Polri dengan memberhentikan anggotanya yang melakukan korupsi maupun penyalahgunaan wewenang, terlebih yang terbukti melakukan kejahatan dan menjadi terpidana atas putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.***

Sentimen: positif (88.9%)