Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Zakat Fitrah
Kasus: Tipikor, korupsi, kecelakaan
Tokoh Terkait
Analogi Kehidupan seperti Sepak Bola, Ada Kartu Merah bagi yang Melanggar
Pikiran-Rakyat.com
Jenis Media: Nasional

PIKIRAN RAKYAT - Meskipun tidak bertindak anarkistis seperti di lapangan ketika klub pujaannya kalah, para pecandu sepak bola di tanah air sangat kecewa ketika negara kita batal menjadi tuan rumah Piala Dunia U20 tahun 2023. Beragam komentar kekecewaan mereka tumpahkan di lapangan dunia maya. Presiden Jokowi pun turun tangan mendinginkan situasi agar semua pihak tidak saling menyalahkan seraya mengajak semua pihak untuk mengambil pelajaran dari peristiwa pahit tersebut.
Seperti itulah permainan sepak bola yang menjadikan dunia ini hingar bingar. Terlebih-lebih ketika sepak bola sudah menjadi industri seperti sekarang ini, persaingan, gengsi, fanatisme, dan perolehan sejumlah cuan menambah semakin ramainya dunia olahraga terpopuler ini. Sebagai sebuah industri, kini sepak bola bukan olahraga, tapi juga menyangkut harga diri, profesi, kompetensi, dan kelangsungan hidup pemilik klub, para manajer, dan pemain.
Secara filosofis terdapat sisi analogis permainan sepak bola dengan kehidupan. Apabila kita renungkan, kehidupan kita pun layaknya permainan sepak bola. Kita berlari ke sana kemari untuk mendapatkan bola kehidupan. Kita dituntut menjadi pemain yang dapat menangkap bola kehidupan dengan baik tanpa melanggar peraturan dan tanpa mencederai siapa pun.
Baca Juga: 5 Pilar yang Harus Diperhatikan untuk Mendorong Produktivitas Kerja dan SDM Andal
Bola kehidupan yang sering kita kejar adalah kekayaan, pangkat, jabatan, kekuasaan, bahkan popularitas. Kita harus berupaya mendapatkannya dengan melakukan permainan cantik seraya menaati peraturan, baik peraturan agama maupun hukum positif yang telah disepakati bersama.
Seorang pemain sepak bola kehidupan yang baik akan merasa takut jika ia melanggar peraturan yang telah ditetapkan, sebab jika ia melanggarnya akan berisiko mendapatkan 'kartu merah' yang akan menjadikan kehidupannya menderita. Orang-orang yang melakukan perbuatan jahat, licik, dan korup ketika mengikuti 'permainan' sepak bola kehidupan, secara lahiriah nampak bahagia, tetapi secara psikologis jiwanya menderita.
Aristoteles, filosof Yunani pernah berkata, “Pada hakikatnya, kejahatan dan perbuatan korupsi itu merusak jiwa pelakunya. Jika seseorang berbuat jahat, bertindak korup hanya tampak lahiriahnya saja ia menang, senang, dan berkuasa, tetapi sebenarnya jiwanya menderita. Orang yang berbuat jahat, korup, sebenarnya telah menghancurkan jiwanya sendiri.”
Baca Juga: Pertemuan Jokowi dengan 5 Ketum Parpol Jadi Sinyal Keberadaan King Maker Pilpres 2024
Sebagai pemain sepak bola kehidupan yang baik selayaknya kita tidak hanya piawai menangkap atau mendapatkan bola kehidupan, tetapi juga harus memiliki tekad kuat untuk mengoperalihkan bola kehidupan kepada pemain lainnya. Salah satu bola kehidupan yang sering kita cari, selalu ingin menangkapnya, dan kita memiliki kewajiban untuk mengoperalihkannya kepada pemain lain adalah kekayaan.
Epictetus seorang filosof Yunani lainnya pernah berkata, “Kamu akan menemukan para pemain sepak bola andal melakukan hal yang mirip dengan seseorang yang menangani kekayaan. Bukan bolanya yang dianggap berharga oleh mereka, tetapi yang dinilai baik tidaknya adalah seberapa mahir mereka melemparkan dan menangkap bola tersebut kepada kawan main.”
Selayaknya kita menyadari, dalam kekayaan yang kita miliki terdapat hak orang lain yang harus ditunaikan kewajibannya misalnya pajak, zakat, infak, dan sedekah lainnya. Penunaikan kewajiban ini merupakan upaya mengoperalihkan bola kehidupan kepada kawan main untuk diarahkan ke 'gol kemanusiaan' yang kebaikannya akan kembali kepada diri kita.
Baca Juga: Indonesia Harus Segera Membuat Aturan Peningkatan Kekayaan Secara Tidak Wajar
Jika kita tidak mengoperalihkan kekayaan yang kita miliki dengan cara berbagi, kita laksana seorang pemain sepak bola yang egois. Setelah mendapatkan bola, ia menguasai dan memainkan bolanya sendiri, enggan mengoperalihkannya kepada kawan main.
Orang yang menguasai hartanya secara egois, tidak mau berbagi dengan orang lain pun demikian. Lama kelamaan ia akan merasa kelelahan, merasa jenuh dengan harta yang berlimpah, tetapi ketenangan dan kebahagian menjauh darinya. Zakat, infak, dan sedekah yang ia lewatkan akan menjadi belenggu, kecelakaan, dan penyesalan tiada akhir di akhirat kelak, sementara pajak yang ia tahan dalam membayarnya akan menjadi batu sandungan hukum di dunia.
Selain berbagi harta, kita pun harus menggunakan segala hal yang diperoleh dalam kehidupan ini bukan hanya untuk kepentingan pribadi, tapi juga untuk kepentingan sesama. Kekuasaan atau jabatan yang kita miliki harus dipergunakan untuk kemaslahatan kehidupan seluruh makhluk Allah, terutama sesama manusia.
Orang-orang yang menyalahgunakan kekuasaannya hanya akan mendapatkan kesengsaraan, bukan kebahagiaan. Bukan rahasia lagi, bagaimana tertunduk malunya para pejabat atau penguasa yang divonis hakim karena melakukan tindak pidana korupsi atau kejahatan lainnya. Padahal, sebelumnya mereka adalah para penguasa yang nampak berwibawa, disegani semua orang, dan selalu diberi pengawalan kemanapun mereka pergi.
Sebagai pemain sepak bola kehidupan yang jatah bermain kita di lapangan kehidupan ini hanya sebentar, sudah selayaknya kita menjadi pemain yang baik. Kita harus melakoninya bukan hanya mampu mengejar bola kehidupan, mendapatkan, dan menguasainya, tetapi juga harus mampu menggunakan dan membagi bola kehidupan yang kita peroleh untuk kemaslahatan hidup seluruh makhluk Allah. Dengan cara seperti itulah kehidupan kita akan menjadi baik di hadapan-Nya.
(Ade Sudaryat - Penulis lepas, bloger)***
Sentimen: negatif (99.6%)