Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Sukoharjo
Kasus: PHK
Buruh Sukoharjo Tolak Permenaker Nomor 5 Tahun 2023, Ini yang Ditakutkan
Krjogja.com
Jenis Media: News

Krjogja.com - SUKOHARJO - Forum Peduli Buruh (FPB) Sukoharjo menolak Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global. Kebijakan pemerintah pusat tersebut sangat memberatkan dan merugikan buruh. Bentuk penolakan juga diminta buruh kepada pemerintah untuk segera menghapus Permenaker tersebut secepatnya.
Ketua Forum Peduli Buruh (FPB) Sukoharjo sekaligus Ketua Serikat Pekerja Republik Indonesia (SPRI) Sukoharjo, Sukarno, Jumat (17/3) mengatakan, Permenaker Nomor 5 Tahun 2023 merupakan peraturan baru dari pemerintah pusat yang disahkan pada 7 Maret 2023 lalu. Sejak muncul Permenaker Nomor 5 Tahun 2023 tersebut buruh di Kabupaten Sukoharjo langsung resah karena besar dampaknya.
Keresahan buruh juga direspon FPB Sukoharjo selalu lembaga resmi dengan melakukan penolakan keberadaan Permenaker Nomor 5 Tahun 2023. FPB Sukoharjo melihat Permenaker Nomor 5 Tahun 2023 sangat merugikan dan memberatkan buruh.
Sukarno menjelaskan, buruh merasa keberatan dan dirugikan karena dalam Permenaker Nomor 5 Tahun 2023 disebutkan pihak perusahaan berorientasi ekspor bisa melakukan pemotongan jam kerja dan upah buruh. Kebijakan tersebut jelas sangat merugikan buruh karena akan mengurangi pendapatan atau upah yang diterima di perusahaan tempat kerjanya.
FPB Sukoharjo melihat adanya kebijakan tersebut dikhawatirman akan dimanfaatkan oleh perusahaan nakal. Sebab pihak perusahaan bisa sewenang-wenang melakukan pemotongan jam kerja dan upah buruh karena merasa dilindungi aturan dalam Permenaker Nomor 5 Tahun 2023.
Disisi lain, buruh akan dilemahkan dan menjadi korban pemotongan jam kerja dan upah karena harus mematuhi aturan dalam Permenaker Nomor 5 Tahun 2023. Nasib buruh dikatakan Sukarno aman semakin tertekan karena kemungkinan terakhir juga bisa terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak apabila pihak perusahaan tidak lagi menggunakan jasa buruh karena alasan tertentu seperti order sepi akibat pengaruh ekonomi global.
"Kabupaten Sukoharjo banyak perusahaan dengan orientasi pasar ekspor. Buruh jelas sangat resah dengan adanya Permenaker Nomor 5 Tahun 2023. Aturan tersebut sangat merugikan dan memberatkan buruh. FPB Sukoharjo secara tegas menolak dan meminta pemerintah segera menghapusnya," ujarnya.
Sukarno menjelaskan, perusahaan di Kabupaten Sukoharjo dengan pasar ekspor bergerak dibidang tekstil, garmen dan furniture. Produk tersebut banyak dihasilkan dan menyerap banyak tenaga kerja.
"FPB Sukoharjo sebelumnya juga sudah menolak berbagai aturan pemerintah yang memberatkan buruh. Namun sampai sekarang tidak ada respon dari pusat. Belum ada penghapusan. Yang jelas nasib buruh semakin sengsara," lanjutnya.
Sukarno mengatakan, pemerintah pusat sebelumnya juga baru saja membuat buruh resah setelah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Aturan tersebut secara tegas juga telah ditolak FPB Sukoharjo. Penolakan serupa sebelumnya sudah dilakukan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja atau omnibus law. Meski Undang Undang Cipta Kerja sudah diganti menjadi Perpu namun buruh di Sukoharjo tetap menolak karena keberadaan aturan tersebut sangat merugikan
FPB Sukoharjo yang berisi sejumlah serikat pekerja di Kabupaten Sukoharjo satu suara menolak dengan keras keberadaan Undang-Undang Cipta Kerja dan Perpu Cipta Kerja. Sebab keberadaan Undang-Undang Cipta Kerja yang diganti menjadi Perpu Cipta Kerja tetap tidak memihak buruh dan sangat merugikan.
"Sejak awal FPB Sukoharjo sudah menolak Undang-Undang Cipta Kerja dan sekarang diganti menjadi Perpu Cipta Kerja tidak ada perubahan sama sekali. Tetap memberatkan dan merugikan buruh. Jelas kami tolak," lanjutnya.
FPB Sukoharjo sejak awal ditegaskan Sukarno sudah menyuarakan penolakan keberadaan Undang-Undang Cipta Kerja karena merugikan buruh. Harapannya Undang-Undang Cipta Kerja bisa dicabut. Namun yang terjadi justru muncul aturan pengganti yang pada intinya masih sama merugikan buruh.
"Sebenarnya dari putusan MK itu harus memperbaiki Undang-Undang Cipta Kerja tapi justru dikeluarkan Perpu Cipta Kerja yang mana masih belum memihak buruh. Banyak aturan merugikan buruh disana," lanjutnya.
Sukarno mencontohkan kerugian buruh seperti terkait uang pensiun dan status pekerja atau buruh kontrak. "Kalau buruh atau pekerja itu statusnya kontrak maka akan seterusnya kontrak. Jelas ini merugikan buruh. Harusnya bisa diangkat menjadi buruh atau pekerja tetap," lanjutnya.
FPB Sukoharjo terkait penolakan Perpu Cipta Kerja berencana akan meminta audiensi dengan DPRD Sukoharjo. Pengurus FPB Sukoharjo masih melakukan persiapan dan koordinasi dengan sekretariatan dewan Sukoharjo.
"Buruh akan kembali menyampaikan aspirasi penolakan Perpu Cipta Kerja. Sama seperti dulu saat menolak Undang-Undang Cipta Kerja," lanjutnya.
Sukarno, mengatakan, ada banyak aturan yang sangat merugikan buruh seperti Undang-Undang Cipta Kerja atau omnibus law dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 dimana upah buruh tidak lagi berpedoman pada pencapaian kebutuhan hidup layak (KHL).
Aturan memberatkan tersebut sangat terasa sekali dampaknya bagi buruh. Hal itu seperti terlihat banyak buruh terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), upah kecil hingga buruh tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup.
Besarnya beban hidup serta upah murah dikhawatirkan FPB Sukoharjo bisa menambah angka kemiskinan. Hal ini disebabkan karena buruh sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari untuk keluarga.
FPB Sukoharjo juga mengkhawatirkan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Sebab kondisi sekarang juga dialami pelaku usaha dimana mendapat beban tinggi. Salah satunya seperti sebelumnya sempat terjadi kenaikan harga BBM. Selain itu juga naiknya tarif listrik dan masih sepinya pasar serta kesulitan bahan baku produksi.
Sukarno mengatakan, himpitan masalah yang dialami pelaku usaha akan memaksa mengurangi buruh. Akibatnya buruh akan kehilangan pekerjaan dan menganggur. Dampaknya membuat angka kemiskinan meningkat. (Mam)
Sentimen: negatif (100%)