Sentimen
Positif (100%)
30 Jan 2023 : 18.06
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Bogor, Bintaro, Sukabumi, Bungur, Garut

Saba Budaya Baduy Jero, Melihat Masyarakat Sunda yang Tetap Setia pada Ajaran Leluhur

30 Jan 2023 : 18.06 Views 14

Pikiran-Rakyat.com Pikiran-Rakyat.com Jenis Media: Nasional

Saba Budaya Baduy Jero, Melihat Masyarakat Sunda yang Tetap Setia pada Ajaran Leluhur

PIKIRAN RAKYAT - Masyarakat adat Baduy adalah salah satu contoh masyarakat Sunda asli yang masih mempertahankan nilai-nilai dan tradisi leluhur. Merkea memilih untuk tertutup, tidak tersentuh segala modernisasi. Ajaran demi ajarannya masih sangat murni berdasarkan adat istiadat yang disampaikan secara turun-temurun.

Dalam setiap perilaku dan aktivitas kesehariannya, masyarakat Baduy, khususnya Baduy Jero atau Baduy Dalam, tetap bertahan dalam menaati ajaran nenek moyang selama berabad-abad. Mereka hidup damai dan rukun dengan sesama, serta harmonis menyatu dengan alam.

Salah satu ajaran yang dipegang adalah Wangsit Baduy yang berbunyi, “gunung teu menang dilebur, lebak teu menang dirusak, larangan teu menang direumpak, buyut teu menang dirubah, pondok teu menang disambung, nu lain kudu dilainkeun, nu ulah kudu diulahkeun, nu enya kudu dienyakeun, kudu ngadek sacekna, nilas saplasna”.

Kontributor “PR” Herlan Heryadie bersama 11 orang kru Journalist Journey Solidarity (JJS) berkesempatan melakukan Saba Budaya Baduy pada Sabtu-Minggu 28-29 Januari 2023. Kru bertolak dari Sukabumi pada Jumat 27 Januari 2023 malam, menempuh perjalanan via Bogor-Leuwiliang-Rangkasbitung-Lebak selama sekira enam jam. Total 12 kru berangkat menggunakan empat kendaraan roda empat. Sabtu pagi, kru sudah tiba di tempat bernama Terminal Cijahe, salah satu titik menuju Baduy Luar dan Baduy Jero.

Baca Juga: Warga Lebak Agung Garut Antusias Saksikan Ambu, Film Berlatar Kampung Adat Baduy

Di Terminal Cijahe itu pula, kru bertemu dengan enam orang warga asli Baduy Jero yang siap menjadi pemandu. Mereka adalah Sanip (40), Sarip (47), Sarmin (24), Aja (40), Asma (12), dan Arda (10). Mereka semuanya masih satu saudara sedarah.

Usai sarapan, kru berbincang bersama keenam ‘guide’ tersebut mengenai rute perjalanan. Setelah melengkapi persiapan dan perbekalan, akhirnya pukul 08.00 WIB, kru memulai perjalanan berjalan kaki.

Setelah sekira dua jam naik turun bukit sembari membelah hutan dan rimba, akhirnya kru tiba di Kampung Cibeo Baduy Jero. Di perjalanan, kru juga sempat melewati Kampung Cikertawana. Sejak memasuki perbatasan menuju Baduy Jero, semua kru menyimpan rapat-rapat barang elektronik tak terkecuali gawai.

Di Kampung Cibeo yang sangat bersih dari sampah itu, kru beristirahat di rumah Sanip dan Sarip. Sembari beristirahat dan menunggu makan siang disiapkan, kami pun berbincang dengan Sanip, sesekali menikmati durian khas Baduy.

Baca Juga: Urang Kanekes, Kepercayaan hingga Perbedaan Suku Baduy Dalam dan Luar

Dalam perbincangan itu, Sanip menceritakan bahwa mereka tak mengenal tulisan. Ajaran-ajaran leluhur disampaikan secara lisan atau tuturan dan praktik sehari-hari. Anak-anaknya baik Baduy Jero maupun Baduy Luar tidak sekolah formal.

“Sebagai gantinya, anak-anak diajarkan di sekolah adat. Tapi lebih banyak pendidikan diajarkan orang tua masing-masing,” kata Sanip.

Bahasa yang digunakan masyarakat baduy sehari-hari adalah Bahasa Sunda Banten dengan dialek khas Baduy. Meski demikian, mereka juga cukup fasih dalam berbahasa Indonesia. Walau tak sekolah formal, masyarakat Baduy masa kini kebanyakan sudah bisa membaca, tidak buta huruf. Bicara soal wilayah, secara administratif, kawasan Baduy Jero berada di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Dalam berpakaian, masyarakat baduy ini tetap mengenakan pakaian adat. Di Baduy Jero, ikat kepala disebut Telekung, sementara ikat kepala Baduy Luar disebut Romar. Lalu baju khasnya disebut Jamang Kurung. Masyarakat Baduy Jero boleh memakai Jamang Kurung warna putih maupun hitam, tidak boleh warna lain. Untuk Baduy Luar, mereka hanya memakai warna hitam. Kemudian, Baduy Jero tidak membolehkan mengenakan celana, hanya kain tenun motif bergaris selutut yang disebut Samping Aros. Sementara Baduy Luar biasanya memakai celana pangsi hitam.

Baca Juga: Warga Baduy Jadi Korban Penipuan, Modus Pelaku Diungkap Polisi

Bicara soal alas kaki, Baduy Luar masih boleh memakai sepatu atau sandal. Kalau Baduy Jero, aturannya sudah jelas, kemana pun mereka pergi, sudah terbiasa bertelanjang kaki. Sejauh dan seterjal apa pun jalan yang dilalui, harus tetap nyeker. Telapak kakinya seperti sudah dilapisi bantalan khusus antipegal dan nyeri.

“Anak-anak Baduy Jero yang terbiasa diajak “Ngalanjak” atau berburu, sudah dibekali golok yang selalu ditengteng di pinggangnya. Ada juga tali yang dipasang melilit di pergelangan tangan, disebut Gelang Kapuru. Fungsinya sebagai penolak bala,” ucap Sanip.

Dari perbincangan itu juga, diketahui bahwa Baduy Jero memiliki tiga kampung, antara lain Cibeo, Cikeusik, dan Cikertawana. Masing-masing memiliki sesepuh kampung yang disebut Puun. Cibeo dipimpin Puun Jahadi, Cikertawana dipimpin Puun Dalkin, dan Cikeusik dipimpin Puun Eman.

Perkampungan Baduy Jero dikelilingi 60 kampung Baduy Luar yang dipimpin 7 Jaro alias Kepala Desa. Ciri khas perbatasan antara Baduy Luar dan Baduy Jero adalah jembatan rawayan yang membelah Sungai Ciujung. Jika sudah melintas jembatan rawayan, secara otomatis sudah tidak boleh ada lagi alat-alat atau barang-barang elektronik.

“Kita masyarakat Baduy menyebut ajaran leluhur itu sebagai amanah istilahnya. (Terkait) amanah itu, saya diajarkan sama orang tua saya. Kemudian saya ajarkan ke anak-anak saya. Begitu terus-menerus dituturkan secara turun temurun. Kalau misalkan ada yang melanggar aturan adat, itu ada semacam sanksi. Ada yang dihukum, misal, harus keluar dari kampung Baduy Jero selama beberapa hari. Kalau melanggarnya benar-benar berat, dikeluarkan selamanya,” tegas Sanip.

Mulanya, kru akan menginap di Baduy Jero selama semalam. Tapi karena sedang masuk bulan Kawalu, untuk beberapa hari ke depan, tidak boleh dulu ada masyarakat luar yang bermalam. Akhirnya selepas santap makan siang, kru melanjutkan perjalanan berjalan kaki ke salah satu kampung Baduy Luar bernama Cepak Bungur. Kawalu adalah momen khusus bagi masyarakat Baduy Jero menjalankan puasa sebagai rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas hasil panen yang melimpah.

“Kawalu ini dilaksanakan tiga kali setahun. Kawalu Kasa, Karo, dan Katiga. Kami puasa. Puasa ini tujuannya untuk membersihkan diri. Di bulan Kasa, ada Kawalu Tembey atau Kawalu Awal. Dimiulai Selasa depan. Puasa penuh dan nanti Puun yang akan kasih tahu kapan harus buka puasa. Waktu buka puasa itu, semua harus ada di rumah masing-masing dengan keluarganya. Ada juga ritual mandi di sungai, pembacaan mantra oleh puun. Mandi juga tidak boleh pakai sabun, gosok gigi jangan pakai odol, basuh kepala jangan pakai sampo. Semua amanah dari leluhur ini harus dijalankan,” ujar Sanip seraya menunda perbincangan karena seluruh kru harus kembali melanjutkan perjalanan sekira tiga jam ke Kampung Cepak Bungur.

Sesampainya di Cepak Bungur, setelah kru bisa mengatur nafas dan mengusap keringat yang bercucuran, bincang-bincang pun berlanjut, namun kali ini lebih spesifik yakni seputar kondisi masa kini.

Ditanya soal modernisasi, Sanip dan yang lainnya sama sekali tak alergi dengan teknologi. Hanya saja, Sanip saparakanca (dan kawan-kawan0 lebih memilih dan memilah yang menurutnya baik untuk masyarakat Baduy Jero, serta tidak melanggar ajaran atau amanah para karuhun. Dengan catatan, segala hal yang berbau teknologi dan modernisasi tidak dibawa ke Baduy Jero.

“Saya juga cukup sering berpergian ke luar. Mau itu ke Baduy Luar atau ke lingkungan luar Baduy seperti di Terminal Cijahe. Di luar itu, saya sering dapat informasi soal apa saja di dunia luar. Saya sendiri pernah ke Bintaro jalan kaki dua hari. Jadi kalau soal teknologi, kami tahu tapi (teknologi itu) tidak sampai dibawa ke Baduy Jero. Apa yang terjadi di luar biar tetap di luar saja. Jangan dibawa-bawa ke dalam. Tugas kami menjaga amanah leluhur, menjalankannya dan mewariskan kepada anak cucu,” kata Sanip.***

Sentimen: positif (100%)