Etik dan moral yang harus menjadi pemandu utama pemimpin puncak di mana pun
Elshinta.com
Jenis Media: Politik

Ketua Institut Harkat Negeri Sudirman Said. (ELSHINTA/dok Pri)
Elshinta.com - Ratusan Kepala Desa (Kades) dari berbagai daerah di Indonesia menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Jakarta, mereka menuntut perpanjangan jabatan dari 6 tahun menjadi 9 tahun.
Menurut Ketua Institut Harkat Negeri Sudirman Said, secara aturan sangat dimungkinkan dilakukan perubahan terhadap aturan yang sudah ada, namun perlu diperhatikan dan dipertanyakan respon cepat yang kini terjadi untuk mengubah aturan tersebut.
“Aturan diubah dengan cepat, apakah itu tepat? Itu perlu dipertanyakan. Periode 6 tahun sudah sangat cukup, jika dilihat dari latar belakang pembahasan terciptanya UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa seharusnya tidak serta merta usulan itu diterima tapi perlu dipelajari secara mendalam,” demikian dikatakan Sudirman Said dalam Program Elshinta News and Talk di Radio Elshinta pagi ini Jumat, 20 Januari 2023.
Lebih kanjut, ia coba mengaitkan dengan suasana yang terdengar saat ini tentang perpanjangan masa jabatan presiden, menurutnya jangan sampai respon terhadap unjuk rasa kepala dasa ditanggapi sama dengan pihak-pihak yang ingin memperpanjang jabatan di level kepemimpinan nasional.
”Melihatnya harus dari sisi moral publik, kewajaran, kepatutan, bukan semata-mata dari sisi legalistik yang bisa saja dibuat,” demikian aktivis kemanusiaan ini yang juga pendiri Masyarakat Transparansi Indonesia.
Bisa dibayangkan jika para bupati, walikota melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan para kepala desa maka akan terjadi permasalahan etik dan kepatutan.
Ia juga menambahkan, di DPR banyak sekali agenda-agenda mendesak, mengapa usulan ini langsung direspon untuk dikaji padahal banyak proses yang perlu dilewati seperti kajian akademis, prolegnas dan sosialisasi ke masyarakat.
“DPR juga harus bertanya pada rakyat apakah perpanjangan jabatan ini menjadi solusi terhadap masalah-masalah di pedesaan?” tambahnya.
Dalam wawancara yang dipenuhi interaksi dari pendengar, Sudirman Said menggarisbawahi pentingnya mengingatkan kalangan yang berada di pucuk kepemimpinan agar mengedepankan nurani, kebenaran, kewajaran serta kepatutan dalam membuat keputusan-keputusan penting.
“Agregasi kekuatan masyarakat sipil harus muncul untuk mengingatkan dengan mengedepankan moralitas, karena secara alami kekuasan cenderung korup, maka harus ada proses check and balance”.
Di akhir wawancara ia memberikan penekanan tentang orang-orang yang ada di pososi-posisi penting seperti pejabat negara.
“Ada tiga level kehidupan, yang pertama yang paling rendah yang paling primitif adalah keserakahan apapun yang kita mau dikerjakan apakah itu legal atau tidak, yang kedua adalah legalistik melihat hukum yang boleh dikerjakan dan yang tidak boleh dikerjakan dan yang paling tinggi adalah level etik”.
Pada waktu seseorang ada di ketinggian di tempat-tempat puncak sebetulnya berbahaya untuk berfikir secara legalistik, karena menurutnya orang yang berada di puncak atau pimpinan tertinggi itu bisa saja membuat peraturan.
Apabila hanya berfikir legalistik maka apapun yang diinginkan akan dicarikan legal hukumnya. “Jangan meneruskan praktek-praktek bernegara yang semakin hari meninggalkan aspek kepatutan, dan masyarakat harus didorong untuk menyuarakan terus sikap kritisnya,” demikian penutup yang disampaikan Sudirman Said.
Sentimen: positif (33.3%)