Sentimen
Positif (88%)
10 Jan 2023 : 12.50
Informasi Tambahan

Agama: Islam

BUMN: BTN

Institusi: UNHCR

Kasus: HAM, kebakaran

Partai Terkait
Tokoh Terkait

‘30 Hari tanpa Makan, 26 Meninggal’

10 Jan 2023 : 12.50 Views 36

Republika.co.id Republika.co.id Jenis Media: Nasional

‘30 Hari tanpa Makan, 26 Meninggal’

OLEH FERGI NADIRA

Sedikit-sedikit, Achmad Syukur (45 tahun) sudah bisa bicara bahasa Indonesia. Terbata-bata, ia mengisahkan perjalanannya terombang-ambing di lautan selama sebulan lebih.

"Satu ratus, 90 orang," ujar dia mengenai rombongan pengungsi Muslim Rohingya yang berhasil selamat tiba di Pantai Ujong Pie, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie, Aceh, pada Senin, 26 Desember 2022. Ia salah satu dari rombongan tersebut.

Achmad Syukur melarikan diri dari pengungsian Cox's Bazar di Bangladesh sekitar 40 hari sebelumnya. Setelah berhasil keluar pengungsian, ia kemudian bertolak dengan kapal kayu bermesin.

Sepuluh hari pertama, menurut dia, makanan masih cukup untuk ratusan pengungsi tersebut. Setelah itu, nyaris tak ada lagi. "Minum air lau (laut, red)," kata dia menuturkan kondisi mereka.

Selama 40 hari perjalanan, menurut Achmad Syukur, 26 anggota rombongan itu meninggal.

Belum selesai nelangsa, di tengah laut kapal mereka mati mesin. Mereka terombang-ambing sepanjang Laut Andaman, kemudian Samudra Hindia. Kejadian itu membuat kapal meleset jauh dari tujuan sebelumnya.

Para pengungsi itu sedianya hendak menuju Semenanjung Malaysia. Kendati demikian, mereka akhirnya terdampar dan ditolong warga di perairan Aceh.

Sepanjang akhir tahun lalu hingga Januari ini, berulang kali kapal-kapal seperti yang dinaiki Achmad Syukur mendarat di Aceh. Dalam kurun waktu dua pekan ini saja, sudah tiga kali warga Rohingya mendarat di pantai Aceh.

Sebelumnya, pada Ahad (25/12/2022), terdampar sebanyak 57 orang di Pantai Indra Patra, Aceh Besar. Kemudian, pada Senin (26/12/2022) juga terdampar sebanyak 174 orang di Kabupaten Pidie.

Yang terkini, terjadi di Pantai Lamnga, Aceh Besar, pada Ahad (8/1). Sebanyak 69 lelaki dewasa, 75 perempuan dewasa, dan 40 anak-anak ikut serta dalam perahu pengungsian tersebut.

Kondisi terkini para pengungsi Rohingya tersebut mulai membaik. Lembaga swadaya masyarakat (LSM), pemerintah daerah, serta organisasi internasional pengungsi bekerja sama erat membantu mereka memenuhi kebutuhan dasar.

Humanitarian Coordinator Yayasan Geutanyoe, Nasruddin, kepada Republika menyampaikan bahwa para pengungsi telah mendapatkan perawatan darurat. "Mereka membutuhkan air dan kami langsung mengerahkan kebutuhan dasar mereka ketika pertama kali mencapai pantai," katanya, Senin (9/1).

Nasruddin (memantau dari dekat ratusan pengungsi yang kini telah ditempatkan sementara di Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Rumoh Seujahtera Beujroh Meukarya, fasilitas Dinas Sosial Provinsi Aceh di Desa Ladong, Aceh Besar. "Tempat tersebut bekas rumah yatim piatu yang kosong, dan saat ini ditempati para pengungsi yang banyak terdiri atas anak-anak," katanya.

Dari hasil penghitungan sementara yang dilakukan aparat keamanan dan instansi terkait lainnya, jumlah mereka yang terdampar adalah 184 orang. "Mereka kini beralaskan tikar di tempat pengungsi, kami sebisanya memberikan bantuan untuk alat tempat tidur," kata Nasruddin.

Sementara itu, kebutuhan yang paling dibutuhkan adalah obat-obatan, selimut, pakaian, makanan, air minum, pakaian dalam dan alas tempat tidur. Hingga kini, kata dia, petugas masih melakukan proses evakuasi para pengungsi etnis Rohingya ke tempat penampungan sementara di  UPTD Dinas Sosial di Ladong.

Yayasan Geutanyoe bersama dengan pemerintah akan membantu pengungsi etnis Rohingya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Kendati demikian, gelombang kedatangan belakangan membuat kondisinya tak mudah.

"Karena di 2022 yang lalu lima kali pendaratan dengan jumlah hampir 800 orang etnis Rohingya di datang ke Aceh sehingga membuat kita kewalahan untuk pendanaan maupun logistik," ujarnya.

Direktur HAM dan Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI Achsanul Habib mengatakan kepada Republika bahwa lima gelombang pengungsi Rohingya tiba di Aceh sejak November tahun lalu. "Jika dihitung dari gelombang November-Januari dengan lima gelombang, total terdapat 644 orang," kata Achsanul Habib.

Jumlah pendaratan sepanjang November 2022-Januari 2023 tersebut saja sudah melampaui jumlah kedatangan sepanjang 2020 (395‬ orang) dan 2021 (186 orang).

Ia mengatakan, Kemenlu bekerja sama dengan Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR), Badan Migrasi Internasional (IOM), dan LSM lokal membantu para pengungsi yang terdampar. "UNHCR, IOM, dibantu sejumlah LSM fokus tangani di lapangan, khususnya untuk pemenuhan kebutuhan dasar," kata dia.

Mengapa mengungsi?

Dr Waliullah, seorang relawan yang lama mengabdi di pengungsian Cox's Bazar di Bangladesh menuturkan bahwa banyak faktor yang menyebabkan lonjakan pengungsi Rohingya dari Bangladesh belakangan, terutama tentang ketidakjelasan masa depan mereka.

"Mereka frustrasi tentang masa depan mereka. Dan saat orang frustrasi, mereka sering mengambil keputusan yang salah," ujar dokter mata itu saat dihubungi Republika, Senin (9/1).

Sebagai gambaran, kebanyakan pengungsi Rohingya di Bangladesh sudah melarikan diri dari Rakhine di Myanmar sejak 2017. Sudah sekitar enam tahun mereka berada di pengungsian di Cox's Bazar dengan tenda dari bambu dan terpal, kerap dilanda banjir dan kebakaran. Tak ada sistem sanitasi yang memadai, tak ada cara mencari penghasilan, juga tak ada pendidikan.

Menurut Waliullah, sekitar 1,5 juta hingga 2 juta pengungsi memenuhi Cox's Bazar. Meski secara resmi, jumlah pengungsi di Cox's Bazar tercatat pada angka 890 ribu jiwa. Dengan angka resmi itu pun, Cox's Bazar saat ini adalah klaster pengungsian terbesar di dunia.

Sejak 2020, sekitar 20 ribu dipindahkan ke sebuah pulau kosong bernama Bhasan Char. Meski para pengungsi dibangunkan perumahan, fasilitas lainnya minim. Akibatnya terjadi kekurangan pangan dan kelangkaan air bersih. Tak ada juga pekerjaan dan sekolah di lokasi itu. Para pengungsi kerap merasa dipenjara.

Kondisi di pengungsian yang demikian padat dan sengsara, kata Waliullah, kemudian memicu juga konflik di antara para pengungsi. Salah paham sedikit saja bisa berujung kekerasan antarkelompok. Hal itu makin mendorong etnis Rohingya nekat mengarungi lautan dengan harapan tempat yang lebih baik.

Sejak lama, para pengungsi juga menuntut kembali ke kampung halaman mereka di Rakhine, Myanmar. Pada pertengahan 2022 lalu, ribuan berunjuk rasa dalam aksi meminta hak pulang tersebut. Kendati demikian, program repatriasi sejauh ini terhambat keengganan Pemerintah Myanmar menjamin kewarganegaraan dan keamanan etnis Muslim Rohingya.

Tak ada jaminan sejauh ini mereka bakal aman dari pembantaian oleh militer Myanmar seperti yang terjadi pada 2016-2017 lalu. Saat itu, dengan dalih memberantas ekstremisme, militer Myanmar menghancurkan desa-desa di Rakhine dan membunuh sedikitnya 25 ribu orang dari etnis Rohingya. Sebanyak 700 ribu mengungsi setelah kejadian itu dan ribuan lagi menyusul setelahnya.

Kejadian saat itu adalah puncak dari persekusi yang dilakukan pemerintah dan kelompok nasionalis Buddha terhadap Muslim Rohingya sejak 1970-an. Hingga saat itu, Muslim Rohingya tak diakui sebagai etnis resmi di Myanmar meski sudah menempati Rakhine sejak abad ke-19, bahkan ada pihak yang melacak keberadaan mereka telah ada sejak abad ke-15.

Dalam keputusasaan itu, menurut Waliullah, para pengungsi juga mudah terayu pihak-pihak yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik. "Para pengungsi dibohongi oleh para broker ilegal soal fasilitas yang lebih baik di negara lain," kata Waliullah.

Keberadaan broker ilegal itu yang menurut Waliullah sangat berperan atas gelombang pengungsian. Menurut dia, Indonesia bukan tujuan akhir para pengungsi dari Rohingya. Mereka menganggap Indonesia sebagai salah satu stasiun untuk mencapai negara-negara lain seperti Malaysia, Australia, atau Selandia Baru.

Sementara itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mendesak Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi Konvensi PBB 1951 terkait Penanganan Pengungsi. Indonesia sejauh ini bukan penandatangan Konvensi Pengungsi PBB tahun 1951. "Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 tahun 2016 teruji tidak cukup komprehensif," ujar Koordinator Kontras Aceh Azharul Husna kepada Republika, Senin (9/1).

Perpres Nomor 125 Tahun 2016 mengatur bahwa penanggung jawab penanganan pengungsi berada pada UNHCR dan IOM. Namun, UNHCR mengatakan, Perpres 125 Tahun 2016 memberikan kerangka hukum yang mengatur perlakuan terhadap pengungsi di atas kapal yang mengalami kesulitan di dekat Indonesia dan membantu mereka turun di negara tersebut.

Husna mengatakan, Kontras juga mendesak pemerintah untuk lebih menunjukkan perhatian khusus kepada para pengungsi Rohingya. Sebab, pengungsi luar negeri merupakan persoalan serius yang harus ditangani tidak hanya oleh lembaga masyarakat dan organisasi bantuan semata.

Kontras juga meminta pemerintah melakukan tindakan cepat dan koordinatif dengan Pemerintah Aceh mengenai pembentukan Satgas Penanganan Pengungsi Luar Negeri (PPLN). Hal itu guna memahami bahwa penanganan pengungsi Rohingya ini tidak terkesan dibiarkan menjadi masalah pemerintah Aceh saja.

"Ini adalah masalah kemanusiaan. Sebagai negara yang menjunjung tinggi HAM, perlu sinergitas dalam penyelesaiannya," kata Husna. Baca Selengkapnya';

").attr({ type: 'text/javascript', src: 'https://platform.twitter.com/widgets.js' }).prependTo("head"); if ($(".instagram-media").length > 0) $("").attr({ type: 'text/javascript', src: 'https://www.tiktok.com/embed.js' }).prependTo("head"); $(document).on("click", ".ajaxContent", function(t) { var e; t.preventDefault(); Pace.restart(); var a = $(this).attr("href"); var b = $(this).attr("data-id"); $(".btn-selengkapnya-news").show(); $(".othersImage").addClass("hide"); $(this).hide(); $("." + b).removeClass("hide"); return e ? (Pace.stop(), document.getElementById("confirm_link").setAttribute("href", a), $("#modal_confirm").modal()) : ($("*").modal("hide"), void $.get(a, function(t) { $("#" + b).html(t.html); console.log("#" + b); }).done(function() { $(".collapse").fadeOut(); $("#" + b).fadeIn(); }).fail(function() { $("#modal_alert .modal-body").html(fail_alert), $("#modal_alert").appendTo("body").modal() })) }); $(".body-video").on('loadedmetadata', function() { if (this.videoWidth < this.videoHeight) this.height = 640; this.muted = true; //console.log(this.videoHeight); } ); window.onload = function() { var videos = document.getElementsByTagName("video"), fraction = 0.8; function checkScroll() { if (videos.length > 0) { for (var i = 0; i < videos.length; i++) { var video = videos[i]; var x = video.offsetLeft, y = video.offsetTop, w = video.offsetWidth, h = video.offsetHeight, r = x + w, b = y + h, visibleX, visibleY, visible; visibleX = Math.max(0, Math.min(w, window.pageXOffset + window.innerWidth - x, r - window.pageXOffset)); visibleY = Math.max(0, Math.min(h, window.pageYOffset + window.innerHeight - y, b - window.pageYOffset)); visible = visibleX * visibleY / (w * h); if (visible > fraction) { video.play(); } else { video.pause(); } } } } window.addEventListener('scroll', checkScroll, false); window.addEventListener('resize', checkScroll, false); }; window.fbAsyncInit = function() { FB.init({ appId: '700754587648257', xfbml: true, version: 'v14.0' }); }; (function(d, s, id) { var js, fjs = d.getElementsByTagName(s)[0]; if (d.getElementById(id)) { return; } js = d.createElement(s); js.id = id; js.src = "https://connect.facebook.net/en_US/sdk.js"; fjs.parentNode.insertBefore(js, fjs); } (document, 'script', 'facebook-jssdk')); $(".share_it a,.share-open-fix li").on("click", function() { url = window.location.href; s = $(this).parents("div.blok_quot").children("div.blog-post-actions").children("div.pull-left").text().replace(/[^a-z0-9\s]/gi, '').replace(/[_\s]/g, '+'); c = $(this).parents("div.blok_quot").children("div.quote-text").text().replace(/[^a-z0-9\s]/gi, '').replace(/[_\s]/g, '+'); content = c + " - " + s; if ($(this).children().hasClass("fa-facebook")) { img = document.querySelector("meta[property='og:image']").getAttribute("content"); FB.ui({ method: 'share_open_graph', action_type: 'og.shares', action_properties: JSON.stringify({ object: { 'og:url': url, 'og:title': "", 'og:description': c, 'og:og:image:width': '610', 'og:image:height': '409', 'og:image': img } }) }); console.log(img); } else if ($(this).children().hasClass("fa-twitter")) { window.open("https://twitter.com/intent/tweet?text=" + content + " " + url); } else if ($(this).children().hasClass("fa-whatsapp")) { window.open("https://api.whatsapp.com/send?utm_source=whatsapp&text=" + content + " " + url + "?utm_source=whatsapp"); } return false; }); });

Sentimen: positif (88.9%)