Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Senayan
Kasus: HAM
Tokoh Terkait
PBHI Sebut Alasan Jokowi Terbitkan Perppu Cipta Kerja Dinilai Mengada-ada, Singgung Despotisme
Pikiran-Rakyat.com
Jenis Media: Nasional

PIKIRAN RAKYAT - Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) menyatakan alasan Presiden Joko Widodo menerbitkan Perpu No. 2/2022 Tentang Cipta Kerja mengada-ada. Jokowi mengeluarkan Perpu tersebut dengan alasan kegentingan ancaman krisis ekonomi global, kekosongan hukum sehingga diperlukan peraturan guna mempermudah arus investasi.
Membaca kondisi ekonomi yang buruk, mestinya berkaca pula pada kinerja Pemerintahan Jokowi yang ambruk dengan menteri dan kebijakan yang korup di segala segi, hukum dan aparat serta peradilan yang dikomodifikasi dan dikomersialisasi, serta berbagai pelanggaran hak asasi yang dinormalisasi. Kondisi itu terakumulasi merusak iklim kepercayaan investasi.
"Maka pembentukan Perpu No. 2/2022 dalam ihwal kegentingan memaksa tidak memenuhi Ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD ‘45 dan Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009," kata Ketua Badan Pengurus Nasional PBHI Julius Ibrani dalam keterangan tertulis, Minggu 8 Januari 2023.
Perpu juga dinilai melanggar hak asasi dari segi prosesi dan substansi. Alasan kegentingan mendesak dalam Perppu No 2/2022, menghilangkan sejumlah hak asasi manusia dalam hal pemerintahan dan pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal itu terlihat dalam sejumlah alasan.
Baca Juga: Beli BBM Subsidi Bakal Dibatasi, Konsumen Dilarang Pindah-pindah SPBU
Pertama, terjadi pelanggaran hak partisipasi rakyat dalam pemerintahan (Pasal 28 D ayat (3) UUD 45, Pasal 43 Ayat (2) dan Pasal 44 UU No. 39/1999 tentang HAM), karena tidak dapat memberikan masukan dan usulan.
Kedua, tertutupnya ruang partisipasi masyarakat juga menyebabkan terlanggarnya hak kebebasan berpendapat dan berekspresi (Pasal 28E Ayat (3) UUD 45, Pasal 23 Ayat (2) No. 39/1999 tentang HAM), serta hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi (Pasal 28F UUD 45 dan Pasal 14 UU No. 39/1999 tentang HAM).
Ketiga, tujuan utama “menyulap” ruang partisipasi bermakna adalah substansi Perpu No. 2/2022 sebagaimana Omnibus Law Ciptaker yang memperburuk kebijakan hak asasi manusia di banyak aspek, sebut saja lingkungan hidup, hak-hak dasar buruh, hak perempuan, dan lainnya; sehingga melanggar hak untuk memajukan diri dalam memperjuangkan hak secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya (Pasal 28C Ayat (2) UUD 45 dan Pasal 15 No. 39/1999 tentang HAM).
"Penting bagi Ombudsman RI untuk memeriksa maladministrasi proses pembentukan Perpu No. 2/2022, serta Komnas HAM RI terkait pelanggaran hak asasi manusia akibat cacat formil Perpu dan substansi yang mengebiri hak asasi manusia," ucapnya.
Baca Juga: Roundup: Puluhan Anak di Jawa Barat Keracunan Ciki Ngebul, Orangtua Diminta Hati-Hati
PBHI juga menyatakan, terbitnya Perpu No. 2/2022 menegaskan kembali Presiden Jokowi dan rejim pemerintahannya menganut paham despotisme, yang menjalankan negara semaunya sendiri, dengan melanggar konstitusi dan mengkhianati Pancasila sebagai ideologi.
Hal yang sama terjadi pada rancangan KUHP yang diinisiasi Presiden Jokowi, isinya anti-demokrasi, prosesnya tanpa partisipasi bermakna, sehingga melanggar banyak hak asasi manusia.
Presiden Jokowi telah melanggar mandat konstitusi UUD ’45 serta melanggar banyak hak asasi. Terlebih lagi, mekanisme “negara hukum dan demokrasi” tidak berjalan karena mengeliminasi peran dan kewenangan DPR RI dalam proses pembentukan undang-undang.
Padahal substansi Perpu No. 2/2022 dikatakan mencakupi berbagai sektor, bukan hanya ekonomi, tapi juga hukum dan birokrasi, dengan jumlah pasal yang luar biasa. Seharusnya, ada pelibatan seluruh komponen dan struktur negara, bukan hanya DPR, tapi juga MPR RI dan DPD RI.
Namun Presiden Jokowi memilih jalan terjal yang berpotensi membuka tabir pemakzulan (impeachment) sebagaimana Pasal 7A UUD ’45 dan dipertegas oleh Pasal 10 Ayat (2) dan (3) UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Jika DPR RI dalam kondisi setara tanpa subordinasi presiden, maka seharusnya wakil rakyat itu, setidak-tidaknya 25 anggota mengajukan Hak Menyatakan Pendapat untuk pemakzulan (Pasal 8 ayat (4) huruf c jo. Pasal 191 ayat (1) Peraturan DPR-RI No. 1/2019 tentang Tata Tertib).
Meski belum tentu disetujui dalam Rapat Paripurna DPR mengingat didominasi partai pendukung Jokowi, evaluasi di titik nadir kekuasaan eksekutif itu penting guna menjadi peringatan dini hukum dan demokrasi serta hak asasi yang telah dilanggar presiden Tindakan tersebut juga bermakna sebagai pelanggaran konstitusi dan pengkhianatan terhadap Pancasila.
Jika tidak ada 25 negarawan di Senayan yang berani menjaga muruah Pancasila dan UUD, dan justru menjadi "bawahan" presiden, hal tersebut menjadi pertanda matinya hukum dan demokrasi sebagai mesin republik ini. Kondisi tersebut terjadi akibat pembangkangan eksekutif dan legislatif terhadap konstitusi.
"Yang artinya juga masyarakat dapat membangkangi seluruh struktur kekuasaan negara, baik eksekutif maupun legislatif, di pusat maupun daerah (civil rights to disobey)," ucapnya.
Untuk diketahui, UU Omnibus Law Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 (Omnibus Law Ciptaker) telah dinyatakan Inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi akibat cacat formil berdasarkan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020, dengan mandat perbaikan dalam 2 tahun.
Artinya, Pemerintah dilarang melakukan tindakan/membentuk kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Omnibus Law Ciptaker.
Pertimbangan Hakim Konstitusi pada halaman 412-414 menegaskan kecacatan formil terjadi akibat ketiadaan partisipasi masyarakat secara maksimal dan bermakna (meaningful participation) berbasis Asas Keterbukaan pada Pasal 5 Huruf (g) dan Pasal 96 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang merupakan perintah konstitusi pada Pasal 22A UUD Negara RI Tahun 1945. Lebih jauh, Pasal 22A UUD ’45 adalah pelaksanaan demokrasi deliberatif yang dimandatkan Sila ke-4 Pancasila. Namun, Jokowi justru menerbitkan Perpu No. 2/2022 Tentang Cipta Kerja.***
Sentimen: negatif (100%)