Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: Universitas Indonesia, UNPAD
Kab/Kota: Cianjur
Kasus: Tipikor, korupsi
Soal Tuntutan Dugaan Korupsi Ekspor Minyak, Guru Besar UI: Butuh Standar Penghitungan Kerugian Negara
Pikiran-Rakyat.com
Jenis Media: Nasional

PIKIRAN RAKYAT - Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (UI) Haula Rosdiana menilai pemerintah perlu mempertimbangkan aturan tentang penghitungan kerugian negara dalam tindak pidana korupsi.
Menurutnya, hal itu diperlukan untuk menjamin adanya kepastian hukum dan menciptakan kepastian usaha di Indonesia.
"Kalau ini belum diatur, bahaya, setiap orang nanti pakai metode berbeda sesuai dengan seleranya, tidak ada kepastian dan standarisasi," ujarnya kepada wartawan dikutip, Selasa, 27 Desember 2022.
Haula menjelaskan, dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016, kerugian yang terjadi dalam tindak pidana korupsi sulit dibuktikan secara akurat.
Baca Juga: Bupati Cianjur Bantah Korupsi Bantuan Korban Gempa: Risiko Kerja Benar dan Ikhlas
Dalam putusan itu, MK menyebutkan hal itu harus dibuktikan dengan kerugian keuangan negara yang nyata atau actual loss, bukan potensi atau perkiraan kerugian keuangan negara atau potential loss.
"(Namun) di sisi lain, hingga saat ini belum ada aturan yang mengatur metode penghitungan kerugian perekonomian negara," kata dia.
Haula mencontohkan soal tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terkait kasus dugaan korupsi minyak goreng mentah atau crude palm oil (CPO) yang dituntut puluhan triliun.
Haula yang juga pernah menjadi saksi dalam kasus tersebut menilai tuntutan itu tidak berdasar terutama terkait perhitungan kerugian negara.
Baca Juga: Isu KA Argo Parahyangan Berhenti Beroperasi, Guru Besar Unpad: Biarkan Konsumen Memilih
Kata dia, saksi ahli JPU melakukan penghitungan kerugian ekonomi negara menggunakan metode input-output (I-O).
Menurutnya, hal itu tidak tepat karena metode I-O biasa digunakan dalam perencanaan pembangunan.
"Itu berarti bukan sesuatu yang riil. Kita berbicara mengenai tuntutan hukum, berarti harus fakta hukum dong, kalau fakta hukum, itu bukan prediksi atau asumsi," katanya.
Menurutnya, pengusaha juga mengalami kerugian dalam masalah ini seperti dipaksa menjual minyak goreng sesuai harga eceran tertinggi (HET) di tengah harga CPO melambung.
Baca Juga: Jaga Keuangan Negara, Subsidi Listrik Harus Tepat Sasaran
"Ada yang tidak dijelaskan secara detail oleh ahli yang digunakan JPU yaitu pengorbanan produsen berkaitan dengan HET itu, bagaimana dia tetap menjual meskipun sebetulnya itu sudah di bawah harga keekonomisan," tuturnya.
Lebih jauh, kata Haula, pemenuhan minyak goreng di pasaran (DMO) dan benefit ekspor yang menjadi pemasukan negara tidak menjadi pertimbangan.
"JPU menuntut sesuatu yang sebetulnya belum jelas dan tidak bisa dihitung. Tidak bisa dihitung. Belum ada dasar hukum untuk menentukan bagaimana dihitung dan siapa yang menghitung," ucapnya.
Sementara itu, Ketua Bidang Perdagangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Benny Soetrisno juga menyayangkan tuntutan tersebut.
Dia mengatakan hal itu berdampak buruk pada ekonomi dalam negeri karena tanpa dasar hukum kuat sehingga membuat takut investor atau calon investor.
"Kalau tuntutan pidananya seperti itu jelas terlalu jauh dan terkesan mengada-ada. Ini membuat orang dan investor akan semakin takut berusaha dan menanam investasinya di Indonesia," tutur Benny.***
Sentimen: negatif (100%)