Sentimen
Informasi Tambahan
Kab/Kota: Solo
Tokoh Terkait

Firdaus
Gelombang Aksi Massa Belum Juga Mereda, Ini Analisis Guru Besar UNS Solo
Espos.id
Jenis Media: Solopos

Esposin, SOLO — Rentetan aksi dan kerusuhan di berbagai kota di Indonesia harus menjadi momentum perbaikan tata kelola pemerintahan saat ini. Hal itu disampaikan Guru Besar Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Sunny Ummul Firdaus.
Ia mengatakan gelombang aksi massa yang marak terjadi dan kerap berujung perusakan disebabkan rapuhnya kontrak sosial antara negara dan rakyat. Hal ini juga dipicu oleh akumulasi ketidakpuasan publik.
"Gelombang aksi massa yang terjadi belakangan ini mencerminkan semakin dalamnya jurang ketidakpuasan rakyat terhadap negara. Dalam perspektif ketatanegaraan, fenomena ini bukan semata problem kriminalitas. Ia adalah tanda rapuhnya kontrak sosial antara negara dan rakyat," ujar Sunny saat diwawancarai Espos, Senin (1/9/2025).
Menurutnya, ketidakpercayaan publik ini dipicu ketimpangan sosial yang kian melebar, kebijakan publik yang dirasa tidak adil, serta program-program kementerian yang gagal menyentuh kebutuhan masyarakat kecil.
“Aspirasi rakyat yang seharusnya tersalurkan lewat mekanisme konstitusional justru terabaikan. Akibatnya, jalanan kembali menjadi arena ekspresi, namun sering kali bergeser menjadi anarki dan penjarahan,” jelasnya.
Lebih lanjut, Sunny juga menyoroti kekecewaan rakyat tidak lagi hanya menyasar lembaga eksekutif, tetapi juga telah meluas ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). “Alih-alih menjadi corong aspirasi, DPR lebih sibuk dengan agenda politik internal, negosiasi kekuasaan, atau bahkan menikmati fasilitas negara yang berlebihan,” katanya.
Mencederai Prinsip Kedaulatan Rakyat
Menurutnya, banyak kebijakan yang dipromosikan sebagai pro rakyat ternyata tidak menyentuh akar persoalan. Ia mencontohkan bantuan sosial yang tidak tepat sasaran, program pemberdayaan yang sebatas seremoni, hingga proyek-proyek mercusuar yang jauh dari kebutuhan sehari-hari rakyat.
“Kondisi ini mencederai prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, sekaligus mengkhianati sila kelima Pancasila, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,” tegas Sunny.
Kerapuhan sosial ini diperburuk oleh politik anggaran yang dinilai timpang. Publik, kata Sunny, kerap disuguhi pemberitaan mengenai anggaran DPR yang tidak realistis, seperti renovasi gedung, pengadaan fasilitas mewah, hingga perjalanan dinas besar-besaran.
Menurutnya, hal ini sangat kontras dengan penderitaan rakyat kecil yang berjuang melawan kenaikan harga kebutuhan pokok. Di sisi lain, kebijakan fiskal seperti kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan tarif pajak lainnya justru menambah beban masyarakat.
Padahal, lanjutnya, konstitusi secara tegas mengamanatkan dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 bahwa anggaran negara harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
“Ketika pajak yang dipungut dari rakyat kecil tidak berbanding lurus dengan layanan publik yang mereka terima, sementara elite politik menikmati alokasi anggaran berlebih, legitimasi negara hukum kian tergerus,” paparnya.
Sunny mengakui aksi massa pada dasarnya adalah hak konstitusional warga negara yang dijamin Pasal 28E UUD 1945. Namun, ia menjelaskan aksi yang menjadi anarkistis terjadi karena kanal politik dan representasi yang ada dirasakan tersumbat.
Ia menyoroti ironi di mana aparat keamanan di lapangan sering kali menjadi korban struktural, yang terpaksa berhadapan langsung dengan amarah massa yang akarnya berasal dari kekecewaan terhadap elite politik dan birokrasi.
Rekomendasi
Untuk memulihkan kepercayaan publik dan memperkokoh negara hukum, Sunny mengatakan harus ada perbaikan di dalam tubuh institusi negara oleh pemerintah yang saat ini menjabat.
Ia mengatakan ada lima hal yang bisa dilakukan pemerintah. Pertama, DPR harus kembali ke khitahnya sebagai lembaga representatif yang menjalankan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran untuk kepentingan rakyat, bukan elite.
Kedua, reformasi politik anggaran menjadi keniscayaan, di mana alokasi harus realistis, transparan, dan menyasar kebutuhan dasar rakyat. Ketiga, program kementerian harus berbasis kebutuhan nyata masyarakat, bukan sekadar proyek pencitraan.
Keempat, partisipasi publik dalam perumusan kebijakan, sebagaimana diamanatkan UU Nomor 12 Tahun 2011 jo UU Nomor 13 Tahun 2022, harus dijalankan. Kelima, penegakan hukum terhadap tindakan anarkistis harus adil, namun negara juga wajib mencegah akar masalahnya agar tidak terus berulang.
"Anarkisme di jalanan bukanlah solusi, melainkan gejala dari ketidakadilan struktural yang dibiarkan. Negara hukum akan rapuh bila DPR dan pemerintah terus mengabaikan suara rakyat kecil. Hanya dengan menghidupi konstitusi secara nyata, kepercayaan publik dapat dipulihkan," katanya.
Sentimen: neutral (0%)