Sentimen
Undefined (0%)
17 Agu 2025 : 19.19
Informasi Tambahan

BUMN: Berdikari

Tokoh Terkait

Ambisi Besar dalam RAPBN 2026, Realistiskah?

17 Agu 2025 : 19.19 Views 1

Espos.id Espos.id Jenis Media: Ekonomi

Ambisi Besar dalam RAPBN 2026, Realistiskah?

Espos.id, JAKARTA – Penyampaian RAPBN 2026 oleh Presiden Prabowo Subianto pada Jumat (15/8/2025) dinilai terlalu ambisius dan belum menjawab penyebab permasalahan yang menghambat perekonomian Indonesia.   Hal itu diungkapkan ekonom senior Institute for Development of Economics & Finance (Indef) M. Fadhil Hasan

Menurutnya, Presiden Prabowo lebih menekankan ideologi dan paradigma ekonomi dengan peran dominan negara untuk mengelola sumber daya strategis.  Fokus utamanya pada hilirisasi, ketahanan pangan, swasembada energi, serta kebijakan proteksionis dalam kerangka “Berdikari".  

"Namun, ada tantangan dalam konsistensi data pertumbuhan ekonomi serta potensi inkonsistensi kebijakan. Karena di satu sisi pemerintah mendorong intervensi negara, sementara di sisi lain terikat pada kesepakatan internasional yang menuntut deregulasi," ujarnya, Sabtu (16/8/2025).  

Sedangkan Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, M. Rizal Taufikurahman mengatakan masih terdapat paradoks fiskal di dalam narasi optimisme RAPBN 2026. "Ketergantungan pada pembiayaan utang tetap besar, sementara belanja negara diarahkan pada delapan agenda prioritas yang bersifat populis, tetapi belum seluruhnya menjawab akar masalah pembangunan struktural," ujarnya. 

Konsolidasi fiskal yang ditekankan pemerintah berisiko menjadi sekadar target nominal, tanpa diimbangi perbaikan kualitas belanja dan efektivitas kebijakan.  Rizal juga menyoroti 8 program unggulan dalam RAPBN 2026 menghadapi masalah dalam implementasinya.

Misalnya, program ketahanan pangan sebagai salah satu yang mendapat alokasi APBN terbesar tapi masih terjebak pada persoalan klasik seperti distribusi pupuk, dominasi pasar oleh swasta, dan kerentanan iklim.  Kemudian transisi energi yang masih terhambat oleh ketergantungan pada energi fosil untuk industri hilirisasi, yang justru memperlambat dekarbonisasi.  

Sementara itu, program makan bergizi gratis berpotensi baik untuk memperbaiki gizi masyarakat, tetapi rawan salah sasaran serta dapat menimbulkan tekanan inflasi pangan lokal jika tata kelola rantai pasok tidak diperkuat. Pada program sektor sosial, pendidikan dan kesehatan tetap memperoleh porsi belanja besar, tetapi efektivitasnya dipertanyakan.  

"Belanja pendidikan belum sepenuhnya menjawab learning loss [kehilangan pembelajaran] dan mismatch vokasi dan industri, sementara anggaran kesehatan menghadapi risiko coverage gap akibat pengetatan cleansing peserta JKN," paparnya.  

Di sisi lain, program koperasi desa dan agenda pertahanan juga menyimpan dilema koperasi rakyat rawan problem tata kelola, sedangkan pertahanan masih bergantung pada impor alutsista dengan industri domestik yang lemah.  

"Dengan demikian, RAPBN 2026 memerlukan koreksi terutama dalam implementasi program agar tidak hanya menonjolkan narasi pertumbuhan, tetapi juga memastikan keberlanjutan, ketepatan sasaran, dan daya ungkit yang nyata bagi perekonomian nasional," imbuhnya.

Strategi Ekstra

Terpisah, Direktur Pengembangan Big Data Indef, Eko Listiyanto, menyatakan meskipun targetnya optimistis, tapi masih ada tantangan besar yang akan muncul, baik dari sisi penerimaan negara yang melemah serta biaya utang yang tinggi.  "Target pertumbuhan ekonomi 2026 sebesar 5,4% sangat optimistis, sementara realisasi 2023–2025 selalu di bawah target. Oleh karena itu, upaya akselerasi pertumbuhan ekonomi butuh strategi ekstra," ujarnya.  

Terkait target inflasi sebesar 2,5% pada tahun depan, Eko menilai masih relatif realistis, sejalan dengan capaian sebelumnya yang cenderung rendah. "Namun, potensi lonjakan harga pangan tetap menjadi risiko utama terhadap daya beli masyarakat. Asumsi nilai tukar Rp16.500 per dolar AS, lebih pesimistis dibanding target sebelumnya. Perlu strategi penguatan atau apresiasi rupiah kembali ke bawah Rp16.000 agar stabilitas makro lebih terjaga," ujarnya. 

Selain itu, Eko juga menyoroti yield SBN Indonesia yang masih mahal (target 6,9% pada 2026) dibanding negara lain. Dia menilai hal ini akan membebani fiskal dan bisa mengganggu keberlanjutan apabila tidak ditekan ke kisaran 6%.  "Gap total penerimaan negara pada RAPBN 2026 terhadap outlook 2025 mencapai Rp282,2 triliun, sehingga strategi peningkatan penerimaan harus dilakukan tanpa menekan basis pajak yang sudah patuh," tegasnya.  

Terakhir, Eko juga menegaskan bahwa upaya mencapai pertumbuhan ekonomi 5,4% hanya mungkin bila pemerintah memprioritaskan penciptaan lapangan kerja, peningkatan daya beli, optimalisasi ekspor, masuknya investasi yang memutar uangnya di dalam negeri, dan efisiensi birokrasi.

 

Sentimen: neutral (0%)