Sentimen
Undefined (0%)
6 Agu 2025 : 19.46
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Banyumas, Boyolali, Dukuh, Salatiga, Semarang

Bedah Buku Nyi Sadikem Kupas Tradisi Gowok di Pernikahan Politis Kaum Priyayi

6 Agu 2025 : 19.46 Views 11

Espos.id Espos.id Jenis Media: Solopos

Bedah Buku Nyi Sadikem Kupas Tradisi Gowok di Pernikahan Politis Kaum Priyayi

Esposin, BOYOLALI--Dinas Arsip dan Perpustakaan Daerah (Arpus) Boyolali menggelar bedah buku karya penulis asal Salatiga, Artie Ahmad, berjudul Nyi Sadikem di gedung dinas setempat, Rabu (6/8/2025).

Dalam bedah buku terbitan Marjin Kiri pada Juli 2025 tersebut, Artie menyoroti gowok ternyata digunakan jasanya biasanya untuk pernikahan politis kaum priyayi. Menurut Artie, gowok bertugas mengajarkan mengajarkan cara menjadi suami yang baik bagi seorang jejaka agar menjadi lelananging jagad.

Artie menyuguhkan tulisan tentang sosok gowok yang berbeda, yaitu seorang noni bernama Elizabeth van Kirk yang kemudian karena suatu hal bertransformasi menjadi Nyi Sadikem. Latar cerita menjelaskan tahun sekitar 1920-1930 dengan tempat fiktif.

Menjadi sosok gowok padahal punya keturunan Belanda membuatnya memiliki daya tarik bagi kalangan elite saat itu. Ia menjadi dwija atau guru bagi para jejaka yang hendak menikah.

Artie menyampaikan gowok tak sekadar perempuan pemuas nafsu yang mudah ditemukan di pinggir jalan, tapi lebih dari itu. Bayarannya bahkan sangat mahal sehingga yang bisa menggunakan jasa gowok hanya kalangan orang elite atau biasanya disebut priyayi.

Tugas gowok mengajarkan jejaka menjadi suami yang baik dari membantu istri dari dapur hingga urusan biologis.

Gowok menekankan kehidupan pernikahan bukan sekadar urusan ranjang tapi juga pemahaman tentang hubungan antarmanusia.

“Biasanya gowok hadir sebagai istri bayangan. Mereka digunakan jasanya untuk memberikan pelajaran yang penting untuk pernikahan anak priyayi. Biasanya digunakan dalam pernikahan politis oleh orang tua dari pihak laki-laki yang jabatannya lebih rendah,” kata dia dalam acara.

Ia mencontohkan seorang wedana yang ingin menikahkan sang anak jejakanya kepada anak bupati biasanya akan menyewa jasa gowok. Tujuannya agar sang anak tahu tugas seorang suami yang baik.

Ketika pernikahan sang anak sukses, maka cara itulah yang akan membuat sang wedana naik kelas atau naik jabatan menjadi bupati.

Artie juga mengatakan dalam buku Nyi Sadikem menyoroti kehidupan sosial-politik zaman Hindia-Belanda.

Dibentuk Kaum Elite

Sosial politik dalam kehidupan para priyayi di zaman Hindia Belanda dibentuk oleh kaum elite, entah mereka yang berasal dari pribumi atau pemerintah Hindia-Belanda.

“Para priyayi yang memiliki posisi strategi dan nyaman akan berusaha menancapkan kekuasaannya, sebisa mungkin. Salah satunya yang kerap dijalankan saat itu adalah pernikahan politis tadi. Pernikahan yang diatur untuk melanggengkan kedudukan mereka,” kata dia.

Selanjutnya, ia mengatakan sejarah gowok ada, dibawa sejak 1415 ketika Laksamana Cheng Ho berlabuh di Semarang. Ia turut datang bersama seorang perempuan bernama Goo Wok Niang. Gowok kemudian berkembang di Jawa bagian selatan.

“Kedatangan Goo Wok Niang tak sekadar berkunjung tapi juga tinggal dan memberikan pengajaran asing tentang dunia pernikahan. Dari dirinyalah dunia gowok terbentuk. Sebuah kerja yang dianggap mendobrak ketimuran, tetapi dibutuhkan banyak kalangan,” kata dia.

Selanjutnya, ia mengatakan gowok mulai memudar sejak 1965. Namun, penulis kelahiran 1994 tersebut yakin jika gowok saat ini masih ada walaupun bisa saja melebur dalam bentuk lain. Yang membuatnya yakin adalah ketika tradisi yang telah ada ratusan tahun tidak mungkin langsung punah.

Sementara itu, salah satu aktivis perempuan asal Boyolali sekaligus dosen UMS, Dewi Candraningrum, menjadi penanggap novel Nyi Sadikem mengapresiasi sebuah novel menceritakan gowok tapi penulisnya perempuan.

Sebelumnya beberapa cerita tentang gowok sepengetahuannya ditulis oleh pria. Seperti novel Nyai Gowok karya Budi Sardjono lalu novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Kemudian, ada penulis roman pria Liem Khing Hoo menuliskan karya tulis berjudul Gowok.

“Novel Nyi Sadikem karya Artie Ahmad, penulis perempuan yang menulis tentang tubuh, seksualitas, pendidikan, dan kerumahtanggaan oleh gowok. Persepektif feminisnya kuat dan berbeda dengan novel serupa yang sebelumnya telah ditulis oleh laki-laki,” kata dia.

Sementara itu, terkait gowok yang akhirnya mulai hilang pada 1965, Dewi tak mendapatkan data banyak terkait itu. Namun, ia memperkirakan hal tersebut tetap ada kaitannya dengan peristiwa 1965 yang terjadi di Indonesia. Akan tetapi ia menjelaskan praktik gowok sebenarnya juga telah dilarang di zaman Hindia-Belanda seperti saat Raffles berkuasa.

“Laksamana Cheng Ho kan turun di Semarang yang artinya di pantai utara, sedangkan Banyumas di selatan. Bisa jadi, gowok adalah tradisi pra-Cheng Ho di Jawa, atau bisa jadi itu memang dibawa Cheng Ho kemudian berkembang di selatan karena saat itu di pantai utara praktik itu dilarang. Jadi ada dua skenario tapi memang masih perlu didalami,” kata dia.

Sementara itu, Kepala Dinas Arpus Boyolali, Arif Budi Nuranto, dalam sambutan acara mengajak masyarakat untuk membudayakan membaca.

“Membaca bukan hanya tentang membuka lembaran buku tapi juga membuka wawasan, memperluas cara berpikir dan memperkaya nilai-nilai kehidupan,” kata dia.

Ia mengatakan kegiatan bedah buku sangat penting sebagai wadah refleksi dan apresiasi karya sastra sekaligus menghidupkan ruang diskusi literasi untuk mencerahkan para pemustaka.

“Hari ini karya sastra yang dibedah, memuat sejarah perjuangan Nyi Sadikem. Hal ini tentu tidak hanya mengukuhkan keindahan bahasa dan kekuatan cerita. Akan tetapi juga menggambarkan kekayaan sejarah dan peran perempuan dalam perjalanan bangsa,” kata dia.

Ia mengatakan hal tersebut selaras dengan misi Dinas Arpus Boyolali untuk mendorong literasi berbasis kearifan lokal.

“Sehingga generasi muda tidak tercabut dari akar budayanya sendiri,” kata dia. 

Sentimen: neutral (0%)