Sentimen
Undefined (0%)
24 Jul 2025 : 14.35
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Bekasi, Boyolali, Cikarang, Karawang

Tokoh Terkait

Ikhtiar Wujudkan Anak Bahagia

24 Jul 2025 : 14.35 Views 28

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Ikhtiar Wujudkan Anak Bahagia

Niente senza gioia (tiada hari tanpa kegembiraan). Begitulah bunyi moto salah satu sekolah usia dini di Reggio Emilia, Italia, yang metode belajarnya telah diadopsi oleh banyak negara di penjuru dunia. 

Loris Malaguzzi selaku pendiri sekolah ini percaya bahwa anak-anak mengharapkan dari orang dewasa kemampuan untuk menciptakan kegembiraan. Mengapa anak harus bahagia? Cerita singkat Michael Jackson alias Jacko (29 Agustus 1958—25 Juni 2009) bisa menjadi renungan bersama. 

Siapa sangka di balik kegemilangan sang top superstar tersimpan luka batin masa kecil yang kelam. Joseph Jackson—sang ayah—sering kali melayangkan tamparan dan cambukan ketika latihan. Sang ayah kerap memakai topeng monster untuk menakut-nakuti Jacko agar tidak lupa menutup jendela kamar ketika malam. 

Dalam wawancara dengan Oprah Winfrey, Jacko mengatakan dia tidak memiliki masa kecil yang normal, adakalanya dia ingin bermain seperti anak pada umumnya. Aksinya yang aneh, menyimpang, dan kontroversial merupakan buah dari kisah masa kecil yang menyeramkan.

Pada akhir hayat, Jacko lebih memilih Bubbles—simpanse kesayangannya—dalam daftar ahli waris dibandingkan ayahnya. Anak tak pernah meminta dilahirkan, tapi mereka tak punya kuasa menolak, hanya jeritan dan tangisan sebagai simbol awal kekuatan. 

Mereka hanya bisa diam dan pasrah menerima berbagai bentuk perlakuan. Mereka kerap dimanifestasikan sebagai makhluk paling lemah, tanpa daya dan kemampuan. Ada banyak dimensi dalam diri anak yang belum mampu diterjemahkan 

Orang dewasa tetap merasa perkasa dan paling kuasa. Dengan segala kompleksitas, anak-anak memang cenderung mempraktikkan tindakan beragam yang dapat memantik emosi orang tua. Satu hal yang pasti, setiap anak ingin bahagia. 

Pada setiap momentum Hari Anak Nasional 23 Juli, kita kerap mendengar konsepsi "anak pemilik masa depan", "anak adalah investasi masa depan", atau narasi yang sejenis. Tak salah memang. Anak merupakan pewaris peradaban dan menawarkan masa depan. 

Akankah masa depan anak bisa diraih jika mereka tidak bahagia? Realitasnya, banyak anak mengalami tindak kekerasan dari orang dewasa. Fakta ini didukung data di Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) yang mengonfirmasi hingga Juli 2025 tercatat 12.000 kasus kekerasan terhadap anak dan 10.000 kasus menimpa anak perempuan. 

Salah satu kasus kekerasan terhadap anak paling anyar terjadi di Kabupaten Boyolali. Orang tua menitipkan anak-anak kepada seseorang—yang dianggap pintar—demi belajar ilmu agama. 

Anak Dianggap Miniatur

Faktanya, sebulan terakhir anak-anak itu dirantai kakinya, hanya diberi makanan singkong, dan ditemukan luka memar di tubuh mereka. Insiden ini diketahui publik setelah salah satu dari mereka ketahuan mencuri kotak amal untuk saudaranya yang sedang kelaparan. Mengapa kasus semacam ini sering terjadi?

Paradigma keliru yang menganggap anak sebagai makhluk lemah memunculkan klaim kolektif bahwa mereka adalah "objek", bukan "subjek". Orang dewasa menganggap anak sebagai makhluk yang tidak mengerti apa-apa yang kerap kali memerlukan bantuan orang dewasa. 

Efek dari pemahaman ini adalah orang dewasa memperlakukan anak semena-mena. Anak dianggap sebagai miniatur, bukan manusia yang hakiki. Ketika anak melakukan kesalahan kecil, orang tua meneriaki mereka dengan kata-kata menyakitkan yang meruntuhkan konsep diri anak. 

Konsep diri menurut Adi W. Gunawan (2004) dalam buku Genius Learning Strategy adalah sistem operasi mental yang menghasilkan label diri setiap anak. Anak-anak yang sering menyebut diri ”aku malas”, ”aku bodoh”, dan ”aku nakal”  punya konsep diri ”aku malas”, ”aku bodoh”, dan ”aku nakal”. 

Anak-anak yang sering menyebut diri ”aku rajin”, ”aku bisa”, ”aku genius” punya konsep diri ”aku rajin”, ”aku bisa”, dan ”aku genius”. Adi W. Gunawan juga menjelaskan bahwa konsep diri bukanlah takdir Tuhan atau nasib yang tak bisa diubah. 

Di samping itu, praktik-praktik nirempati oleh orang tua terus menjamur hingga hari ini. Anak dipaksa mengikuti berbagai les privat setelah seharian diperas otaknya untuk mengikuti pelajaran. 

Anak dititipkan kepada orang lain atau lembaga yang tidak kredibel dengan dalih belajar tanpa perhitungan yang matang. Anak menjadi korban, mereka mengalami stres, depresi, hingga menerima tindakan kekerasan.

Ambisi orang tua menuntut anak untuk selalu bisa tanpa peduli pada mental dan emosional anak. Orang tua memang memiliki niat yang luhur, tapi tak semua niat luhur itu benar tanpa pengetahuan dan kepekaan hati. 

Orang tua dan orang-orang terdekat anak memiliki peran yang sama untuk melindungi anak dari segala bentuk kekerasan. Tanpa mereka sadari alih-alih menjadi garda terdepan pelindung anak, justru mereka menjelma jadi mesin pembunuh tumbuh kembang anak. 

Bukan Materi

Kebahagiaan anak tidak bisa ditakar dengan keberlimpahan materi. Anak yang kaya raya tidak lantas lebih bahagia daripada anak yang miskin. Indikator kebahagiaan anak terletak pada aspek fisik, emosional, dan tumbuh kembang yang terpenuhi secara proporsional.

Anak adalah master piece (karya agung) Tuhan yang berhak bahagia. Oleh karena itu, orang tua sebagai tarbiyatul ula (pendidikan utama) harus berupaya meminimalisasi paradigma keliru tentang anak. 

Hal ini bisa dilakukan dengan ikut serta dalam kegiatan parenting atau konsultasi dengan para pakar. Orang tua juga berupaya lebih selektif dan berhati-hati dalam menitipkan anak, baik kepada seseorang yang dipercaya maupun ke sebuah lembaga.

Orang tua perlu memahami jalan pikiran anak. Anak dengan segala keunikan perlu dipahami sebagai subjek, manusia yang memiliki hak untuk bertindak dengan sendirinya. Hasil pengamatan John Holt (1964) dalam buku How Children Fail memperlihatkan anak-anak berpikir dan menciptakan jalan sendiri dalam memahami berbagai persoalan yang berbeda dengan orang dewasa. 

Pemahaman mendalam tentang esensi anak dapat memanusiakan anak secara utuh sehingga dapat meminimalisasi tindak kekerasan dan mereduksi ambisi orang tua yang menuntut anak selalu bisa. 

Dengan demikian, tidak ada lagi Michael Jackson kecil yang nelangsa dan anak-anak bisa hidup berdampingan dengan orang dewasa dengan bahagia. Selamat Hari Anak Nasional!

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 23 Juli 2025. Penulis adalah guru SMPIT Annur Cikarang Timur, Bekasi, Jawa Barat dan alumnus Pascasarjana Unsika Karawang)

Sentimen: neutral (0%)