Sentimen
Informasi Tambahan
BUMN: PLN
Kab/Kota: Morowali
Tokoh Terkait

joko widodo
Ironi di Balik Konversi Energi
Espos.id
Jenis Media: Kolom

Raja Ampat beberapa lalu menjadi pusat perhatian di itngkat nasional, bahkan internasional. Publik ramai-ramai melambungkan tanda pagar atau tagar #saverajaampat setelah berita aktivis bersama para pemuda Raja Ampat melakukan aksi protes damai dalam forum Indonesia Critical Minerals Conference di Jakarta.
Mereka membawa pesan tegas melalui spanduk bertuliskan ”Nickel Mines Destroy Lives” dan ”Save Raja Ampat from Nickel Mining.” Aksi ini menggugah perhatian publik dan memperlihatkan bahwa ada ketimpangan serius antara agenda ekonomi dan keberlanjutan lingkungan.
Salah satu suara yang paling nyaring adalah Ronisel Mambrasar dari Aliansi Jaga Alam Raja Ampat. Ia menyampaikan bahwa eksplorasi dan eksploitasi tambang nikel bukan hanya mengancam ekosistem laut yang menjadi rumah bagi 75% spesies karang dunia, tetapi juga merampas ruang hidup masyarakat adat Papua yang telah menjaga kawasan ini selama ratusan tahun (Mongabay Indonesia, 2025).
Benang merah atas segala praktik pertambangan nikel yang terjadi di Raja Ampat dan juga wilayah lain adalah kebijakan hilirisasi sektor energi yang menjadi program primadona sejak era Presiden Joko Widodo dan kini berlanjut pada era Presiden Prabowo Subiyanto.
Ini terjadi seiring dengan peluang Indonesia menjadi rantai pasok utama kebutuhan bahan baku baterai dalam kampanye global terkait konversi energi terbarukan yang ramah lingkungan.
Hal ini sangat beralasan mengingat Indonesia adalah negara yang memiliki sumber daya nikel terbesar di dunia. Di tengah kampanye global mengurangi emisi karbon, kendaraan listrik dan baterai kerap disebut sebagai simbol transisi energi bersih.
Indonesia dengan cadangan nikel terbesar di dunia merasa berada di jalur strategis. Pemerintah gencar mendorong hilirisasi mineral dan percepatan penggunaan kendaraan listrik.
Sesat Pikir
Di balik semua itu ada ironi yang luput, yakni konversi energi ini dibangun di atas fondasi ekologis yang rapuh dan sesungguhnya bukanlah bentuk energi terbarukan yang sejati.
Logika umum yang diyakini publik adalah bahwa energi listrik jika digunakan menggantikan bensin atau solar pasti lebih bersih, padahal mayoritas listrik di Indonesia dihasilkan pembangkit berbasis batu bara, lebih dari 60% menurut Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik atau RUPTL PLN 2021–2030 (PT PLN Persero, 2024).
Jadi, mengganti mobil berbahan bakar fosil dengan kendaraan listrik bukan berarti memutus ketergantungan pada energi kotor. Emisi karbon hanya berpindah dari knalpot ke cerobong asap peembangkit listrik tenaga uap atau PLTU berbahan bakar batu bara.
Kendaraan listrik tidak bisa berdiri sendiri tanpa baterai dan baterai bukan energi. Baterai hanyalah alat penyimpan energi. Dalam konteks inilah terjadi sesat pikir besar-besaran.
Masyarakat percaya bahwa dengan menggunakan baterai kita otomatis telah berpindah ke energi terbarukan, padahal produksi baterai itu sendiri menggunakan energi dan sumber daya alam sangat intensif.
Indonesia sebagai negara penghasil nikel terbesar kini menjadi ladang eksploitasi sumber daya mineral. Selain Pulau Gag di Raja Ampat, Halmahera dan Morowali juga menjadi lokasi nikel ditambang untuk memenuhi hasrat global akan baterai.
Penambangan ini telah mengorbankan hutan tropis, mencemari laut, dan mengancam kehidupan masyarakat adat. Di Pulau Gag, misalnya, masyarakat adat Moi menolak eksploitasi tambang karena merusak laut dan tanah yang menjadi sumber penghidupan dan warisan budaya mereka (Mongabay Indonesia, 2025).
Menurut data Jaringan Advokasi Tambang atau Jatam, lebih dari 500.000 hektare kawasan hutan di Indonesia Timur telah dikonversi untuk tambang nikel dalam kurun satu dekade terakhir (Jatam, 2024).
Selain itu, praktik pembuangan limbah tambang (tailing) ke laut secara langsung merusak ekosistem pesisir yang rapuh, mempercepat degradasi terumbu karang, dan mengancam mata pencarian nelayan.
Inilah biaya ekologis yang jarang diperhitungkan dalam narasi ”energi bersih”. Lebih ironis lagi, baterai sebagai komponen ”hijau” justru berkontribusi signifikan terhadap jejak karbon.
Menurut International Energy Agency (IEA), sekitar 30% hingga 40% total emisi siklus hidup kendaraan listrik berasal dari proses produksi baterai (IEA, 2023). Artinya, semakin banyak kendaraan listrik diproduksi, semakin besar pula emisi dan kerusakan ekologis di sektor hulunya.
Prinsip
Energi terbarukan yang sejati adalah energi yang bersumber dari alam secara berkelanjutan dan tidak menimbulkan kerusakan ekologis.
Wujudnya seperti tenaga surya, angin, mikrohidro, dan biomassa berkelanjutan yang tidak menggunduli hutan, tidak mencemari laut, dan tidak menggusur masyarakat dari ruang hidup mereka.
Prinsip ini menekankan bahwa keberlanjutan energi tidak hanya soal rendah karbon, tetapi juga rendah dampak sosial dan ekologis. Menurut International Renewable Energy Agency atau Irena, energi terbarukan yang berkelanjutan harus memenuhi beberapa kriteria.
Kriteria-keritera itu adalah keberlanjutan lingkungan, kelayakan ekonomi, serta inklusi sosial dengan partisipasi aktif masyarakat lokal dalam proses perencanaan, pembangunan, hingga pemanfaatannya (Irena, 2023).
Pendekatan ini juga sejalan dengan prinsip free, prior, and informed consent atau FPIC dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP, 2007).
Deklarasi itu menegaskan bahwa proyek energi, sekecil apa pun dampaknya, harus melibatkan masyarakat terdampak sejak awal secara transparan dan sukarela.
Energi yang benar-benar terbarukan adalah yang dibangun dari harmoni antara teknologi, keadilan sosial, dan pelestarian lingkungan hidup.
Melihat prinsip tersebut maka sudah selayaknya konversi atau transisi energi bukan hanya persoalan mengganti moda konsumsi dari bensin ke listrik.
Transisi energi seharusnya menjadi upaya kolektif untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan memperbaiki tata kelola lingkungan.
Bila tidak disertai dengan pembenahan sumber listrik, pengendalian industri tambang, serta pengurangan konsumsi energi, transisi ini justru bisa berubah menjadi kolonialisme baru atas sumber daya alam.
Kebijakan yang Tepat
Kita perlu segera keluar dari sesat pikir bahwa semua yang berlabel "listrik" dan "baterai" otomatis ramah lingkungan. Transisi energi yang berkelanjutan harus dibangun bukan hanya dari teknologi, tetapi juga dari kesadaran ekologis dan keadilan sosial.
Masyarakat adat, kawasan hutan tropis, dan pesisir Indonesia tak seharusnya menjadi korban atas nama energi bersih. Pendekatan paling masuk akal sekaligus paling murah adalah mengurangi konsumsi energi secara kolektif.
Menurut laporan Energy Efficiency 2023 dari International Energy Agency (IEA), efisiensi energi menyumbang hampir 40% dari pengurangan emisi yang dibutuhkan untuk mencapai target nett-zero global pada 2050 (IEA: 2023).
Artinya, mengurangi pemborosan energi di sektor transportasi, rumah tangga, dan industri memberi dampak jauh lebih besar ketimbang hanya mengganti sumber energinya.
Di Eropa, misalnya, program retrofit bangunan tua agar hemat energi berhasil menurunkan konsumsi energi rumah tangga hingga 30% (European Commission, 2022).
Di Indonesia, kajian Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada 2020 menunjukkan bahwa implementasi langkah-langkah efisiensi seperti penerapan lampu LED dan sistem AC hemat energi di bangunan pemerintah dapat menghemat hingga 20% penggunaan listrik tahunan (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2020).
Lebih jauh, penguatan transportasi publik dan pembatasan kendaraan pribadi menjadi strategi efektif dalam menekan konsumsi energi sekaligus mengurangi emisi.
Studi oleh Institute for Transportation and Development Policy atau ITDP menunjukkan bahwa pembangunan sistem transportasi massal berbasis bus atau bus rapid transit (BRT) di kota-kota besar negara berkembang dapat menurunkan konsumsi energi transportasi hingga 35% dan mengurangi waktu tempuh hingga 50% (ITDP, 2021).
Hal ini membuktikan bahwa efisiensi bukanlah konsep abstrak, melainkan intervensi nyata yang berdampak langsung.
Transisi energi yang adil dan lestari harus dimulai dari pola hidup: bijak dalam berkendara, efisien dalam menggunakan listrik, dan selektif dalam memilih teknologi.
Bukan sekadar mengganti kendaraan, melainkan mengubah cara berpikir dan bertindak. Energi terbarukan hanya akan benar-benar bermakna jika konsumsi juga dikendalikan karena planet ini bukan hanya soal sumber daya, tetapi tentang cara kita hidup di dalamnya.
Sebelum teknologi benar-benar bersih itu tersedia, sikap paling bijak adalah mengurangi konsumsi, memperbaiki efisiensi, dan memperkuat transportasi publik.
Hanya dengan cara ini kita bisa benar-benar memulai transisi energi yang adil dan berkelanjutan. Bukan sekadar mengganti bentuk konsumsi, tapi mengubah paradigma.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 19 Juli 2025. Penulis adalah dosen Program Studi Rekayasa Infrastruktur dan Lingkungan Soegijapranata Catholic University dan pengurus Griya Riset Indonesia)
Sentimen: neutral (0%)