Sentimen
Undefined (0%)
15 Jul 2025 : 17.47
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Paris

Kasus: kebakaran

Tokoh Terkait

Koalisi Masyarakat Desak UU Kehutanan Baru yang Adil & Lindungi Ekosistem Hutan

15 Jul 2025 : 17.47 Views 14

Espos.id Espos.id Jenis Media: News

Koalisi Masyarakat Desak UU Kehutanan Baru yang Adil & Lindungi Ekosistem Hutan

Esposin, JAKARTA — Pembahasan revisi Undang-Undang Kehutanan (UUK) No. 41 Tahun 1999, yang sedang berlangsung pada pertengahan tahun 2025 di Komisi IV DPR RI ini, merupakan momentum penting untuk mengakhiri tata kelola hutan sejak era kolonial.

Koalisi masyarakat sipil dari berbagai organisasi menyerukan untuk mencabut UUK lama dan mendesak DPR RI membentuk UUK baru yang lebih adil dan melindungi ekosistem hutan.

Menurut Koalisi, sudah saatnya Indonesia tidak lagi menempatkan hutan sebagai aset negara yang bebas dieksploitasi.

Selama 26 tahun, telah terjadi pengabaian terhadap keberadaan masyarakat adat dan masyarakat petani hutan; konflik tenurial yang tidak selesai; impunitas perusahaan penghancur hutan; perluasan teritorialisasi hutan melalui kebijakan transisi energi dan pangan.

Padahal hutan adalah ekosistem utuh dengan manusia di dalamnya, yakni masyarakat adat dan komunitas lokal, kekayaan alam dan keanekaragaman hayati serta aktivitas sosial dan ekonomi yang terkait dengan hutan, tak bisa dipisah-pisahkan.

Koalisi memandang secara filosofis, UU 41/1999 telah melakukan kesalahan menafsirkan hak menguasai negara dan gagal mencapai janji konstitusi untuk mencapai “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Secara sosiologis, UU 41/1999 telah mendefinisikan hutan dalam kacamata teknokratis, dan acuh terhadap pemaknaan hutan menurut masyarakat-sosiokultural.

Sementara secara yuridis, UU 41/199 telah banyak dibongkar pasang. UU ini telah mengalami tujuh kali perubahan melalui Perpu, Putusan MK dan UU yang mencabut Pasal-pasal di UU Kehutanan.

“Karena itu, Koalisi berpendapat bahwa UU Kehutanan No.41/1999 sudah tidak layak lagi dipertahankan,” kata Anggi Putra Prayoga dari Forest Watch Indonesia, saat berbicara di konferensi pers daring Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi RUU Kehutanan 2025, Senin (14/7/2025), sehari sebelum Rapat Dengar Pendapat DPR RI yang berlangsung Selasa (15/7/2025).

Hadir dalam kesempatan itu para juru bicara dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), HuMa, Madani Berkelanjutan, Kaoem Telapak, Greenpeace Indonesia dan Women Research Institute.

Hutan Hanya untuk Kepentingan Segelintir

Menurut Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, selama ini cara negara mengurus dan mengelola hutan hanya mengutamakan salah satu, yakni kepentingan ekonomi yang menguntungkan segelintir orang.

Sedangkan, akses kelola masyarakat melalui hutan adat dan hak akses melalui perhutanan sosial sedikit sekali.

“Pengalaman WALHI mendampingi 1,5 juta hektare yang tumpang tindih wilayah kelola hutan rakyat, hanya 16 persen yang mendapat pengakuan sepanjang sepuluh tahun,” kata Uli.

Refki Saputra, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia menyatakan bahwa pemerintah harus menghentikan penghancuran hutan alam, baik legal maupun ilegal.

Pemberian izin konsesi kehutanan di bawah rezim UU Kehutanan saat ini hanya memandang hutan sebagai sumber penerimaan negara, ketimbang penyangga kehidupan.

Misalnya dalam hal penertiban kawasan hutan yang hendak mengejar penerimaan negara hanya mengalihkan pelaku deforestasi, bukan menyelesaikan masalah mendasar tata kelola kehutanan.

Ia menambahkan, setidaknya terdapat 42,6 juta hektar hutan alam di dalam tiga kawasan hutan produksi (hutan produksi terbatas, tetap dan yang dapat dikonversi) yang terancam deforestasi di masa mendatang.

Kebijakan moratorium pemberian izin di hutan dan gambut di level Inpres pun tidak cukup kuat. Apalagi, faktanya kita masih melihat deforestasi dan kebakaran di area yang sudah dimoratorium.

Data terakhir menunjukkan hilangnya 39 ribu hektare hutan alam di area moratorium sepanjang 2024.

“Sudah saatnya UU Kehutanan yang baru menghentikan praktik “monetisasi hutan” dan menyelamatkan 90,7 juta hektar hutan alam tersisa, memihak pada masyarakat adat, perlindungan biodiversitas dan iklim,” kata Refki.

Tiga Hal Baru di UU Kehutanan

Erwin Dwi Kristianto dari HuMa menawarkan tiga hal yang harus ada di UU Kehutanan yang baru, yakni transisi rezim kehutanan dari rezim pengurusan menjadi rezim pengelolaan, memastikan proses penetapan hutan adat menjadi bagian dari proses pengukuhan kawasan hutan serta pemulihan lahan hutan.

“Negara semestinya cukup mengelola saja, tidak menguasai tanah. Yang terjadi sekarang adalah negara mengurusi kawasan hutan, tapi tidak mengurus hutannya. Hutan-hutan yang gundul, tidak ada pohonnya, dianggap masuk kawasan hutan,” katanya.

Akademisi kehutanan Dr. Eko Cahyono, M.Si menjelaskan bahwa tujuan akhir pengelolaan kekayaan alam di nusantara, termasuk hutan, sejak awal republik berdiri adalah memastikan kemanusiaan yang adil dan beradab untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sayangnya praktik yang terjadi dalam kebijakan kehutanan dan agraria sejak era kolonial tidak berubah sampai saat ini. Ini telah menjadikan sumber konflik struktural, marginalisasi, mengesampingkan masyarakat adat dan menimbulkan berbagai kerusakan ekosistem jangka panjang.

“Koreksi fundamental atas regulasi dan kebijakan kehutanan niscaya dilakukan untuk mengembalikan mandat konstitusional dan meluruskan salah asuh negara atas hutan Indonesia,” katanya.

UU No. 41/1999 Tidak Akomodir Perubahan Iklim dan Bela Perempuan

Sadam Afian Richwanudin, peneliti Yayasan MADANI Berkelanjutan menilai, UUK yang terbit 1999 belum mengakomodir masalah perubahan iklim, mengingat baru pada 2016 Indonesia membangun komitmen terhadap iklim, setelah meratifikasi Paris Agreement.

“Maka kami merasa bahwa undang-undang yang baru ini perlu disesuaikan. Terlebih kita menghadapi persoalan iklim yang sangat pelik, krisis iklim yang kita rasakan saat ini,” katanya.

Dengan ambisi penurunan emisi, menurut Sadam, Indonesia membutuhkan norma yang lebih tegas untuk melarang segala jenis industri ekstraktif yang membuka hutan alam yang tersisa.

Karena selama ini, pemerintah biasanya akan mengistimewakan proyek strategis nasionalc(PSN) untuk bisa membuka hutan.

“Maka, kenapa tidak dibalik, sektor perhutanan mungkin bisa membuat aturan bahwa hutan alam tidak boleh dibuka untuk apa pun,” ujarnya.

Kriminalisasi Masyarakat Adat

Sita Aripurnami dari Women Research Institute (WRI) mengutip data AMAN bahwa dari kriminalisasi terhadap 925 anggota masyarakat adat yang mempertahankan hutan sebagai ruang hidupnya, telah berdampak besar bagi perempuan yang dipaksa menjadi kepala keluarga.

UU Kehutanan yang sekarang tidak memberi jaminan sosial bagi masyarakat adat, apalagi yang terdampak konflik kepemilikan lahan.

“Oleh karenanya, kami setuju UU Kehutanan yang lama harus dicabut. Dan UU yang baru wajib menyertakan klausul kesetaraan gender, partisipasi bermakna perempuan dan perlindungan kelompok rentan serta kewajiban pengumpulan data terpilah, penyediaan mekanisme afirmatif dan pelibatan perempuan dalam semua tahap kebijakan kehutanan,” katanya.

Patria Rizky, Juru Kampanye Kaoem Telapak, mengatakan pembaruan UU Kehutanan harus membuka ruang partisipasi publik yang membuat masyarakat dapat ikut melakukan pengawasan untuk mendukung tata kelola hutan yang lebih baik.

Koalisi mengutip Pasal 3 UU 41/1999 yang menyebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Namun hasil evaluasi Koalisi melalui aspek filosofis, sosiologis dan yuridis telah menunjukkan tujuan tersebut gagal tercapai.

Berdasarkan hasil evaluasi tersebut, Koalisi memberi rekomendasi yakni menghentikan proses perubahan keempat Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan menggantinya menjadi pembentukan UU kehutanan baru.

Serta, proses pembentukan UU Kehutanan baru wajib dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah diatur di dalam Putusan MK Nomor 91/PUU/XVIII/2020 tentang partisipasi yang bermakna.

Sentimen: neutral (0%)