Sentimen
Informasi Tambahan
Club Olahraga: Barcelona
Kab/Kota: Mataram, Seoul, Solo, Toronto, Yogyakarta
Tokoh Terkait

Morgan
Keadilan Ruang Kota
Espos.id
Jenis Media: Kolom

Kota Solo lebih daripada sekadar keraton, batik, dan jejak sejarah politik Jawa. Kota ini adalah habitat cita rasa rakyat: cabuk rambak, lenjongan, sate kere, thengkleng, serabi Notosuman.
Lebih daripada konsumsi, kuliner adalah wujud cerita budaya dan sejarah ruang. Kuliner menjelma sebagai artefak budaya yang terus diwariskan, dinikmati, dan dikonsumsi kolektif lintas generasi.
Arus modernisasi dan komersialisasi kota menyebabkan kuliner rakyat justru menghadirkan cerita tandingan terhadap ruang kota yang dikendalikan pasar.
Meski sering terpinggirkan oleh invasi restoran besar dan kafe waralaba, warung dan penjaja kaki lima tetap bertahan—menjadi denyut kota yang tak bisa digantikan.
Di trotoar dan sudut pasar, kuliner rakyat membangun relasi sosial, ekonomi, dan kebudayaan yang nyaris terlupakan dalam logika pembangunan kota hingga hari ini.
Di sanalah ruang-ruang perjumpaan dan solidaritas tumbuh, melampaui sekadar transaksi makanan. Dalam lanskap kota modern, makanan bukan lagi sekadar kebutuhan biologis, melainkan ekspresi ruang dan identitas.
Kevin Morgan (2024) dalam Food Democracy and the Right to the City menjelaskan sistem pangan perkotaan harus memastikan semua warga kota—terutama kelompok rentan—memiliki akses terhadap makanan sehat, terjangkau, dan sesuai budaya.
Ini bukan semata-mata isu gizi, tetapi persoalan keadilan ruang dan hak atas kota. Gagasan ini menegaskan bahwa makanan bukan semata-mata produk konsumsi, melainkan penanda dari siapa yang diakui dan dilayani dalam perencanaan kota.
Siapa yang bisa menjual, membeli, dan menikmati makanan di kota adalah indikator keadilan perkotaan yang paling nyata. Sayangnya, di Kota Solo, kita masih menyaksikan warung-warung rakyat tersisih dari pusat kota, didesak ke pinggir oleh proyek penataan ruang yang mengutamakan estetika, investasi, dan citra pariwisata.
Menanggapi tantangan urbanisasi dan digitalisasi, kota-kota masa depan dituntut tak hanya cerdas dalam teknologi, tetapi juga merawat warga. Warung makan rakyat, warung tenda, dan penjaja keliling sebetulnya adalah bagian infrastruktur sosial kota yang adaptif dan inklusif.
Kota Cerdas Pangan
Selama ini, konsep ”kota cerdas” terlalu sempit dimaknai sebatas digitalisasi layanan dan kemajuan infrastruktur. Sesungguhnya kecerdasan kota juga tercermin dari cara menjamin ketahanan pangan, kesejahteraan ekonomi informal, dan keberlanjutan budaya lokal.
Menurut laporan Food and Agriculture Organization atau FAO (2024) tentang Sistem Pangan Perkotaan, integrasi sistem pangan dalam kebijakan tata ruang dan pembangunan kota menjadi hal yang krusial.
Kota yang adil bukan hanya efisien, tetapi juga mendengar suara dan kebutuhan kelompok akar rumput. Beberapa kota di dunia telah memulai langkah ini.
Di Barcelona, Spanyol, rencana aksi pangan perkotaan melibatkan pasar tradisional dan warung kecil sebagai bagian strategi ketahanan pangan.
Di Toronto, Kanada, partisipasi warga dalam isu pangan dilembagakan melalui Dewan Kebijakan Pangan, merumuskan arah pembangunan sistem pangan kota.
Pandangan dan gagasan Julian Agyeman (2015), profesor di Tufts University, menyatakan food is a lens through which the right to the city can be made tangible.
Kuliner, dengan segala jaringannya, menjadi alat baca untuk memahami siapa yang benar-benar punya tempat dalam kota.
Kota Solo memiliki peluang besar untuk memelopori model kota cerdas pangan, yakni kota yang mengintegrasikan teknologi, tata ruang, dan kebijakan publik untuk menjamin ketersediaan, aksesibilitas, dan keberlanjutan sistem pangan lokal.
Di Milan, Italia, dan Seoul, Korea Selatan, konsep ini telah diterapkan lewat dukungan aktif terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM kuliner lokal, regulasi pasar tradisional, kebijakan zonasi yang melindungi ruang ekonomi informal.
Ini tak sekadar menjaga warisan, namun langkah strategis menuju kota yang tahan krisis dan berakar pada solidaritas warga. Kevin Morgan juga menyatakan bahwa demokratisasi pangan tidak cukup bicara produksi dan distribusi.
Demokratisasi pangan harus menyentuh ranah pengelolaan ruang kota: bagaimana trotoar digunakan, bagaimana pasar dikelola, dan siapa yang diundang dalam proses perencanaan kota.
Dalam konteks ini, warung dan kuliner rakyat bukan pengganggu tata kota, melainkan aktor penting dalam jejaring ekonomi, budaya, dan sosial perkotaan. Mereka adalah wajah kota yang autentik—mengikat kenangan, dan identitas, rasa warga pada ruangnya.
Menata Ulang
Sudah saatnya melihat ruang publik secara holistik. Trotoar bukan hanya fasilitas transportasi, tapi bagian dari ruang sosial yang menghidupkan kota.
Pasar adalah ruang sosial yang hidup, tidak sebatas area transaksi ekonomi. Kota yang adil harus memberikan tempat bagi yang kecil: penjaja lenjongan, penjual pecel pincuk, hingga penjual cabuk rambak yang menyajikan rasa sekaligus sejarah.
Masa depan Kota Solo tak bisa hanya diukur dari estetika ruang atau pertumbuhan ekonomi. Masa depan kota ini juga ditentukan oleh keberpihakan pada kelompok kecil yang membentuk jantung kota dari bawah.
Melindungi kuliner rakyat bukanlah romantisme masa lalu, melainkan sebuah langkah strategis untuk memastikan masa depan kota inklusif dan tangguh.
Sebagaimana rasa cabuk rambak, keadilan kota hanya bisa dirasakan bila disajikan untuk semua. Jika kota terus membiarkan penjaja kaki lima tergerus proyek properti dan waralaba, yang hilang bukan hanya lanskap, tapi makna kota.
Menata kota bukan hanya membangun jalan dan jembatan, tetapi juga menegaskan siapa yang berhak tinggal, makan, dan hidup di dalamnya.
Sudah saatnya warung rakyat naik kelas, bukan untuk gentrifikasi, melainkan diakui sebagai bagian sah dari kota. Dari warung rakyat, menuju meja perencanaan kota. Kota tanpa rasa adalah kota tanpa warga.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 1 Juli 2025. Penulis adalah mahasiwa Arsitektur Universitas Widya Mataram Yogyakarta yang bergiat di Lingkar Studi Perkotaan)
Sentimen: neutral (0%)