Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Pilkada Serentak
Institusi: Universitas Diponegoro
Kab/Kota: Semarang
Putusan MK Hapus Pemilu Serentak, Pengamat Undip: Isu Lokal Bisa Lebih Kesorot
Espos.id
Jenis Media: Jateng

Esposin, SEMARANG – Pengamat politik dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, merespons baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) nasional (2029) dan daerah (2031). Sebab, selain dari segi administratif dan teknis, pemisahan ini bisa membuat masyarakat tak hanya fokus pada isu pemilihan nasional.
Adapun pemilu nasional mencangkup anggota DPR, DPD, dan presiden dan wakil presiden. Sementara pemilu lokal, terdiri atas pemilu anggota DPRD tingkat provinsi/kabupaten/kota serta pemilihan kepala dan wakil kepala daerah.
Pengamat Politik dari Undip, Wijayanto, menilai putusan MK lebih banyak dampak positif dibanding negatifnya. Sebab, beban kerja para penyelenggara dan pengawas Pemilu bisa lebih ringan dengan pelaksanaan nasional dan lokal yang dipisah.
“Bisa kurangi beban logistik karena tidak serentak. Sehingga tak ada masyarakat yang bingung karena kertas suaranya banyak saat dicoblos. Di sisi lain, meminimalisir petugas yang kelelahan,” kata Wijayanto kepada Espos, Rabu (2/7/2025) sore.
Selain itu, imbuh Wijayanto, pemisahan Pemilu nasional dan daerah memberi ruang bagi masyarakat untuk lebih fokus dalam pemahaman isu daerah. Sehingga, fokus peserta Pemilu tak hanya di pemilihan Presiden (Pilpres) dan pemilihan calon Legeslatif (pileg) DPR RI.
“Orang perhatiannya jadi lebih terarah, karena diskusi publiknya tidak diserentakkan, arus utama lokal bisa difokuskan. Karena ketika dibarengkan, ada orang tidak peduli dengan Pilkada [Pemilihan Kepala Daerah] dan Caleg lokalnnya,” sambungnya yang juga menjabat sebagai Wakil Rektor IV Undip Semarang.
Hal senada juga disampaikan Pengamat Politik dari Undip Semarang lainnya, Nur Hidayat Sardini alias NHS. Menurutnnya, penyelenggaraan Pemilu serentak selama ini, acap kali memakan korban jiwa dari berbagai profesi.
“Penyelenggaraan pemilu serentak, melibatkan beban penyelanggara Pemilu di ranah bawah. Maka putusan MK ini meringankan beban. Karena Pemilu tidak ditumpuk,” nilai NHS.
Kendati demikian, lanjut NHS, putusan MK ini juga menimbulkan persoalan lainnya yang harus segera diselesaikan. Sebab, putusan tersebut membuat Pemilu nasional digelar pada 2029, sedangkan Pemilu lokal akan dilaksanakan paling cepat dua tahun hingga paling lambat dua setengah tahun setelahnya, yakni pada 2031.
“Konsekuensinya ada kekosongan jabatan di tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Karena Pemilu [2024] itu diserentakkan. Ini tentunya perlu penyesuaian jabatan, khususnya di kalangan Legislatif [DPRD],” sambungnya.
Lebih jelasnya, selama ini di kalangan eksekutif atau Gubernur dan Bupati/Walikota, terdapat mekanisme Penjabat (Pj), Pelaksana tugas (Plt), dan Pelaksana harian (Plh). Sedangkan untuk Legeslatif, sejauh ini belum ada formula yang bisa diterapkan untuk mengisi kekosongan kursi DPRD di tingkat kabupaten/kota dan provinsi.
“Legeslatif perlu adanya jalan keluar, karena entitasnya beda. Maka pembentuk UU [Undang-Undang] harus segera sepakati, jalan keluarnya bagaimana? Karena jangan sampai ada kekosongan,” pesannya.
Sentimen: neutral (0%)