Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: UNAIR, Universitas Airlangga
Kab/Kota: Surabaya
Sukuk Kurang Diminati, Pakar UNAIR: Literasi Rendah dan Inovasi Minim
Espos.id
Jenis Media: News

Esposin, SURABAYA - Pasar sukuk negara Indonesia tengah menghadapi tantangan pelik. Meski pemerintah terus menggembar-gemborkan penguatan ekonomi syariah sebagai pilar pembangunan berkelanjutan, sinyal kekhawatiran justru datang dari sisi investor.
Menurut pakar ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga, Prof Dr Rossanto Dwi Handoyo Ph D, situasi ini menandakan adanya perubahan pola pikir investor. “Daya tarik sukuk mulai tergerus bukan karena instrumennya buruk, tetapi karena investor semakin rasional dan memiliki banyak pilihan lain,” ujarnya.
Persaingan Instrumen Investasi
Penurunan ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Gejolak geopolitik, perlambatan ekonomi negara mitra dagang utama, serta fluktuasi harga komoditas seperti minyak dan emas membuat investor lebih berhati-hati. Di saat yang sama, aset seperti properti dan instrumen digital seperti kripto makin dilirik, terutama oleh generasi muda.
"Persaingan antar instrumen keuangan saat ini sangat agresif. Investor makin oportunis dan cepat berpindah," tambah Prof Rossanto.
Secara teori, tren penurunan suku bunga seharusnya menguntungkan pasar sukuk sebagai instrumen pendapatan tetap. Namun kenyataannya, preferensi pasar justru mengalir ke produk-produk yang dinilai lebih likuid dan fleksibel.
Potensi Besar, Tapi Minim Literasi
Literasi keuangan syariah yang masih rendah, khususnya di kalangan generasi Z. Survei terbaru menunjukkan bahwa literasi keuangan syariah generasi muda baru mencapai 39 persen, meski mereka menyumbang hampir 11 persen dari total investor Surat Berharga Negara (SBN) ritel.
“Kalau tidak ada pendekatan edukatif yang relevan, generasi muda akan terus menjauhi sukuk. Kita tidak bisa menyampaikan literasi dengan cara-cara lama. Sayangnya, promosi sukuk masih terlalu formal dan belum menyentuh platform yang mereka gunakan sehari-hari seperti TikTok, YouTube, atau Instagram. Di sinilah gap besar itu bermula,” tegas Prof. Rossanto.
Solusi
Melihat kondisi ini, Prof Rossanto menyarankan pemerintah perlu segera bertindak agar pasar sukuk tetap kompetitif. Edukasi keuangan syariah harus dikemas lebih segar dan menjangkau platform digital yang digemari anak muda, seperti media sosial dan komunitas kreatif. Selain itu, transparansi penggunaan dana perlu diperkuat agar investor tahu dampak sosial dari investasinya. Inovasi produk juga penting mulai dari green sukuk, sukuk wakaf, hingga sukuk pendidikan agar sukuk lebih relevan dan menarik bagi investor yang peduli nilai dan kebermanfaatan. (NA)
Sentimen: neutral (0%)