Sentimen
Informasi Tambahan
Agama: Islam
Kab/Kota: Bekasi, Bogor, Boyolali, Depok, Grogol, Karanganyar, Klaten, Mataram, Semarang, Solo, Sragen, Sukoharjo, Tangerang, Wonogiri
Tokoh Terkait

Slamet Riyadi
Masa Depan Kota Solo
Espos.id
Jenis Media: Kolom

Kota Solo sebagai salah satu pusat aglomerasi perkotaan di Indonesia memiliki berbagai potensi dan kendala dalam pengembangan ruang.
Berdasarkan data statistik yang dirilis Badan Pusat Statistik tahun 2025, Kota Solo memiliki kepadatan penduduk 11.324 jiwa per kilometer persegi dan merupakan kota terpadat di Provinsi Jawa Tengah. Artinya kota ini memiliki keterbatasan lahan dan jumlah penduduk yang relatif banyak.
Di sisi lain, Kota Solo sebagai pusat aglomerasi perkotaan menjadi ruang ulang-alik bagi para pelaju yang beraktivitas di Kota Solo, namun tinggal menetap sebagai penduduk di kabupaten-kabupaten sekitarnya, yaitu Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Sragen, dan Kabupaten Klaten.
Banyak pelaju dari Kota Semarang dan Kota Jogja. Hal ini disebabkan aksesibilitas Kota Solo didukung moda transportasi yang variatif, seperti bus, minibus atau travel, dan kereta api.
Fenomena mudik Lebaran pada 2025 juga mengindikasikan Kota Solo sebagai salah satu tujuan mudik dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang merupakan wilayah metropolitan terbesar di Indonesia.
Pada masa liburan Kota Solo bersama Kota Jogja merupakan kota-kota tujuan para wisatawan melalui simpul transportasi darat dan udara. Kondisi dan situasi ini menunjukkan ruang Kota Solo memiliki kepadatan penduduk yang tinggi secara administratif maupun fungsional.
Kepadatan penduduk yang tinggi diimbangi kepadatan bangunan yang tinggi di Kota Solo. Kampung-kampung tradisional memiliki pola permukiman yang padat dengan struktur jalan yang relatif tidak lebar dan dengan kerapatan bangunan yang tinggi.
Permukiman nonkampung tradisional, seperti perumahan, telah berkembang pesat sejak beberapa dekade yang lalu sehingga Kota Solo memiliki masalah keterbatasan ruang nonterbangun atau ruang terbuka.
Dari segi penataan ruang, isu peremajaan kota layak dikemukakan di Kota Solo. Modernitas kota juga merupakan keharusan dalam perspektif perkembangan kota dalam kancah nasional hingga global.
Kota cerdas atau smart city yang berbasis teknologi untuk efisiensi dan efektivitas pengelolaan pembangunan merupakan salah satu konsep modernitas kota pada masa kini dan hal ini juga melekat pada perkembangan Kota Solo.
Doxiadis (1968) dalam buku berjudul Ekistics: An Introduction to the Science of Human Settlements menganggap kota sebagai permukiman dalam skala besar. Kota Solo memiliki sejarah perkembangan kota yang panjang.
Kota ini diawali dari permukiman di sekitar Bengawan Solo dan kemudian berkembang sebagai kota kerajaan pada zaman Mataram Islam. Pada zaman kolonial, Kota Solo mengalami modernisasi dengan berkembangnya sistem transportasi kereta api.
Kereta api untuk mengangkut produk perkebunan dari dan keluar Kota Solo. Seiring perkembangan waktu, kereta api mendukung juga pergerakan penumpang.
Dari segi tata kota, pemerintah kolonial Belanda membangun struktur jalan-jalan utama seperti Poerwosariweg atau Jl. Slamet Riyadi yang mengeliminasi peran Jl. dr. Radjiman yang merupakan jalan utama ke dan dari Keraton Solo pada saat itu.
Benteng dan bangunan-bangunan gaya Eropa dibangun di sepanjang Jl. Slamet Riyadi dan sekitarnya. Permukiman-permukiman di sekitarnya ditata oleh pemerintah kolonial Belanda berdasarkan etnis supaya mudah dikontrol.
Struktur kota di Jawa dan pusat-pusat permukiman tersebut masih tetap tampak pada radius kawasan Keraton Solo yang berada di bagian timur, tenggara, dan selatan Kota Solo pada saat ini.
Keberadaan rel kereta api dan sudetan Kali Pepe di kawasan Nusukan saat ini membatasi ruang kota di bagian barat dan utara Kota Solo pada masa itu. Perkembangan Kota Solo dari dekade ke dekade mengarah ke bagian barat dan kemudian bagian utara.
Ini sejalan dengan peningkatan laju pertambahan penduduk dan aktivitas perkotaan. Proses modernisasi menyebabkan ruang Kota Solo berkembang cepat dan sangat dinamis dengan gaya bangunan fungsional yang mulai memudarkan ciri-ciri bangunan arsitektural Jawa.
Letak strategis Kota Solo yang didukung berbagai macam simpul transportasi menyebabkan kota ini menjadi kota dengan hunian yang padat dan menjadi pusat aglomerasi perkotaan.
Ekspansi ruang perkotaan di Kota Solo mulai menjalar ke daerah-daerah hinterland, seperti Kecamatan Colomadu, Kecamatan Kartasura, Kecamatan Baki, Kecamatan Grogol, Kecamatan Palur, Kecamatan Jaten, dan Kecamatan Gondangrejo pada saat ini.
Berbasis Transit
Kota Solo memiliki Peraturan Wali Kota Solo Nomor 33 Tahun 2023 tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota Solo Tahun 2023–2043. Rencana ini telah memuat arah pengembangan kota dengan kecenderungan pada perencanaan berbasis tren perkembangan termutakhir.
Dokumen regulasi tata ruang ini diharapkan dapat menata kota dan memicu peluang investasi di Kota Solo dengan pengaturan batasan-batasan maksimal dalam pembangunan kota, seperti koefisien dasar bangunan dan koefisien lantai bangunan secara normatif.
Perencanaan yang berbasis target sebaiknya juga mulai dikembangkan bagi kota ini. Di tengah keterbatasan lahan, selayaknya dipertimbangkan pengembangan konsep peremajaan kota (urban renewal) di Kota Solo.
Salah satu contoh peremajaan kota adalah pembangunan kawasan Masjid Sheikh Zayed. Optimalisasi fungsi lahan melalui penataan dan pembangunan kembali kawasan tersebut perlu diimbangi dengan penataan ruang-ruang permukiman di sekitarnya sebagai multiplier effect dari kawasan tersebut.
Di bagian utara dan timur Kota Solo, selayaknya pemerintah mulai memikirkan strategi peremajaan kota sebagai upaya membangun pusat-pusat pertumbuhan baru.
Kota Solo membutuhkan pusat-pusat pertumbuhan agar beban aktivitas perkotaan tidak hanya terkonsentrasi di bagian selatan dan barat.
Dalam proses modernisasi kota, pengembangan kawasan perdagangan dan jasa modern serta hunian bertingkat dengan konsep kota kompak (compact city) menjadi opsi yang sangat relevan dalam efisiensi dan efektivitas lahan perkotaan.
Hunian bertingkat berupa apartemen dan rumah susun tentu efisien dari segi penyediaan lahan. Ini memiliki dampak keterpaduan ruang hijau yang memadai. Hal ini juga sebagai salah satu strategi mewujudkan ruang pusat aglomerasi perkotaan di Soloraya.
Strategi demikian akan meningkatkan kuantitas ruang terbuka hijau yang saat ini masih sangat di bawah standar. Bagian timur Kota Solo memang sudah relatif berkembang. Keberadaan Universitas Sebelas Maret (UNS) dan Institut Seni Indonesia (ISI) Solo selayaknya juga ditangkap sebagai simpul kawasan pertumbuhan ekonomi kota.
Setidaknya sekitar 10.000 mahasiswa UNS yang datang tiap tahun dapat dimaknai sebagai peluang penggerak ekonomi di bagian timur kota. Sejauh ini, kawasan tersebut berkembang secara alamiah.
Masyarakat lokal menyediakan hunian tempat indekos dan aktivitas ekonomi tumbuh berkembang secara spontan sebagai respons atas kebutuhan hidup sehari-hari para mahasiswa.
Dampak gentrifikasi di kawasan tersebut perlu juga dievaluasi secara saksama dalam proses perencanaan dan penataan kota. Wacana pembangunan stasiun kereta api di UNS yang telah dilontarkan kepada publik beberapa waktu lalu dapat dimaknai sebagai upaya meningkatkan aksesibilitas kawasan di Kota Solo bagian timur.
Dengan peningkatan aksesibilitas tentu yang diharapkan adalah terjadi peningkatan ekonomi kota dan masyarakat. Wacana ini selayaknya tidak dipandang secara parsial, namun perlu dilihat secara terintegrasi dalam peluang peremajaan kota.
Sedikit banyak pembangunan stasiun tersebut akan memberikan dampak positif maupun negatif bagi masyarakat sekitarnya. Peluang ini perlu dikaji dengan skenario penataan kota yang komprehensif seperti penerapan konsep pembangunan berbasis transit atau transit oriented development.
Keberadaan stasiun kereta api jangan dipandang sebagai entitas tunggal, namun perlu diintegrasikan dengan pengembangan lahan di sekitarnya.
Aksesibilitas dari dan menuju stasiun perlu disediakan dengan kondisi ruang pejalan kaki yang sesuai standar dan didukung ruang konektivitas moda transportasi yang aksesibel.
Keberadaan lahan yang tampak belum optimal dalam pemanfaatan dapat dijadikan alternatif sebagai kantong-kantong parkir atau ruang konektivitas moda transportasi maupun fasilitas perdagangan jasa atau hunian pendukung.
Konsep pembangunan berbasis transit diharapkan memberikan dampak signifikan dan multiplier effect di Kota Solo bagian timur yang juga penting bagi pertumbuhan wilayah sekitarnya.
Pada hakikatnya dampak pembangunan tidak hanya diukur dalam skala administratif, namun pada skala fungsional perkotaan.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 30 Juni 2025. Penulis adalah Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret)
Sentimen: neutral (0%)