Sentimen
Undefined (0%)
27 Jun 2025 : 10.31
Informasi Tambahan

Institusi: UNAIR, Universitas Airlangga

Kab/Kota: Solo

Kasus: pencurian

Kota Solo pada Era Pengakuan Bersama

27 Jun 2025 : 10.31 Views 17

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Kota Solo pada Era Pengakuan Bersama

Artikel Jalan Lembut ke Pengaruh Global karya Fafa Utami di Harian Solopos edisi 12 Juni 2025 memberikan narasi menarik tentang Kota Solo sebagai aktor penting diplomasi budaya global.

Penekanannya pada kekuatan seni tradisi seperti gamelan, tari, dan pertunjukan sebagai instrumen soft power. Solo diposisikan sebagai representasi ideal kota budaya di Indonesia yang aktif membangun jejaring global melalui festival, pertunjukan internasional, dan kerja sama luar negeri. 

Narasi ini pantas diapresiasi karena menggambarkan semangat lokalitas yang berani tampil di panggung internasional dengan diplomasi budaya sebagai jalan “lembut” menuju pengaruh global. 

Ini penting untuk memperkuat kesadaran bahwa kota-kota budaya di Indonesia memiliki kapasitas memainkan peran aktif di dunia yang semakin saling terhubung.

Ketika dibaca dalam kerangka perkembangan baru UNESCO—terutama tentang praktik joint nomination dan shared heritage—artikel ini juga menyisakan ruang diskusi menarik. 

Salah satunya adalah dalam konteks memberi ruang pada prinsip keterhubungan dan interculturality yang menjadi pijakan nominasi lintas negara. Refleksi atas narasi semacam ini makin relevan ketika ditempatkan dalam konteks peringatan 75 tahun keanggotaan Indonesia di UNESCO pada 2025 ini.

Sebuah momentum penting untuk meninjau kembali arah dan strategi kebudayaan nasional di tengah dinamika global. Indonesia telah membuktikan komitmen terhadap pelestarian warisan budaya, termasuk melalui inskripsi 16 elemen warisan budaya tak benda di UNESCO. 

Salah satu perubahan mendasar dalam sistem pengakuan warisan budaya tak benda di UNESCO adalah berkembangnya praktik joint nomination dan extended nomination

Dua pendekatan ini bagian dari tren global untuk mengakui warisan budaya sering kali tidak eksklusif milik satu negara, melainkan hasil interaksi lintas batas yang panjang dan kompleks. 

Spivak (2017) menjelaskan pergeseran pandangan bahwa budaya adalah entitas yang mengalir, berpindah, dan berbagi—sehingga logika pengakuan bergeser dari milik tunggal menuju pengakuan bersama (shared culture).

Bagi UNESCO, perubahan ini bukan hanya administratif, tetapi mencerminkan semangat baru dalam pelestarian budaya global: dari persaingan menuju kolaborasi. 

UNESCO memandang budaya bukan sebagai entitas tertutup milik kelompok tertentu, melainkan sebagai warisan dan ekspresi yang dapat dan harus dibagi lintas kelompok dan batas-batas geografis.

Gagasan ini dikembangkan melalui dua pilar utama strategi kebudayaan UNESCO, yaitu dialog antarbudaya (intercultural dialogue) dan pelestarian warisan budaya bersama (shared or cross-border heritage)

Di tengah perubahan arsitektur pelestarian budaya global, pertanyaan yang mendesak adalah: bagaimana Indonesia, atau dalam hal ini Kota Solo, merespons pergeseran paradigma dari pendekatan nasionalis ke kolaboratif dalam diplomasi budaya?

Gamelan atau kebaya sebagaimana halnya dengan kolintang adalah praktik budaya yang melintasi wilayah batas negara. Dalam semangat shared culture, dalam kerangka UNESCO, klaim budaya dapat diarahkan untuk membangun pengakuan bersama. 

Diplomasi budaya seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai ekspor budaya, tetapi ruang dialog dan pertukaran nilai. Hal ini menjadi penting karena UNESCO dalam Konvensi 2003 maupun 2005 telah bergerak dari paradigma multikulturalisme menuju interkulturalisme—di mana interaksi, negosiasi makna, dan keterbukaan antarbudaya menjadi nilai utama. 

Strategi seperti festivalisasi dan ekspansi pertunjukan budaya ke luar negeri perlu dibarengi dengan refleksi etnografis dan keterlibatan lintas komunitas agar tidak terjebak dalam logika komodifikasi budaya.

Narasi tentang Solo sebagai "diplomat budaya global" sebetulnya bisa menjadi kekuatan, namun harus dikalibrasi ulang dengan prinsip-prinsip kolaborasi dan keadilan kultural.

Saat Indonesia telah mencapai batas maksimum nominasi mandiri, joint nomination justru membuka peluang strategis untuk memperkuat diplomasi budaya melalui koalisi antarnegara atau antarwilayah. 

Kota Solo, dengan jejak sejarah, institusi seni yang kuat, dan infrastruktur budaya yang berkembang, bisa menjadi pelopor pendekatan ini bersama-sama dengan aktor-aktor lain dalam jejaring budaya yang sama.

Pendekatan ini masih menghadapi resistensi di tingkat publik. Sebagian masyarakat masih menganggap pengakuan bersama sebagai bentuk pengaburan identitas atau pencurian budaya. Di sinilah pentingnya merumuskan strategi komunikasi budaya yang inklusif. 

Kota Solo yang menggambarkan semangat lokalitas yang berani tampil di panggung internasional, dengan diplomasi budaya sebagai jalan “lembut” menuju pengaruh global,  mungkin bisa dibingkai ulang dan diperkuat dengan fondasi regulasi agar memperkuat narasi shared heritage. 

Bingkai ini bukan hanya memperluas pengakuan internasional atas budaya Indonesia, tetapi juga memperkuat posisi diplomasi budaya Indonesia di kancah global. 

Arsika, Suyatna, dan Purwani (2024) menekankan pentingnya membentuk kerangka hukum dan diplomatik yang dapat mengakomodasi keragaman sekaligus memperkuat identitas regional. 

Kerangka hukum ini tentu berguna saat ada silang pendapat sekaligus memberikan kepastian pada semua pihak. Peringatan 75 tahun Indonesia di UNESCO dapat dimanfaatkan untuk menyusun roadmap budaya kolaboratif.

Ini harus mencakup identifikasi elemen budaya potensial untuk nominasi bersama, penguatan diplomasi antarkomunitas, dan keterlibatan masyarakat dalam produksi narasi budaya bersama.

Kota Solo dan kota-kota budaya lainnya dapat menjadi jangkar dalam peta jalan ini dengan memperluas peran mereka dari promotor lokal menjadi mediator antarbudaya. 

Kota Solo bisa dibaca sebagai pintu masuk diskusi yang lebih besar: bahwa budaya bukan sekadar alat promosi, melainkan ruang untuk membangun solidaritas, saling belajar, dan bersama-sama menjaga warisan kemanusiaan lintas batas negara.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 20 Juni 2025. Penulis adalah Duta Besar dan Wakil Delegasi Tetap Republik Indonesia untuk UNESCO dan pengajar di Departemen Komunikasi Universitas Airlangga)

Sentimen: neutral (0%)