Sentimen
Informasi Tambahan
Agama: Islam
Kab/Kota: bandung, Semarang, Ungaran, Yogyakarta
Malam Satu Suro, Komunitas Ini Pilih Jelajah Rumah Angker di Semarang
Espos.id
Jenis Media: Jateng

Esposin, SEMARANG – Ketika sebagian besar orang memilih menarik selimut rapat pada malam Satu Sura, yang dalam penyebutan populer kerap disebut Suro, sekelompok orang justru melangkah menuju kegelapan. Bukan untuk menantang nasib, tetapi untuk menghadapi ketakutan yang selama ini diwariskan secara turun-temurun.
Mereka adalah Semarang Angker, atau lebih akrab disebut Semarangker, komunitas penjelajah lokasi-lokasi mistis yang telah konsisten beraksi hampir dua dekade. Tahun ini, mereka kembali menggelar agenda tahunan “The Tour: Ghost Tour” ke-18, bertepatan dengan malam Satu Suro yang jatuh pada Kamis (26/6/2025) malam.
Berbeda dengan wisata mistis biasa, lokasi yang akan dijelajahi tidak diumumkan secara terbuka. Namun Pamuji Yuwono, Ketua Semarangker, memberikan sedikit bocoran: perbatasan antara Semarang dan Ungaran kembali menjadi panggung eksplorasi.
“Ciri-ciri lokasinya rumah tua, bekas tempat bunuh diri dan di sekitarnya ada sendangnya. Sebuah tempat yang tak layak didatangi pada malam Suro. Tapi kami memilih untuk melanggarnya, bukan untuk menentang budaya. Tapi untuk menguji pikiran kita sendiri,” ujar Pamuji kepada Espos.
Bukan Menantang Mitos, Tapi Menguji Ketakutan
Jumlah peserta tur malam ini sebanyak 25 orang, berasal dari berbagai daerah seperti Jakarta, Bandung, hingga Yogyakarta. Bagi mereka, malam Suro bukan sekadar mitos yang harus dijauhi, tapi justru momentum untuk memahami rasa takut dengan cara berbeda.
“Kami percaya malam Suro bukan milik setan. Bagi kami, ini adalah malam tahun baru Islam, waktu yang penuh makna,” jelasnya.
Bagi Semarangker, pengalaman mistis seperti mendengar suara aneh, mencium aroma tidak biasa, hingga melihat penampakan adalah hal lumrah dalam tur mereka. Namun poin pentingnya bukan pada penampakan itu sendiri, melainkan bagaimana seseorang membingkai rasa takut.
“Mereka selalu ada. Bukan hanya di Suro. Kalau mindset kita takut, ya ditakuti. Tapi kalau kita positif, ya aman-aman saja,” imbuh Pamuji.
Dari “Lebaran Setan” Menuju Ruang Introspeksi
Label “lebaran setan” yang melekat pada malam Suro menjadi salah satu narasi yang ingin mereka dekonstruksi. Pamuji dan komunitasnya melihat adanya ironi besar: malam yang seharusnya menjadi momen refleksi spiritual, justru diisi dengan larangan dan rasa takut massal.
“Kalau Halloween di luar negeri dirayakan dengan suka cita, kenapa kita justru takut dengan malam Suro? Padahal ini awal tahun Hijriah, saatnya intropeksi diri,” ungkapnya.
Lewat aksi sederhana, berjalan di malam yang dianggap paling angker dalam kalender Jawa, Semarangker ingin mengajak masyarakat berpikir ulang. Tak selamanya mitos harus dipercaya begitu saja, apalagi jika justru membuat kita abai terhadap kesempatan untuk menilai diri sendiri.
“Kalau iman kita goyah hanya oleh suara-suara tak kasatmata, mungkin yang harus kita evaluasi bukan malamnya, tapi diri kita sendiri.”
Sentimen: neutral (0%)