Sentimen
Undefined (0%)
26 Jun 2025 : 17.02
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Solo

Kasus: covid-19

Tokoh Terkait

Cerita Pelarian Putri Keraton Pajang di Balik Penamaan Sendang Mbah Meyek Solo

26 Jun 2025 : 17.02 Views 21

Espos.id Espos.id Jenis Media: Solopos

Cerita Pelarian Putri Keraton Pajang di Balik Penamaan Sendang Mbah Meyek Solo

Esposin, SOLO -- Sendang atau sumur Mbah Meyek di Kampung Bibis Kulon, Kelurahan Gilingan, Banjarsari, Solo, menjadi salah satu tempat yang disakralkan oleh warga setempat. Setiap tahun pada bulan Sura, di sendang tersebut digelar tradisi bersih desa dan selamatan.

Dalam konteks sejarah, keberadaan sendang tersebut dianggap erat kaitannya dengan Keraton Pajang yang dipimpin Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir. Kala itu putri raja yang bernama Dyah Sri Widyawati Ningrum dituduh berselingkuh dengan salah satu abdi dalem keraton.

Mendengar kabar tersebut, putri raja beserta ibunya yang merupakan salah satu selir raja, Dyah Widyawati, beserta para pengawalnya melarikan diri dari keraton. Rombongan itu melarikan diri ke arah timur keraton dan kemudian menaiki gethek menyeberangi Kali Pepe menuju arah utara.

“Namun, para prajurit yang diperintahkan Jaka Tingkir untuk membuntuti mereka berhasil menyusul, meski ketika itu gethek sudah sampai ke tengah sungai. Para prajurit kemudian melepaskan panah tombak, dan mengenai dada Dewi Setya Arum dan para pengawalnya,” kata Ketua RW 17 Bibis Kulon, Gilingan, Solo, Heru Suryo, 58, saat berbincang kepada Espos, Rabu (25/6/2025).

Bersamaan dengan kejadian itu, tiba-tiba terjadi hujan deras dan petir yang menyambar-nyambar di Kali Pepe. Tempat itu mendadak menjadi gelap gulita, sehingga para prajurit memilih pulang ke keraton. Mereka mengira kedua putri itu sudah tewas terkena tombak.

Padahal putri raja tersebut masih hidup dan naik getheknya yang sudah hancur atau meyek-meyek. Kemudian dia sampai di kampung yang disebut Kampung Meyek (sekarang Bibis Kulon).

“Di situ juga terdapat sumur kecil yang biasa disebut belik, yang juga disebut belik Meyek. Nama Meyek diambil dari kondisi gethek yang hancur dan kondisinya meyek-meyek. Maka, sang putri pun disebut Mbah Meyek. Saya meyakini beliau meninggalnya ya di situ [Sendang Meyek],” jelas dia.

Kedatangan Seorang Kiai

Sementara riwayat lainnya mengatakan langkah Dyah Widyawati yang meyek-meyek karena kelelahan setelah berlari-lari dikejar prajurit serta kelelahan karena terlempar dari sungai itu yang kemudian memunculkan julukan Mbah Meyek. 

Ihwal penamaan Kampung Bibis juga disebut ada kaitannya dengan Mbah Meyek. Saat itu ada seorang kiai yang nenepi (tirakat) di Kampung Meyek. Kiai itu kemudian ditemui Mbah Meyek yang sedang bertapa, dan diberi beberapa pesan. 

Pertama, dia diberi obat untuk anaknya yang sakit, berupa air yang diambilkan dari belik Meyek. Kedua, jika ingin Kampung Meyek menjadi makmur harus diganti namanya menjadi Kampung Bibis. Selanjutnya, setiap tahun, tepatnya pada bulan Sura, harus mengadakan sedekah desa dan wayangan pada malam Jumat.

Pesan itu hingga sekarang dijalankan warga Bibis Kulon. Setiap menjelang hari itu di bulan Sura, diadakan bersih desa, masyarakat bekerja bakti bersama membersihkan sumur Meyek, mengadakan kirab, kenduren dan wayangan semalam suntuk.

“Sedangkan sebutan Kampung Meyek berganti menjadi Kampung Bibis ada riwayat lain yang mengatakan karena di situ juga terdapat banyak burung Belibis. Hanya saja karena sekarang sudah berubah menjadi perkampungan burung belibisnya sudah tidak ada,” beber dia.

Heru menyebut tradisi bersih desa sempat terhenti pada masa penjajahan Jepang sekitar tahun 1942-1945 karena adanya pemberlakuan jam malam. Setelah itu bersih desa kembali aktif digelar hingga terhenti kembali pada masa pandemi Covid-19.

Soal mitos-mitos seputar Sendang Mbah Meyek, beberapa kali ada warga yang mengaku melihat penampakan sosok orang tua sepuh yang diduga Mbah Meyek. Sementara soal boleh tidaknya air dikonsumsi atau digunakan warga, itu tidak ada larangannya. 

Pelestarian Tradisi

“Boleh, air ini bisa dipakai. Hanya saja memang warga tidak memakainya dengan alasan untuk menjaga kelestarian sendang,” tegas dia.

Heru berharap Merti Desa Bibis Kulon bisa terus lestari dan diuri-uri oleh generasi muda di kampungnya. Selain itu dia ingin agenda kebudayaan ini masuk kalender event Kota Solo sehingga bisa menjadi daya tarik dan mendapatkan dukungan pendanaan yang memadai.

“Kalau saya inginnya ada sejarawan atau penulis yang mau menulis secara lebih runtut sejarah Mbah Meyek termasuk sendang-sendang di sini. Sehingga harapannya ketika para sepuh-sepuh tiada anak muda itu tinggal baca dan dapat referensi yang lebih mudah dipahami,” tandas dia.

Sementara itu, Ketua Panitia Merti Desa Bibis Kulon 2025, Tulus Wibowo, mengatakan bersih desa ini diikuti warga dari RW 016-RW 021. Termasuk tradisi nguras sendang juga dilakukan serentak oleh masing-masing RW yang memiliki situs berupa sumur atau sendang.

“Nguras sendang itu sebetulnya adalah kerja bakti membersihkan area sendang agar tetap terawat dan bersih menjelang 1 Sura. Hanya ada sebagian masyarakat yang meyakini akan mendapatkan berkah bila bisa gebyur dengan air sendang. Adapun gebyuran itu sebetulnya dilakukan untuk menambah kegayengan atau keseruan acara,” kata dia.

Tulus menyebut tradisi nguras sendang adalah satu di antara banyak rangkaian acara merti desa. Merti desa digelar sebagai wujud syukur kepada Tuhan YME atas segala nikmat yang sudah diberikan serta simbol kebersamaan, guyub rukun, dan sengkuyungan antar warga Bibis Kulon.

Sentimen: neutral (0%)