Sentimen
Undefined (0%)
26 Jun 2025 : 13.34

Pedagang Marketplace Mau Dipajaki, Ini Penjelasan Kemenkeu

26 Jun 2025 : 13.34 Views 17

Espos.id Espos.id Jenis Media: Ekonomi

Pedagang Marketplace Mau Dipajaki, Ini Penjelasan Kemenkeu

Espos.id, JAKARTA — Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan berencana mewajibkan perusahaan e-commerce seperti Shopee hingga Tokopedia untuk memungut pajak penjualan para pedagang di marketplace atau lokapasar di platform tersebut.

Direktur P2Humas Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Rosmauli, menyebut kebijakan ini didasari tugas pemerintah untuk menciptakan perlakuan yang adil antara pelaku UMKM yang berjualan secara daring dan UMKM yang berjualan secara luring. "Saat ini, rencana penunjukan marketplace sebagai pemungut pajak masih dalam tahap pembahasan," ujar Rosmauli kepada bisnis.com, Kamis (26/6/2025).

Lebih jauh Rosmauli menjelaskan rencana penunjukan lokapasar (marketplace) sebagai pemungut PPh 22 atas transaksi merchant di Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) pada dasarnya mengatur pergeseran (shifting). Bila sebelumnya mekanisme pembayaran PPh dilakukan secara mandiri oleh pedagang daring (online), diubah menjadi sistem pemungutan pajak yang dilakukan oleh lokapasar sebagai pihak yang ditunjuk.

“Kebijakan ini tidak mengubah prinsip dasar pajak penghasilan, namun justru memberikan kemudahan bagi pedagang dalam memenuhi kewajiban perpajakan, karena proses pembayaran pajak dilakukan melalui sistem pemungutan yang lebih sederhana dan terintegrasi dengan platform tempat mereka berjualan,” kata Rosmauli.

Dia pun menegaskan yang menjadi sasaran aturan baru ini merupakan pedagang daring yang memiliki omzet di atas Rp500 juta per tahun. Artinya, UMKM di platform lokapasar yang memiliki omzet di bawah Rp500 juta per tahun tidak dikenakan pungutan PPh dalam skema ini, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Menurut dia, inisiatif pemerintah menyusun skema ini bertujuan untuk memberikan kemudahan administrasi, meningkatkan kepatuhan, dan memastikan perlakuan pajak yang setara antarpelaku usaha, tanpa menambah beban atau menciptakan jenis pajak baru.

Ketentuan ini juga bertujuan untuk memperkuat pengawasan dan menutup celah aktivitas ekonomi tersembunyi atau shadow economy, khususnya dari pedagang daring yang kurang memahami atau enggan menghadapi proses administratif perpajakan yang dianggap rumit.

“Dengan melibatkan marketplace sebagai pihak pemungut, diharapkan pemungutan PPh Pasal 22 ini dapat mendorong kepatuhan yang proporsional, serta memastikan bahwa kontribusi perpajakan mencerminkan kapasitas usaha secara nyata,” ujar Rosmauli.

Namun, aturan baru ini masih dalam tahap finalisasi. Dia menjamin penyusunan kebijakan ini telah melalui proses meaningful participation, yakni kajian dan pembahasan bersama pemangku kepentingan, termasuk pelaku industri niaga elektronik dan kementerian/lembaga terkait.

Ia pun menyebut rencana aturan ini mendapatkan respons yang positif sejauh ini, menunjukkan dukungan terhadap tujuan pemerintah dalam mendorong tata kelola pajak yang lebih adil dan efisien seturut dengan perkembangan teknologi informasi.

“Kami memahami pentingnya kejelasan bagi para pelaku usaha dan masyarakat. Oleh karena itu, apabila aturan ini telah resmi ditetapkan, kami akan menyampaikan secara terbuka, lengkap, dan transparan kepada publik,” tutur dia.

Sebelumnya bisnis.com yang mengutip sumber media asing pada Rabu (25/6/2025) melaporkan bahwa rencana pemajakan pelaku UMKM yang berjualan di e-commerce bertujuan untuk meningkatkan penerumaan pajak di saat pendapatan negara sedang menurun.  Peraturan yang direncanakan, yang juga bertujuan untuk menyamakan persaingan dengan toko fisik, dapat diumumkan secepatnya bulan depan, seperti disebutkan salah satu sumber media asing itu.

Rencana itu sudah diprotes platform e-commerce dengan alasan hal itu dapat meningkatkan biaya administratif dan memicu penjual menjauhi pasar daring, kata sumber-sumber yang telah diberi pengarahan tentang rencana tersebut oleh otoritas pajak.

Pemerintah sudah memperkenalkan regulasi serupa pada akhir 2018, yang mewajibkan semua operator e-commerce untuk membagikan data penjual dan membuat mereka membayar pajak atas pendapatan penjualan. Hanya saja, aturan tersebut dicabut tiga bulan kemudian karena penolakan dari industri. 

Sumber-sumber tersebut menyebutkan bahwa berdasarkan aturan baru, platform e-commerce atau marketplace diwajibkan untuk memungut dan menyetorkan pajak sebesar 0,5% dari pendapatan penjualan kepada otoritas pajak dari penjual dengan omzet tahunan antara Rp500 juta dan Rp4,8 miliar.  Penjual-penjual tersebut dikategorikan sebagai usaha kecil dan menengah (UKM) dan sudah diwajibkan untuk membayar pajak tersebut secara langsung.

Salah satu sumber menambahkan ada pula usulan denda bagi platform e-commerce yang terlambat melaporkan. Selain biaya administrasi tambahan yang diharapkan, platform e-commerce mengkhawatirkan sistem pajak saat ini, yang mengalami masalah teknis setelah pembaruan pada awal tahun alias Coretax, akan kesulitan menangani jumlah data yang diminta kantor pajak untuk dibagikan oleh pasar daring.  

Untuk diketahui, sejak 2018 pemerintah memberikan insentif kepada berupa PPh Final 0,5% selama tujuh tahun untuk Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi (OP) UMKM.  Sementara insentif tersebut berlaku bagi Wajib Pajak Badan berbentuk Koperasi, Persekutuan Komanditer (Commanditaire Vennotschap atau CV), atau Firma selama 4 tahun dan WP Badan berbentuk Perseroan Terbatas selama 3 tahun. Insentif tersebut yang semula berakhir pada akhir 2024, diperpanjang hingga akhir 2025, tetapi aturan resminya masih menunggu Kementerian Sekretariat Negara. 

 

Sentimen: neutral (0%)