Sentimen
Undefined (0%)
26 Jun 2025 : 13.45
Informasi Tambahan

Hewan: Sapi

Setelah Era Perampok Bank Berpistol

26 Jun 2025 : 13.45 Views 16

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Setelah Era Perampok Bank Berpistol

Bayangkan seorang perempuan yang menyamar menjadi laki-laki dengan penutup kepala sedang menatap sebuah bank di Swedia dengan perasaan sangat emosional meski di kepalanya juga penuh dengan hitungan serta strategi setelah pengamatan berhari-hari. 

Hari itu, Liv Holmberg, ibu dari dua anak yang baru saja ditinggal suaminya, hendak merampok bank. Dia butuh uang untuk membayar sewa apartemen. Menguatkan hati setelah berhari-hari memantau sambil mengumpulkan keberanian, dia pun masuk ke bank di depannya sambil mengacungkan pistol.

Adegan selanjutnya dalam novel Anxious People yang ditulis Fredrik Backman itu, saya bayangkan lagi adalah jeritan pegawai serta kepanikan luar biasa yang disusul si perampok keluar sambil membawa berkarung-karung uang. Ketegangan menyelimuti saya ketika meneruskan membaca hingga akhirnya yang saya lakukan justru tertawa terbahak-bahak ketika mengetahui bahwa Liv Holmberg ternyata berada di cashless bank. Betapa konyolnya dia.

Bagaimana pun saya tak habis pikir mengapa Liv Holmberg tidak menyadari bahwa yang dia rampok adalah cashless bank. Lantas, apa yang hendak dia curi di sana? Apakah dia hendak mencuri sistem? Kenapa dia tidak menyadari bahwa globe sedang terus berputar menuju notifikasi invoice, bukan lagi pada amplop berisi uang?

Lalu saya sadar, saat buku itu terbit pada 2019 lalu, Liv Holmberg berusia 39 tahun — seusia saya. Dia hidup dalam kultur di mana uang tunai sama dengan simbol material kekayaan. Memegang uang dan menyentuh kertasnya sama artinya dengan memegang kendali, otonomi, perencanaan, serta waktu. Dan kekuasaan penuh itu berada di bank. Itulah sebabnya imajinasi generasi saya untuk mendapatkan uang secara instan adalah merampok bank dan kemudian pulangnya membawa berkarung-karung uang.

Dan, nukilan kisah Liv Holmberg itu sebenarnya adalah representasi yang sangat khas perihal kegagapan generasi Baby boomer, X, dan juga Milenial– di mana saya termasuk di dalamnya – perihal sistem keuangan baru yang berbasis digital.

Saya bukanlah anak saya ataupun para keponakan saya yang akrab dengan GoPay, OVO, Dana, LinkAja, atau ShopeePay. Generasi Baby boomer, X, dan Milenial awal — lahir bersama kalkulator, bukan dengan QR code di tangan dan deretan password. Kami lahir dalam kecepatan waktu manusia yang logis, yang terepresentasi dalam hitungan detik jam analog, bukan dalam kecepatan di atas manusia yang terepresentasi dalam jam digital.

Pemahaman baru yang saya dapatkan ketika merenung ini adalah modernitas memang bukan hanya pergeseran waktu, melainkan juga representasi sistem peradaban yang berjalan. Modernitas adalah keniscayaan merespons makin banyaknya jumlah penduduk di Bumi yang menginginkan kehidupan lebih baik. Modernitas, menurut saya, adalah sebuah sistem dengan ideologi di belakangnya: efisiensi, efektivitas, kecepatan, serta rasionalitas. Dan sekarang ia menyentuh salah satu hal yang personal — uang.

Pada akhirnya saya pun mulai belajar bahwa lintasan harta maupun transaksi saya secara perlahan tidak lagi melibatkan material fisik melainkan password dan kode-kode digital yang tidak sepenuhnya saya mengerti. Dunia saya berubah dari yang awalnya konkret, kini menjadi lebih mirip dengan abstraksi ide.

Cashless adalah konsep yang abstrak, sangat berbeda dengan uang tunai. Generasi Milenial, X, dan Baby Boomer, seperti yang sudah saya singgung sedikit di awal – yang menurut data BPS mencapai 59,31% dari keseluruhan populasi - terbiasa menyentuh uang, menghitung lembar demi lembarnya, dan kemudian mengaitkannya dengan kerja keras dan rasa aman – sebuah hasil. Namun, dunia telah berubah. Saat ini, kekayaan bukan lagi benda yang bisa kita genggam, melainkan data dan angka yang saling melintas.

Uang digital dan sistem pembayaran yang merupakan bagian dari entitasnya adalah sebuah kekuatan besar yang tak terlihat. Untuk memahami kekuatan ini (baik yang positif maupun negatif) membutuhkan pemikiran yang lebih sistematis dibandingkan sebelumnya. Inilah poinnya!

Berbeda dengan jalur sosial uang tunai yang menawarkan kehidupan serta transaksi yang lebih lamban, yang memberi waktu bagi manusia untuk berpikir sejenak sekaligus merasakannya, uang digital justru sebaliknya. Uang digital dan dompet digital adalah abstraksi dengan kecepatan tinggi sehingga agar tidak tenggelam dalam kekuatannya, manusia modern benar-benar harus mengedit cara berpikir lama mereka. Itu adalah kesadaran bahwa kemudahan pembayaran tidak selalu berkorelasi dengan konsumsi yang bijak, pun konsumsi yang aman.

Poinnya adalah literasi keuangan digital bukan sekadar Anda bisa menggunakan sebuah aplikasi, melainkan juga memahami alur, risiko, maupun relasi kuasanya. Digitalisasi tanpa pemahaman sama halnya dengan penyerahan otoritas kita secara sukarela.

Maraknya pemberitaan mengenai warga yang terjerat paylater menjadi contoh yang harus menjadi perhatian bersama. Promosi paylater (buy now pay later/BNPL) selalu terkait dengan mudahnya akses di mana saja dan kapan saja. Di sisi lain, isu bunga pembayaran maupun denda keterlambatan yang sangat tinggi - bisa mencapai 2%/hari (bayangkan nilai Rp20.000/hari per Rp 1 juta) seringkali tersamar.

Persoalannya menjadi makin serius karena Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat hampir setengah pengguna BNPL adalah generasi muda di rentang usia 20-30 tahun. Mereka menyumbang 47,78% pengguna dengan nilai pinjaman berkisar Rp 300.000-Rp 400.000. Meski kecil, tunggakan itu jelas akan mempengaruhi catatan keuangan mereka – menentukan kemudahan mereka mengakses pinjaman bank, baik untuk konsumsi, produksi, maupun darurat. 

Dan, risiko sama juga dihadapi kelompok Baby Boomer, Generasi X, maupun Milenial awal yang masih mengenal celengan sapi atau simpanan di bawah kasur. Memori kolektif itu seringkali menjadikan paylater seolah ilusi bahwa ada celengan sapi dan kasur lain yang menyimpan uang mereka di era modern ini: sebuah konsep utang yang dipersepsikan sebagai pendapatan tambahan. Dan ini jelas adalah persoalan domestik yang menantang untuk pemerintah.

Masa uang tunai jelas tidak akan kembali karena uang tunai tidak lagi masuk sistem. Ini bukan lagi sekadar kisah Liv yang salah merampok bank, tapi juga soal bagaimana kita harus makin waspada agar tak menjadi korban perampok digital. Dan seperti halnya setiap sistem yang tak kasatmata, melawannya tak cukup dengan keberanian. Sebaliknya, yang kita butuhkan adalah pengetahuan: yang abstrak, sistematis, kompleks, dan, ya, seringkali rumit.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 26 Juni 2025. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

 

Sentimen: neutral (0%)