Sentimen
Undefined (0%)
26 Jun 2025 : 12.25
Informasi Tambahan

Kab/Kota: Samarinda, Solo, Yogyakarta

Kasus: korupsi

Tokoh Terkait

Lampu Hijau Penyelamatan Alam dalam Kebijakan Batas Daya Dukung Lingkungan

26 Jun 2025 : 12.25 Views 1

Espos.id Espos.id Jenis Media: Eco

Lampu Hijau Penyelamatan Alam dalam Kebijakan Batas Daya Dukung Lingkungan

Esposin, SOLO -- Pemerintah resmi menetapkan kebijakan nasional mengenai batas kemampuan alam Indonesia dalam menopang pembangunan. 

Dilansir https://kemenlh.go.id/, ketetapan melalui aturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH)  tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Nomor 916 Tahun 2025.

Kebijakan ini menjadi pijakan penting dalam memastikan pembangunan nasional tidak melampaui kapasitas lingkungan.

Hal itu disampaikan Deputi Tata Lingkungan dan Sumber Daya Alam Berkelanjutan, Sigit Reliantoro, dalam forum Bincang D3TLH: Strategi, Sinergi, dan Solusi yang digelar di Jakarta, Selasa (23/6/2025).

“Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup [D3TLH] merupakan sistem peringatan dini. Ia memberi tahu kita untuk cukup, jangan melampaui. Karena saat alam jenuh, yang runtuh pertama adalah manusia,” kata Sigit Reliantoro.

Secara nasional, kondisi daya dukung dan daya tampung lingkungan masih berada dalam batas aman. Namun, beberapa wilayah, khususnya Pulau Jawa, mulai menunjukkan tanda-tanda kelebihan beban.

Tekanan dari jumlah penduduk, produksi limbah, serta alih fungsi lahan telah melebihi kapasitas alam dalam menyediakan air bersih, udara sehat, dan ruang hidup yang layak.

“Ini bukan lagi soal teknis. Ini soal bagaimana kita menata masa depan. Jika tak segera dikendalikan, pembangunan akan jadi bumerang,” lanjut Sigit.

D3TLH mencakup lima elemen utama yakni air, lahan, laut, udara, dan keanekaragaman hayati. Semua aspek tersebut dianalisis menggunakan indeks pemanfaatan yang tidak hanya mencerminkan kondisi sumber daya alam, tetapi juga dampak aktivitas manusia.

Melalui kebijakan ini, semua bentuk pembangunan—termasuk izin usaha dan revisi rencana tata ruang wilayah (RTRW)—harus mengacu pada data D3TLH.  Artinya, pembangunan tidak lagi sekadar dilihat dari potensi ekonomi, tetapi juga dari kapasitas lingkungan untuk menanggungnya.

Saat ini, sebanyak 12 provinsi telah menetapkan kebijakan D3TLH masing-masing, di antaranya Jawa Barat, DI Yogyakarta, Maluku, Kalimantan Timur, dan Gorontalo. Pemerintah menargetkan seluruh provinsi menyusul sebelum akhir Juli 2025.

KLH/BPLH mengajak seluruh pihak untuk mengubah cara pandang terhadap pembangunan. Pertanyaan yang sebelumnya berbunyi. “Apa yang bisa dibangun? kini bergeser menjadi, apa yang masih mampu ditanggung oleh alam?” jelas Sigit. 

Forum ini juga menjadi wadah berbagi praktik terbaik antarwilayah dalam mengintegrasikan D3TLH ke dalam perencanaan dan perizinan daerah.

Banyak kepala daerah dan perencana menyampaikan pengalaman mereka dalam menyelaraskan pembangunan dengan kapasitas lingkungan.

Penetapan D3TLH menandai komitmen Indonesia untuk merancang pembangunan yang lebih bijaksana dan berkelanjutan.

Di tengah tekanan krisis iklim dan urbanisasi yang terus meningkat, langkah ini menjadi bentuk tanggung jawab dalam menjaga keberlangsungan kehidupan di masa depan.

Eksploitasi Alam

Sebelumnya, Minggu (16/3/2025), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) melaporkan 47 korporasi perusak lingkungan yang juga terindikasi melakukan korupsi sumber daya alam (SDA) ke Kejaksaan Agung. 

Korporasi tersebut bergerak di sektor perkebunan sawit skala besar, pertambangan (batu bara, emas, timah, dan nikel), kehutanan, pembangkit listrik, perusahaan penyedia air bersih, hingga pariwisata. 

Dilansir www.walhi.or.id, WALHI mengestimasi potensi kerugian negara dari indikasi korupsi sumber daya alam oleh 47 korporasi tersebut sebesar Rp437 triliun.

Beberapa modus operandi dugaan korupsi dan gratifikasi antara lain merubah status kawasan hutan melalui revisi tata ruang ataupun pasal 110 A dan 110 B undang-undang Cipta kerja, gratifikasi dengan pembiaran aktivitas tanpa izin, pemberian izin meski tidak sesuai dengan tata ruang, dan lainnya.

Bukan hanya itu, WALHI juga menjelaskan kepada pihak Kejaksaan Agung adanya modus yang lebih besar lagi.

Misalnya modus mengubah atau membentuk beberapa produk hukum yang di dalamnya diatur pasal-pasal yang mengakomodasi kepentingan eksploitasi SDA. Serta adanya pengampunan pelanggaran, atau biasa disebut dengan state capture corruption.  

“Kita tidak bisa hanya melaporkan kasus per kasus, tapi juga harus mencari modus operandi dari kartel-kartel yang mengkonsolidasikan praktik korupsi tersebut. Dari tahun 2009 kami melihat proses menjual tanah air itu akan terus berlangsung terhadap 26 juta hektar hutan Indonesia," kata Direktur EKsekutif Nasional WALHI, Zenzi Suhadi.

Korupsi di sektor SDA telah merugikan perekonomian negara dengan hilangnya mata pencaharian rakyat, hilangnya sumber-sumber penghidupan, dan konflik. 

Hingga adanya kerusakan lingkungan serta biaya eksternalitas yang harus ditanggung negara dari aktivitas korporasi tersebut.

“Sangat besar kerugian negara dan perekonomian negara dari korupsi SDA ini dan telah banyak kasus yang selama ini dilaporkan oleh WALHI kepada pihak yang berwenang. Namun, hanya sedikit kasus saja yang diproses dan diadili. Kami melihat Kejaksaan Agung memiliki peran kunci dalam memastikan bahwa penegakan hukum atas kejahatan lingkungan dan korupsi sumber daya alam berjalan efektif dan tidak ada impunitas bagi para pelaku, karena itu WALHI mendatangi, melakukan audiensi dan pelaporan pada Kejaksaan Agung hari ini,” tambah Zenzi.

Perusakan tak hanya dilakukan oleh perusahaan swasta, namun juga sejumlah mega proyek pemerintah.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Samarinda memotret secara kritis pembangunan kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN) melalui diskusi publik, podcast dan pameran foto, bertajuk Kisah Suram Gemerlap Pembangunan IKN, Sabtu (8/2/2025).

Pembangunan IKN di Kalimantan Timur telah membawa dampak besar terhadap lingkungan, sosial, serta sumber daya alam di sekitarnya. Sebuah kawasan ekologis yakni Teluk Balikpapan, disinyalir menjadi wilayah terdampak akibat IKN.

Teluk Balikpapan merupakan hunian bagi pesut Mahakam, bekantan, mangrove, dan berbagai spesies lainnya. IKN yang terus dikebut rupanya memiliki sisi lain dan menimbulkan potensi kerusakan lingkungan yang serius.

"Keanekaragaman hayati di lanskap Teluk Balikpapan terancam karena pembangunan IKN," tegas Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Timur, Fathur Roziqin Fen, dilansir https://aji.or.id/informasi/dampak-pembangunan-ikn-jadi-ancaman-kelestarian-teluk-balikpapan yang tayang pada 11 Februari 2025 lalu. 

Ia menjelaskan, lebih dari empat hektare mangrove di Teluk Balikpapan dibabat habis untuk dijadikan akses jalur perairan bagi alat-alat berat. Hal ini menyebabkan terganggunya ekosistem fauna, sehingga menyebabkan penghancuran mangrove yang cukup luas. 

"Habitat pesut, duyung, dan binatang laut lainnya tentu menjadi terganggu dengan kehadiran IKN itu sendiri," sebutnya.

Direktur Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana, Otorita Ibu Kota Nusantara, Onesimus Patiung, pernah mengatakan seluruh pihak terlibat dalam penyelematan Teluk Balikpapan, agar keanegaragaman hayati di sana bisa tetap dilestarikan.

Kendati begitu, Onesimus menyampaikan OIKN sangat terbuka terhadap kritikan masyarakat. Paling tidak, hal itu menjadi bentuk pengawasan terhadap kinerja pemerintahan dalam beberapa tahun kedepan.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda Fathul Huda Wiyashadi mengkritisi pernyataan tersebut. Ia menyatakan kondisinya tidak sesuai yang terjadi di lapangan. 

"Sebenarnya banyak yang lapor, tapi implementasinya, tindak lanjutnya apa? tidak ada," kritik Fathul. 

Sentimen: neutral (0%)