Sentimen
Undefined (0%)
24 Jun 2025 : 23.28
Informasi Tambahan

Institusi: UIN

Kab/Kota: Purwokerto

Pendidikan Bahasa Indonesia Kita Hari Ini

24 Jun 2025 : 23.28 Views 25

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Pendidikan Bahasa Indonesia Kita Hari Ini

Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan hadir bukan hanya sebagai alat komunikasi, melainkan juga sebagai penanda identitas dan ekspresi budaya. Sayangnya, dalam praktik pendidikan saat ini, ia lebih sering dipersempit menjadi sekadar mata pelajaran teknis—terfokus pada kaidah, ejaan, dan ujian pilihan ganda. Padahal, bahasa adalah wajah suatu bangsa, cermin jiwa kolektif yang merekam sejarah, nilai, dan aspirasi masyarakatnya.

Kurikulum kita menekankan aspek struktural: kalimat efektif, ejaan, ragam formal. Tentu, semua itu penting. Namun, bahasa yang diajarkan tanpa konteks dan rasa akan kehilangan daya hidupnya. Seperti dikatakan oleh Ngugi wa Thiong’o dalam Decolonising the Mind (1986): “Language, any language, has a dual character: it is both a means of communication and a carrier of culture.” Menurut dia, bahasa memiliki karakter ganda: alat komunikasi sekaligus pembawa budaya.

Pendidikan bahasa Indonesia semestinya tidak berhenti pada aturan, tetapi menjadi proses yang memanusiakan—mengajak siswa memahami makna dan nilai di balik ujaran. Bahasa bukan sekadar alat bicara, melainkan jembatan empati dan ruang bagi ekspresi kemanusiaan.

 

Terjebak dalam Pilihan Ganda

Ironi pendidikan kita terletak pada cara mengevaluasi. Ujian-ujian membuat bahasa diuji layaknya ilmu eksakta. Siswa dilatih mencari ide pokok, mengenali paragraf, menghafal jenis teks, tetapi jarang ditanya: “Apa yang kamu pikirkan tentang hidup ini?” atau “Apa keresahanmu terhadap lingkungan sekitar?”

Bahasa jadi objek hafalan, bukan alat pemaknaan. Padahal dalam pendidikan sejati, siswa perlu ruang untuk jujur, berpikir, dan mencipta makna. Mereka tahu mana kalimat tidak efektif, tetapi tak pernah diajak menulis surat pada masa depan, puisi untuk ibunya, atau esai tentang pengalaman yang mengubah hidup mereka.

Padahal, di situlah letak inti pendidikan bahasa: menyentuh pengalaman personal dan mengasah empati. Bahasa yang bermakna lahir bukan dari soal-soal pilihan ganda, tetapi dari kalimat-kalimat yang jujur dan reflektif. Kita tak bisa membentuk manusia kritis jika sejak awal mereka hanya diminta mengingat jawaban orang lain.

 

Bahasa dan Proses Berpikir

Dalam pandangan Wilhelm von Humboldt, language is the formative organ of thought.” Bahasa adalah organ pembentuk pikiran.

Bahasa bukan sekadar menyampaikan pikiran, tetapi cara pikiran terbentuk. Namun dalam praktiknya, pelajaran bahasa kita masih terfragmentasi: menyimak, berbicara, membaca, menulis—tanpa keterpaduan dalam berpikir reflektif. Proses kreatif kerap terputus karena pembelajaran yang terlalu mekanis.

Lev Vygotsky dalam Thought and Language (1962) menyatakan, “Thought is not merely expressed in words; it comes into existence through them.” Bagi dia, pikiran tidak hanya diungkapkan lewat kata; ia hadir melalui kata-kata.

Maka, pembelajaran bahasa harus menghadirkan ruang diskusi, debat terbuka, dan tulisan personal. Bahasa tidak diajarkan sebagai produk, melainkan proses berpikir dan merasakan. Siswa perlu dilibatkan dalam dialog yang membangkitkan kesadaran akan keberadaannya di tengah dunia yang terus berubah.

 

Bahasa Indonesia di Era Digital

Kini, siswa menulis lebih banyak di media sosial daripada di buku pelajaran. Mereka membuat caption, meme, dan video pendek sebagai bentuk ekspresi. Namun, pendidikan bahasa kita belum cukup responsif terhadap praktik ini. Seolah-olah dunia digital adalah ancaman, bukan peluang.

Alih-alih mencela “bahasa alay”, lebih penting mengembangkan literasi kritis—kemampuan menilai dan menggunakan bahasa secara tepat sesuai konteks. Bukan tentang benar-salah secara gramatikal, tetapi tentang kesadaran penggunaan bahasa dalam konteks sosial, budaya, dan etika.

Henry Giroux (2011) menekankan, “Literacy is more than the ability to read and write; it is the ability to read the world.” Dalam pandangannya, literasi bukan sekadar membaca dan menulis, tetapi juga membaca dunia.

Bahasa digital bisa menjadi bahan ajar kontekstual—asal digunakan secara kritis dan kreatif. Misalnya, analisis narasi dalam vlog, kritik sosial dalam puisi digital, atau refleksi atas trending topic di Twitter. Dunia siswa hari ini tak bisa dilepaskan dari layar. Maka, pendidikan bahasa harus menjangkau mereka di sana.

 

Ruang Subjektivitas

Pendidikan bahasa yang bermakna adalah pendidikan yang memberi tempat bagi subjektivitas siswa. Ketika mereka menulis tentang pengalaman hidupnya, impian masa kecil, atau keresahan terhadap dunia, maka bahasa menjadi ruang eksistensial. Di sana mereka merasa diakui sebagai pribadi yang utuh, bukan hanya peserta didik yang diukur dengan angka.

Salah satu model inspiratif adalah Writing Across the Curriculum (WAC), yang menempatkan menulis sebagai metode belajar semua mata pelajaran. Dengan menulis, siswa tidak hanya memahami materi, tetapi juga memaknai hidup.

Bayangkan jika pelajaran sejarah meminta siswa menulis surat dari tokoh masa lalu. Atau pelajaran biologi mengajak menulis puisi tentang sel hidup. Bahasa Indonesia menjadi jembatan antarilmu, bukan sekadar pelajaran yang dihafal. Pendidikan tidak lagi bersifat sektoral, melainkan lintas hati dan akal.

 

Membebaskan

Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970) menolak pendidikan satu arah yang menjejalkan pengetahuan. Ia menegaskan, “Education is the practice of freedom (Pendidikan adalah praktik pembebasan).”

Bahasa Indonesia seharusnya menjadi alat membebaskan siswa dari ketakutan, kepatuhan buta, dan keterasingan dari diri sendiri. Pembelajaran bahasa harus membuka ruang bagi kejujuran, keingintahuan, dan perenungan. Kelas bahasa bukan ruang penghakiman gramatika, tetapi taman yang memungkinkan bunga-bunga pemikiran tumbuh dengan bebas.

Kita perlu guru bahasa yang bukan hanya menguasai struktur kalimat, tetapi juga membangkitkan semangat berpikir, menulis, dan berdialog. Guru bahasa adalah penjaga api kesadaran—yang menyalakan nyala keberanian untuk bertanya, bersuara, dan bercita-cita.

Bahasa Indonesia bukan sekadar alat uji, tetapi medan pemaknaan. Ia seharusnya tidak hanya diajarkan dalam bentuk rumus dan definisi, tetapi dalam bentuk percakapan, pemikiran, dan pengalaman hidup.

Sebagaimana dikatakan oleh Mochtar Lubis dalam pidato kebudayaannya (1954), “Manusia Indonesia adalah manusia yang tidak berani bertanggung jawab.”

Salah satu penyebabnya: sistem pendidikan yang tidak membiasakan mereka berpikir dan bersuara. Kini saatnya kita ubah arah. Dari bahasa yang diajarkan dengan hafalan, menjadi bahasa yang diajarkan dengan cinta dan keberanian berpikir. Karena sejatinya, bahasa adalah ruang hidup bangsa, bukan sekadar mata pelajaran. 

(Abdul Wachid B.S., Penyair, Ketua Lembaga Kajian Nusantara Raya (LK Nura) di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto)

Sentimen: neutral (0%)