Sentimen
Negatif (97%)
8 Mei 2025 : 09.53
Informasi Tambahan

Event: Pilkada Serentak

Pasar Gelap Kekuasaan

8 Mei 2025 : 09.53 Views 17

Kompas.com Kompas.com Jenis Media: Nasional

Pasar Gelap Kekuasaan

Pasar Gelap Kekuasaan Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat ADA kekuasaan yang tak hadir dalam berita resmi. Ia tak dibicarakan dalam rapat paripurna, tak tertulis dalam konstitusi, dan tak disinggung dalam konferensi pers partai. Namun ia nyata. Ia hidup di lorong-lorong senyap kekuasaan. Di sana, jabatan bukan mandat rakyat, tapi komoditas. Loyalitas bukan ideologi, tapi harga. Kekuasaan tidak dimenangkan, tapi dibeli. Saya menyebutnya: pasar gelap kekuasaan. Pasar ini tidak memiliki etalase. Tidak ada tanda jual-beli. Namun barangnya jelas: kursi menteri, rekomendasi Pilkada, wewenang penegakan hukum, hingga pasal-pasal undang-undang. Semua bisa dinegosiasikan, semua bisa dijual, semua bisa dibeli. Di tempat inilah, konstitusi kadang dikalahkan oleh catatan kecil dari lobi-lobi yang tidak pernah dipublikasikan. Di sini pula, suara rakyat kadang tenggelam oleh bisikan para makelar kekuasaan. Transaksi itu terjadi dalam senyap. Kadang dalam pertemuan tertutup di hotel, kadang dalam percakapan yang tidak direkam, kadang dalam tatapan yang cukup untuk menyampaikan pesan. Tidak ada kuitansi, tapi ada komitmen. Tidak ada kontrak, tapi ada konsesi. Kekuasaan tidak lagi dicapai lewat kepercayaan publik, tetapi lewat modal politik dan ekonomi. Dalam sistem yang permisif dan mahalnya biaya politik, jabatan publik menjadi investasi. Dan seperti semua investasi, ia harus kembali modal. Dalam banyak kasus, pasar ini membentuk ulang wajah kekuasaan kita. Seorang pengusaha bisa membeli pengaruh politik. Seorang politisi bisa menyewakan loyalitasnya. Seorang aparat bisa memperdagangkan kewenangan. Demokrasi menjadi prosedur, tapi keputusan dibuat di tempat lain. Di ruang yang tak bisa dijangkau hukum, tak bisa dilacak pers, dan tak bisa dimintai pertanggungjawaban oleh rakyat. Goethe dalam Faust pernah menggambarkan bagaimana manusia menyerahkan jiwanya demi kekuasaan dan kenikmatan duniawi. Di negeri ini, jiwa yang dijual bukan hanya satu. Ia kolektif. Institusi-institusi kehilangan suara karena tunduk pada kekuasaan informal. Lembaga penegak hukum kehilangan taji karena menunggu aba-aba politik. Lembaga legislatif kehilangan marwah karena sibuk menjajakan pengaruh. Dan kita tahu, sekali kepercayaan publik hancur, demokrasi tak lagi punya alas. Pasar gelap kekuasaan bukan hanya persoalan moral individu. Ia tumbuh dari sistem yang rusak: partai yang oligarkis, pemilu transaksional, dan birokrasi yang lentur terhadap tekanan kekuasaan. Mahar politik dalam pencalonan, bagi-bagi jabatan pasca-Pemilu, dan negosiasi proyek berbasis afiliasi politik hanyalah gejala dari ekosistem yang memperlakukan kekuasaan sebagai barang dagangan. Di banyak daerah, seorang calon kepala daerah harus “membeli perahu” untuk bisa maju. Di pusat, kursi kabinet bisa menjadi hasil lelang koalisi. Semuanya terbungkus rapi dalam bahasa diplomatis: akomodasi politik. Apa akibat dari semua ini? Kebijakan tidak lagi dirumuskan demi kepentingan publik, tapi berdasarkan siapa yang “berjasa” di belakang layar. Proyek dirancang bukan berdasarkan kebutuhan rakyat, tapi siapa yang memodali kampanye. Kita melihat undang-undang yang disusun tergesa-gesa, tidak berpihak pada publik, tapi menguntungkan segelintir. Kita menyaksikan orang-orang yang tidak pernah bersentuhan dengan pelayanan publik, tiba-tiba duduk di kursi penting, hanya karena “berkontribusi politik”. Publik tahu ini semua. Seperti pembeli yang sudah bosan protes harga, rakyat terdiam. Mereka tahu harga demokrasi terlalu mahal, tapi tak punya pilihan lain. Kita hidup dalam demokrasi yang kehilangan jiwa. Pemilu menjadi festival, tapi bukan perayaan pilihan rasional. Ia hanya panggung yang dirancang agar transaksi bisa dibenarkan dengan suara terbanyak. Bisakah pasar ini dibongkar? Barangkali terlalu optimistis jika kita berharap perubahan datang dari dalam sistem. Karena banyak aktor yang hidup dari pasar ini. Yang lebih mungkin adalah gerakan dari luar: warga yang sadar, media yang berani, dan suara-suara independen yang tidak tergantung logika patronase. Namun tentu saja, jalan ini panjang. Karena yang kita hadapi bukan hanya rezim politik, tetapi budaya diam yang sudah menjadi kebiasaan. Kita telah terlalu lama membiarkan prinsip digantikan oleh kepentingan. Terlalu lama menganggap transaksi sebagai bagian normal dari politik. Terlalu lama menoleransi pemimpin yang bicara etika tapi bertransaksi di balik layar. Dan semakin lama kita membiarkan itu, semakin dalam pasar gelap ini mengakar. Barangkali yang kita butuhkan bukan sekadar hukum yang lebih keras, tapi kesadaran baru—bahwa kekuasaan tak seharusnya diperjualbelikan. Bahwa jabatan bukan hak milik, tapi amanah. Bahwa politik, jika benar dijalankan, adalah seni membela yang lemah, bukan membela yang membayar. Jika tidak, maka sejarah akan mencatat kita sebagai generasi yang kehilangan arah. Generasi yang membiarkan demokrasi dibajak oleh transaksi. Generasi yang tahu bahwa negara sedang dijual, tapi memilih diam. Dan ketika semua sudah gelap, suara hati akan terdengar seperti bisikan kecil di tengah pasar. Tak terdengar. Tak dianggap. Tak penting. Copyright 2008 - 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

Sentimen: negatif (97%)