Sentimen
Bukan Sekadar Kudapan, Ini Filosofi di Balik Kue Geplak Khas Betawi
Liputan6.com
Jenis Media: Regional
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2835015/original/057890800_1561254297-Geplak_Betawi.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
Liputan6.com, Jakarta - Kue geplak merupakan salah satu jajanan atau kudapan khas Betawi. Kue ini bisa dengan mudah ditemukan di kawasan Betawi pinggiran.
Mengutip dari laman Seni & Budaya Betawi, istilah geplak pada kue ini merujuk pada cara pembuatannya yang dipadatkan, ditekan, dan dikeplak-keplak. Dari sanalah lahir nama kue geplak.
Lahirnya kue bertekstur kenyal ini dipercaya bermula dari ketersediaan bahan yang ada di lingkungan Betawi tempo dulu. Keberadaannya diperkirakan sudah ada sejak 1900-an.
Hal itu tertulis dalam Penelusuran Sejarah, Filosofi, dan Budaya Makan Kue Geplak Khas Betawi oleh Kezia Elsty dan Zayyini Nahdlah. Kue geplak yang sudah ada sejak 1900-an ini banyak ditemukan di wilayah Betawi pinggiran.
Geplak betawi ini merupakan hasil kreatifitas dan pengetahuan leluhur etnis Betawi di wilayah Jakarta. Mereka memanfaatkan bahan pangan yang tersedia melimpah, seperti tepung beras dan kelapa parut yang disangrai kemudian disatukan dengan larutan gula
Penggunaan bahan hasil bumi pada kue geplak memiliki nilai filosofis tersendiri. Penggunaan beras yang merupakan hasil bumi masyarakat setempat menunjukkan kemakmuran sekaligus ukuran kebersamaan.
Bahan dari ketan umumnya memiliki filosofi sebagai pelekat silaturahmi. Namun, bahan dari tepung beras cenderung lebih menonjolkan filosofi keberkahan dan menyambung silaturahmi.
Taburan tepung beras yang sudah disangrai pada permukaan kue geplak juga memiliki tujuan tersendiri agar tidak lengket. Selain itu, tambahan taburan ini juga menambah tekstur kue geplak dan mempercantik penampilan.
Sentimen: positif (79%)