Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Pilkada Serentak
Kab/Kota: Pangkalan Bun
Dugaan Kriminalisasi Kades Tempayung dan Tersingkirnya Masyarakat Adat di Tanah Sendiri... Regional 6 Mei 2025
Kompas.com
Jenis Media: Regional
/data/photo/2025/05/06/681a042d790c1.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
Dugaan Kriminalisasi Kades Tempayung dan Tersingkirnya Masyarakat Adat di Tanah Sendiri... Tim Redaksi PALANGKA RAYA, KOMPAS.com – Perjuangan masyarakat adat Desa Tempayung, Kabupaten Kotawaringin Barat , Kalimantan Tengah , kini berada di ujung tanduk. Kepala desa mereka, Syahyunie, divonis enam bulan penjara karena dianggap sebagai provokator dalam aksi pemortalan lahan milik PT Sungai Rangit—di atas tanah yang oleh warga diakui sebagai wilayah adat. Vonis tersebut memicu respons luas. Pada Selasa (6/5/2025), puluhan warga dan aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Kriminalisasi Kades Tempayung menggelar aksi damai di depan Pengadilan Tinggi Palangka Raya. Massa menuntut Syahyunie yang tengah menempuh proses banding dibebaskan. Syahyunie harus berurusan dengan hukum karena disebut provokator pada aksi pemortalan lahan yang berada di PT Sungai Rangit, Kebun Rauk Naga Estate Divisi 3 dan 4, Desa Tempayung, Kecamatan Kotawaringin Lama, Kotawaringin Barat. Aksi pemortalan yang dilakukan warga adalah bagian dari protes atas ketimpangan pengelolaan lahan dan tuntutan pembagian plasma. Namun, tindakan kolektif itu justru ditanggapi dengan proses hukum terhadap satu sosok: kepala desa mereka sendiri. Juru bicara aksi, Agung Sesa menyatakan, dugaan kriminalisasi terhadap Kades Tempayung terlihat dari aspek-aspek hukum yang selama ini berjalan dan menjerat sang kades. “Pertama, penuntut umum mengabaikan bukti dan argumentasi pledoi, mereka tidak memberikan tanggapan substansial terhadap poin-poin kunci dalam pleidoi, dan hanya mengulang dakwaan, tanpa menyentuh substansi pembuktian yang dihadirkan penasihat hukum,” kata Agung saat menyampaikan tuntutannya di hadapan Humas Pengadilan Tinggi Palangka Raya. Menurut Agung, hal itu bertentangan dengan prinsip fair trial, karena terdakwa tidak mendapatkan tanggapan hukum yang layak dan proporsional terhadap pembelaannya. Lalu, dia juga melihat bahwa kerugian yang disandarkan kepada sang kades hanya berdasarkan klaim sepihak. “Penuntut umum juga tidak melibatkan Kantor Akuntan Publik atau Kantor Jasa Penilai Publik dalam menilai kerugian PT Sungai Rangit. Klaim kerugian hanya didasarkan pada testimoni internal (testimonium de auditu), bukan penilaian independen yang memenuhi standar pembuktian pidana, ini berpotensi melanggar standar pembuktian ‘beyond reasonable doubt’ sesuai Pasal 183 KUHAP,” tuturnya. Selain itu, Agung menyebut, penasihat hukum melalui pengajuan keberatannya menyatakan perkara ini seharusnya adalah sengketa perdata dan bahkan memenuhi unsur prejudicieel geschil, karena status lahan adat belum selesai secara hukum. “Namun, keberatan ini tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim, dengan alasan sudah dibahas di putusan sela, padahal memiliki implikasi besar terhadap legitimasi unsur pidana,” tuturnya. Selain itu, menurut dia, tindak pidana itu bersifat kolektif, namun hanya ditimpakan kepada satu orang. Menurutnya, hal itu bertentangan dengan logika hukum pidana Pasal 55 KUHP tentang Penyertaan Pidana. “Yang didakwakan mencakup ritual adat kolektif, dilakukan oleh masyarakat luas, di wilayah adat, dan dilakukan secara bersama-sama. Namun, hanya satu terdakwa yang diproses, tanpa pembuktian utuh tentang keterlibatan bersama (deelneming),” ujar dia. Tak hanya itu, status pengakuan masyarakat adat desa setempat yang tidak sah karena tidak terdaftar Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) juga menjadi masalah. “Salah satu alasan hakim dan jaksa menolak pembelaan adalah karena Desa Tempayung tidak terdaftar di BRWA dan spanduk aksi tidak mencantumkan kata ‘masyarakat adat’, padahal pengakuan masyarakat hukum adat tidak hanya bergantung pada BRWA, dan ini bukan syarat yuridis formal eksklusif,” tuturnya. Selain itu, hakim menyatakan bahwa terdakwa bertindak atas dasar membantu masyarakat menyalurkan aspirasi terkait pembagian plasma, namun nyatanya proses hukum tetap berjalan. “Padahal ini seharusnya menjadi alasan yang kuat untuk pertimbangan restorative justice, bukan pemenjaraan,” kata dia. Sebelumnya diketahui, Syahyunie harus berhadapan dengan hukum karena dituduh menjadi dalang pemortalan lahan yang berada di PT Sungai Rangit Kebun Rauk Naga Estate Divisi 3 dan 4, Desa Tempayung, Kotawaringin Lama, Kotawaringin Barat. Dalam siaran pers tertulis Koalisi Keadilan untuk Tempayung, Syahyunie pertama kali dijemput polisi di Bandara Iskandar Pangkalan Bun, saat pulang perjalanan dinas dari Jakarta pada Jumat (27/9/2024). Syahyunie dibawa ke Polres Kotawaringin Barat, diperiksa, kemudian dijadikan tersangka. Ia tidak ditahan saat itu karena permintaan Pengurus Daerah (PD) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kotawaringin Barat dan jaminan dari Camat Kotawaringin Lama. Namun, status tersangka tetap melekat padanya. Seminggu usai Pilkada atau Kamis (5/12/2024), kasus Syahyunie dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Kotawaringin Barat. Ia lalu ditetapkan sebagai tahanan rumah. Reputasi baik Syahyunie sebagai seorang Kades dan bertahun-tahun sebagai Sekdes, juga tak pernah melanggar hukum, tak membuatnya mendapatkan perlakuan yang lebih pantas. Sebuah gelang pelacak dengan teknologi GPS dipasang di pergelangan kakinya oleh Kejaksaan. Copyright 2008 - 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Sentimen: negatif (99.9%)