Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: Universitas Brawijaya, Universitas Indonesia, Universitas Pelita Harapan
Kab/Kota: Tangerang
Kasus: HAM, korupsi
Tokoh Terkait

Arif Maulana
Arif Maulana: Kita Butuh KUHAP Baru yang Jamin Proses Peradilan Jujur, Adil, dan Hormati HAM - Halaman all
Tribunnews.com
Jenis Media: Nasional

Arif Maulana: Kita Butuh KUHAP Baru yang Jamin Proses Peradilan Jujur, Adil, dan Hormati HAM
Fahdi Fahlevi/Tribunnews.com
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan fondasi utama dalam mengatur jalannya proses peradilan pidana di Indonesia, mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, hingga proses persidangan.
Saat ini, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tengah melakukan revisi terhadap KUHAP yang didalilkan bertujuan memperkuat sistem peradilan pidana nasional.
Melalui Komisi III, DPR RI menargetkan penyelesaian Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP ini pada akhir tahun 2025.
Revisi tersebut dinilai penting untuk mengatasi berbagai persoalan dalam praktik penyidikan dan penegakan hukum, sekaligus mendorong terciptanya sistem hukum yang lebih adil, transparan, dan akuntabel.
Sebagai bentuk dukungan terhadap upaya reformasi hukum ini, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (FH UPH) menyelenggarakan Seminar Hukum Nasional bertema "Reformasi Hukum Acara Penyidikan" di UPH Kampus Lippo Village, Tangerang.
Dalam kesempatan itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Arif Maulana, menekankan pentingnya penguatan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam proses penyidikan.
"Kita butuh KUHAP baru yang sungguh-sungguh menjamin proses peradilan yang jujur, adil, dan menghormati hak asasi manusia,” ucap Arif melalui keterangan tertulis, Minggu (4/5/2025).
Dia mengangkat data dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang mencatat adanya 46 kasus kekerasan dan penyiksaan dalam proses penyidikan oleh aparat penegak hukum sepanjang 2022 hingga 2024, dengan total 294 korban.
Beberapa di antaranya bahkan dilaporkan meninggal dunia.
Arif juga menyampaikan pandangannya terkait perlunya peningkatan transparansi dan partisipasi publik dalam proses legislasi revisi KUHAP.
Dirinya menyoroti pentingnya menjaga keseimbangan antara kewenangan aparat penegak hukum dalam proses penyidikan dengan perlindungan hak-hak dasar semua pihak yang terlibat, termasuk tersangka, terdakwa, korban, dan saksi.
Menurutnya, penyediaan bantuan hukum sejak awal proses penyidikan merupakan aspek krusial dalam mewujudkan proses peradilan yang adil dan menghormati prinsip-prinsip HAM.
"Perlunya revisi KUHAP yang benar-benar berpihak pada keadilan, bukan sekadar memperkuat kekuasaan negara atas rakyat," katanya.
Adapun akademisi Universitas Brawijaya, Dr Fachrizal Afandi, menekankan bahwa penerapan hukum pidana harus tetap menghormati martabat manusia.
Dirinya mengingatkan pentingnya menjaga proses penyidikan dari perlakuan yang tidak manusiawi, termasuk membatasi eksposur tersangka di media massa.
"Penerapan upaya paksa, seperti penahanan, harus dilakukan secara proporsional dan bertujuan untuk memastikan kehadiran terdakwa di persidangan, bukan sebagai penghukuman sebelum adanya putusan pengadilan," ujar Dr. Fachrizal.
Dr Fachrizal juga menyampaikan bahwa reformasi hukum acara pidana perlu mempertimbangkan sejumlah prinsip penting, termasuk exclusionary rules, yaitu ketentuan bahwa bukti yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat digunakan di persidangan.
Selanjutnya, Guru Besar Hukum Universitas Indonesia, Prof. Dr. Topo Santoso, membahas konsep keadilan restoratif.
Menurutnya, keadilan restoratif adalah cara untuk menyelesaikan masalah dengan melibatkan pelaku, korban, dan keluarga dari kedua belah pihak.
Tujuannya adalah untuk mencari solusi bersama, bukan hanya mengandalkan negara atau aparat penegak hukum.
“Dalam proses ini, pelaku tidak hanya memberikan ganti rugi kepada korban, tetapi juga melalui pemulihan psikologis, sehingga mereka bisa kembali ke masyarakat dengan lebih baik,” ucap Topo.
Namun, tidak semua kasus kejahatan dapat diselesaikan dengan pendekatan ini. Kasus-kasus besar, seperti korupsi, mungkin memerlukan langkah-langkah yang lebih kompleks daripada mediasi.
Dosen Fakultas Hukum UPH, Prof Dr Jamin Ginting, menyoroti pentingnya pemisahan fungsi yang lebih jelas antara penyidik dari Kepolisian dan Kejaksaan.
Di banyak negara, penyidik dari Kepolisian dan Kejaksaan memiliki tugas yang terpisah.
“Jaksa bertugas untuk melakukan penuntutan, sementara polisi memiliki peran dalam mengumpulkan bukti. Namun, dalam praktiknya di Indonesia, terdapat beberapa tantangan terkait pemisahan tugas antara kedua lembaga ini," ujar Prof. Ginting.
Prof Ginting juga menyarankan agar sistem hukum memberikan wewenang kepada hakim untuk melakukan pemeriksaan awal sebelum melanjutkan proses hukum.
Langkah ini penting untuk memastikan bahwa bukti yang tersedia cukup untuk mendasari keputusan penahanan.
Sentimen: positif (100%)