Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Hari Buruh
Kab/Kota: Cakung, Cilincing
Terpaksa Bertahan di Usia Senja, Kisah Tiur Sang Buruh Lansia Megapolitan 2 Mei 2025
Kompas.com
Jenis Media: Metropolitan
/data/photo/2025/05/01/6813251f89455.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
Terpaksa Bertahan di Usia Senja, Kisah Tiur Sang Buruh Lansia Tim Redaksi JAKARTA, KOMPAS.com - Dalam riuhnya gelombang massa yang memenuhi gerbang utama Gedung DPR/MPR RI pada peringatan Hari Buruh Internasional, Kamis (1/5/2025), suara lirih namun tegas menyita perhatian. Suara itu datang dari perempuan bernama Tiur (63), buruh garmen yang telah mengabdikan lebih dari dua dekade hidupnya di sebuah pabrik kawasan Cakung-Cilincing, Jakarta Utara. Tiur bukan sekadar deretan angka dalam statistik ketenagakerjaan. Ia adalah wajah ketidakadilan yang kerap luput dari sorotan, terutama saat usia tak lagi muda dan tubuh mulai merasakan lelah yang tak mudah ditawar. Di tengah orasi dan poster tuntutan peringatan Hari Buruh , ia membawa kisah yang dalam. Tentang hak pensiun yang digantung, kekerasan verbal di tempat kerja, dan perjuangan yang seolah tak kunjung usai demi mendapatkan penghargaan layak atas jerih payah puluhan tahun. Sambil duduk di rerumputan yang mengering, Tiur berbagi kisahnya kepada Kompas.com. 25 tahun sudah Tiur menjadi buruh di pabrik garmen. Sesuai aturan, seharusnya ia dipensiunkan sejak usia 58. Namun, lima tahun telah berlalu, panggilan pensiun itu tak pernah datang. "Seharusnya saya sudah dipensiunkan pada usia 58 tahun, tapi sampai sekarang, saya belum dipanggil untuk pensiun," ujar Tiur, Kamis (1/5/2025). Tiur meyakini perusahaan sengaja menunda pensiunnya, menunggu ia menyerah dan mundur sendiri. Tapi, bagi perempuan ini, mundur berarti kehilangan hak. Ia tahu benar, jika berhenti secara sukarela, pesangon yang menjadi haknya akan jauh dari semestinya. Berdasarkan perhitungan Tiur, seharusnya ia menerima sekitar Rp 125 juta sebagai imbalan atas seperempat abad pengabdian. Namun, ia melihat sendiri bagaimana rekan-rekannya yang memilih pensiun dini hanya menerima Rp 80 juta, jauh di bawah ketentuan. “Mereka menunggu kita untuk mengundurkan diri,” kata Tiur. Namun, uang bukan satu-satunya luka yang Tiur tanggung. Hari-hari kerja Tiur juga diwarnai kekerasan verbal. Bukan pukulan, tapi kata-kata kasar yang menyayat harga diri. "Bukan kasar di fisik, tapi kasar di mulut," katanya. Pernah suatu pagi, di sela-sela kesibukan produksi yang belum juga reda, suara manajer tiba-tiba menggema di seluruh ruangan. Bukan instruksi kerja yang keluar dari mulutnya, melainkan makian yang ditujukan kepada para buruh, termasuk Tiur. Di hadapan puluhan pasang mata, harga diri mereka seperti dilucuti tanpa ampun. "Teriak, satu PT itu harus dengar. Pagi-pagi udah teriak, mana nyaman kita kerja?" kenangnya. Lansia seperti Tiur sering kali menjadi sasaran diskriminasi. Mereka dianggap tak lagi produktif. “Sering dibilang, ‘Kalian ini udah tua’, padahal belum tentu yang tua enggak bisa capai target,” tambahnya. Meski hatinya kerap terluka, Tiur tahu batas. Ia tak punya kuasa untuk melawan. Pilihan satu-satunya adalah mengadu ke serikat buruh. “Sakit hati dong, jelas. Tapi kami hanya bisa lapor ke serikat. Serikat yang menyelesaikan,” ujarnya pasrah. Kini, dalam unjuk rasa yang dipenuhi tuntutan dan harapan, Tiur berdiri membawa suara yang tak boleh diabaikan. Ia tak meminta perlakuan istimewa. Tiur hanya ingin diperlakukan manusiawi. "Mereka mungkin dapat tekanan, tapi bukan berarti harus kasar ke kami. Sampaikan baik-baik, jangan menyinggung perasaan," katanya. Di usia yang semestinya sudah memasuki masa pensiun, Tiur masih harus memperjuangkan hak yang seharusnya sudah menjadi miliknya. Dan di tengah terik, di balik kerumunan, ia tetap berdiri tegak, sebagai buruh, sebagai perempuan, dan sebagai suara yang tak boleh dibungkam. Copyright 2008 - 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Sentimen: negatif (99.2%)