Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Hari Buruh
Kab/Kota: Tangerang
Tokoh Terkait
Kerja dan Martabat Manusia - Abadikini.com
disadmin
Jenis Media: News

Abadikini.com- Kamis 1 Mei 2025 tepat di Hari Buruh “May Day”, langit salah satu kantong industri yakni Tangerang tampak begitu panas menyengat.
Hari ini tak ada huru hara apalagi pekik suara demonstrasi buruh. Sebagian buruh yang ada di kawasan industri Tangerang, nyaris lebur berkumpul di arena yang sudah disiapkan Presiden Prabowo Subianto di lapangan Monas Jakarta. Mereka hadir berharap ada seteguk asa dari perubahan kebijakan yang sudah lama mencekik nasib kaum buruh.
Dalam lekangnya panas, hingga tahun kesekian hari Hari Buruh dirayakan, nyatanya masa depan buruh masih kelabu. Masalah demi masalah datang menghadang pun tak ada penyelesaian yang signifikan dari pemangku kebijakan.
Para buruh bukan saja telah lama tersandra oleh kebijakan outsourching, tapi juga masih banyak praktik lacur dalam proses rekrutmen tenaga kerja yang diwarnai praktik sogok hingga upah tidak layak. Belum lagi maraknya praktik oknum Ormas hingga pejabat berseragam yang tak ubahnya berperan sebagai centeng kompeni yang galak ke kaum papa, tapi baik pada majikan.
Belum lagi sejumlah praktik kotor lainnya yang tidak pernah selesai sehingga nasib buruh tak bisa sepenuhnya beranjak dari kemiskinan dan hidup layak.
Kerja sebagai bagian penting dari eksistensi dan martabat manusia pun seringkali dimanipulasi menjadi praktik eksploitasi dan alienasi.
Padahal jauh-jauh hari, jika kerja sebagai penentu eksistensi diri manusia sudah disuarakan dalam nubuat para nabi, sejak Nabi Musa, Isa hingga Muhammad. ‘Barang siapa yang memberi satu pekerjaan untuk mereka yang lemah, maka sama saja sudah mengangkat derajat 10 manusia.”
Di Eropa sejak abad-19 tokoh seperti Karl Marx, yang banyak terilhami dari pikiran filsuf Hegel, lantang menyuarakan pentingnya kerja sebagai manifestasi diri manusia yang paripurna. Nubuat itu bahkan mengilhami pecahnya revolusi ke revolusi di belahan dunia. Hubungan tuan dan budak terus bergesekan. Dialektika sejarah itu kemudian membuat kesepahaman antara hak dan kewajiban dalam kaitan pemilik modal dan pekerja atau buruh.
Di sebagian negeri Eropa yang sudah sejahtera, pergulatan buruh dan majikan ini telah usai, atau setidaknya mengalami kemajuan. Tak ada lagi skat antara kaum borjuis dan ploretar. Kesadaran itu seolah mencapai titik mediasi lewat gagasan walfare state atau negara kesejahteraan.
Dalam walfare state hubungan buruh dan pemilik modal kemudian mengalami apa yang disebut Hegel sebagai perjalanan menuju kesadaran yang absolut. Dimana tuan atau pemilik modal punya ketergantungan pada buruh pun sebaliknya sehingga tercapai hak dan kewajiban masing-masing dengan upah layak dan jaminan sosial. Sementara buruh punya tanggungjawab mengembangkan diri dan perusahaan yang dinaunginya. Bahkan kondisi ini juga mewarnai negara yang berbasis freedom, seperti Amerika.
Tapi bagaimana di Indonesia? Kesadaran yang dimaksud Hegel itu jelas masih berada di fase paling dangkal dimana buruh masih berada dalam situasi alienasi atau keterasingan dari kondisi yang dialaminya.
Buruh di Indonesia, demikian kata ilmuan Australia, Jhon Ingelson, masih berada di jalan pengasingan.
Jalan pengasingan itu tercermin di kantong-kantong industri tanpa kepastian jaminan upah layak, kesehatan apalagi pensiun.
Jhon Ingelson benar. Buruh terasing, seperti anak tanpa topangan orangtua. Praktik kerja-kerja politik yang melahirkan kebijakan di ruang-ruang rapat parlemen belum jua menyembulkan asa bagi para buruh.
Kerja mereka yang semestinya menentukan martabat manusia, justru sebaliknya membuat buruh makin terseok oleh minimnya keberpihakan.
Padahal suatu negara maju dan sejahtera sangat bergantung pada sejauh mana kerja-kerja pengolahan kebijakan bisa memberikan akses lapangan kerja, hak atas upah, perlindungan hingga kesehatan buruh yang sejatinya sudah kita rasakan sebagai bangsa yang sudah merdeka.
Tapi apa mau dikata, praktik kerja di ruang-ruang rapat parlemen dan pemerintahan selama ini lebih cenderung ‘memperkosa’ hak-hak buruh.
Percuma saja kalangan elit bisa hidup dengan mewah, jika di sekeliling mereka terhampar kemiskinan. Percuma saja gedung-gedung tinggi menjulang jika di sekitar gedung mewah itu buruh hanya bisa mengeluh karena bekerja dengan upah tak layak.
Buruh Australia boleh berbangga atas negaranya, karena mereka bekerja dilindungi kebijakan negaranya; mulai dari lapangan kerja yang disediakan, upah layak, hingga jaminan dan perlindungan sosial. Dari keringatnya mereka rela membayar pajak yang besar, karena tahu jika pajak yang mereka bayarkan akan disalurkan untuk kesejahteraan mereka.
Orang Jepang boleh bangga pada pemerintahnya, karena di depan anak-anak muda Jepang terhampar pekerjaan yang luas. Bahkan mereka kekurangan tenaga buruh untuk beberapa jenis pekerjaan karena rakyat Jepang populasinya tidak bertambah signifikan.
Orang Canada, Belanda, dan belahan negeri lain yang rakyatnya makmur karena bisa bekerja dengan aturan yang jelas dan berpihak pada buruh.
Mereka tak perlu berteriak paling nasionalis, sebab mereka sepenuhnya sudah merasakan tata kelola yang adil dan bermartabat.
Tapi bagaimana di negeri kita yang katanya subur, makmur tak henti disokong oleh anugrah kekayaan alam. Nyatanya jika masih dikelola oleh para pemimpin dan pelayan rakyat yang tiap hari bersiasat, bekerja atas keserakahan diri dan kelompoknya, jangan harap kita semua akan bangga menjadi satu ikatan kebangsaan.
Jika para pejabat hanya bekerja memenuhi kebutuhan dan keinginan atasannya, jangan harap martabat rakyat akan terangkat.
Jika masih ada yang bangga pamer pencapaian dan kemewahan di antara hamparan rakyat yang melarat, jangan harap rakyat akan menaruh hormat pada para pejabat.
Mestinya mereka malu pada mantan Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, yang sesaat setelah jabatannya sebagai Perdana Menteri berakhir, pulang dari kantor menggunakan sepeda. Tak ada selebrasi apalagi puja puji lewat acara formal. Mark Rutte pergi dengan senyum menyapa juru warta setelah usai mengabdi dan akan jadi warga biasa.
Rakyat Belanda jelas bangga. Mark Rutte juga tak perlu merasa jadi pahlawan, sebab pengabdian atas jabatan yang dipikulnya memang sudah kewajiban.
Tak perlu ada yang dirayakan berlebihan jika semua tugas dan kewajiban selayaknya memang harus ditunaikan.
Tapi di negeri yang minus tauladan para pemangku jabatan ini, jika ada pejabat yang sepenuh hati maka kekaguman dan rasa takjub akan membuncah.
Pada akhirnya, jika buruh hanya dipandang sebagai angka statistik tanpa diukur sejauhmana eksistensinya, maka mereka tak akan berkembang dalam lingkungan pekerjaannya. Jangan harap negeri ini akan menjadi buah bibir dambaan banyak negara lain, apalagi jadi kota tujuan untuk bisa bekerja disini.
Pada akhirnya, seperti kata tokoh politik dan spiritualis India, Mahatma Gandhi, “seluruh kekayaan bumi dan laut di dunia ini akan cukup menyejahterakan semua manusia, tapi tidak cukup untuk satu orang saja yang serakah.” Selamat Hari Buruh!
Sentimen: positif (100%)