Sentimen
Positif (66%)
30 Apr 2025 : 11.55
Informasi Tambahan

Hewan: Sapi

Kab/Kota: Bekasi, Depok

Responnya Soal Pro-Kontra Larangan Wisuda Normatif, Menteri Abdul Mu'ti Tak Cocok Jadi Penentu Kebijakan

30 Apr 2025 : 11.55 Views 30

disadmin disadmin Jenis Media: News

Responnya Soal Pro-Kontra Larangan Wisuda Normatif, Menteri Abdul Mu'ti Tak Cocok Jadi Penentu Kebijakan

Abadikini.com, JAKARTA – Kebijakan pelarangan terhadap sekolah tingkat dasar hingga menengah atas untuk menggelar wisuda dan acara perpisahan dengan cara study tour yang diberlakukan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menuai pro kontra di tengah publik.

Pelarangan yang salah satunya dilatar belakangi oleh keluhan wali murid karena memakan biaya besar hingga mereka harus mencicil ke pihak sekolah sampai tahunan, secara terang benderang banyak diungkapkan wali murid yang rata-rata hidup di bawah kemapanan.

Urusan wisuda hingga study tour yang rutin dilakukan setiap tahun terutama di akhir masa berakhirnya sekolah bukan hanya sebatas selebrasi kelulusan tanpa beban yang mengikat wali murid. Faktanya di lapangan jelas memberatkan wali murid karena bisa menelan biaya ratusan ribu hingga jutaan rupiah.

Seorang ibu muda bahkan sempat memaksa dari kerumunan untuk menemui Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi di sela sang Gubernur melakukan sidak ke lokasi bendungan di kawasan Kabupaten Bekasi Jawa Barat belum lama ini.

Si ibu yang terekam channel youtube KDM itu meminta agar Gubernur segera menganulir rencana sekolah anaknya yang berada di Kabupaten Bekasi yang akan melakoni tour dan agenda perpisahan atau wisuda di sekolah hingga ia harus mencicil selama tiga tahun untuk memenuhi program tour luar kota dan wisuda yang ditaksir menelan biaya sebesar 5 sampai 6 juta rupiah.

Walhasil Dedi Mulyadi pun langsung menghubungi Kepala Dinas Jawa Barat untuk segera menghubungi pihak sekolah yang masih ‘bandel’ menerapkan agenda study tour dan wisuda itu. Si ibu yang tadinya resah pun kini lega.

Ya, ritus formal seperti jalan-jalan keluar kota hingga acara seremonial seperti wisuda memang masih saja jadi program di nyaris tiap sekolah di negeri ini. Padahal di luar negeri seperti di negara maju Eropa dengan kualitas pendidikan yang sudah di atas rata-rata saja, ritual formal tahunan ini jelas tidak ada, kecuali di level pendidikan tinggi.

Ironis di Indonesia yang kualitas pendidikannya masih rendah malah gemar menggelar ritual formal yang sisi kemanfaatannya bagi tumbuh kembang anak tak signifikan. Kecuali hanya membebani wali murid yang tidak mampu hingga menyingkapkan isu jika program wisuda dan study tour atau tepatnya plesiran ke luar kota hanya menjadi lahan basah pihak sekolah untuk mengail keuntungan, baik dari sisi jatah biaya acara, biaya akomodasi hingga bisnis transportasi.

Karena itu wajar jika muncul tuduhan dari wali murid jika acara wisuda maupun perpisahan lewat plesiran di luar kota hanya menjadi bisnis sampingan pihak sekolah.

Karena itu penulis sangat setuju atas kebijakan Dedi Mulyadi yang melarang kegiatan tersebut. Kebijakan ini mesti tegas dinyatakan melalui larangan.

Sebab jika masih diberi celah, misalkan boleh saja wisuda dan plesiran ke luar kota digelar sebagai penutup acara perpisahan anak yang sudah lulus jika atas dasar persetujuan wali murid. Maka pernyataan normatif ini aka tetap menjadi celah pihak sekolah untuk menggelar acara serupa.

Celah dan mekanisme persetujuan itulah yang kemudian akan membuat mereka yang tidak punya suara di sekolah lagi-lagi akan terpaksa mengikuti acara. Kalau tidak anaknya juga akan merasa minder jika teman-teman satu kelasnya wisuda atau ikut study tour tapi dia tidak.

Kesan pernyataan penuh celah dan ambigu itu pula yang saya temui dari pernyataan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, yang menyatakan bahwa keputusan soal wisuda sebaiknya diserahkan kepada kebijakan masing-masing daerah.

Ia menegaskan, selama kegiatan wisuda tidak memberatkan biaya bagi orangtua dan dilaksanakan atas persetujuan bersama, maka tidak ada alasan untuk melarangnya.

“Mungkin tanya Jawa Barat lah, tapi kalau menurut saya begini, sepanjang itu tidak memberatkan dan itu juga atas persetujuan orangtua dan murid, ya masa sih tidak boleh,” ujar Abdul Mu’ti usai menghadiri Konsolidasi Nasional Pendidikan Dasar dan Menengah 2025 di PPSDM Kemendikdasmen, Sawangan, Depok, Selasa (29/4/2025).

Pernyataan Menteri yang menukangi pendidikan dasar dan menengah atas ini jelas mencerminkan bukan sosok penentu kebijakan. Pernyataan ini lebih cocok sebagai nasihat atau orang yang tengah memberi pandangan soal polemik ini tapi dengan cara mengambil jalur aman. Jadi saya kira Abdul Mu’ti tidak tegas dan tidak mampu menyelami realitas kehidupan wali murid di tingkat akar rumput.

Nah, lepas dari pelarangan itu muncul dari seorang Dedi Mulyadi yang bukan tokoh pendidikan, tapi hemat penulis Dedi justru lebih mampu menyelami suasana kebatinan wali murid, ketimbang Abdul Mu’ti yang jelas-jelas kinerjanya di Kementrian Pendidikan Dasar dan Menengah belum kelihatan atau terkesan tidak mempu menelurkan kebijakan pendidikan yang transformatif dan inspiratif.

Abdul Mu’ti laiknya ‘pejabat titipan’ yang duduk di kementrian paling penting bagi tumbuh kembang anak dan generasi muda, tapi tak punya aksi nyata untuk memperbaiki sistem pendidikan yang buruk dan sebaliknya makin kesini orientasi lembaga pendidikan makin mengarah pada praktik tak ubahnya lembaga bisnis yang hanya menjadikan anak sapi perah untuk mengeruk uang bertopeng iuran berdasarkan kesepakatan perwakilan wali murid.

Abdul Mu’ti jangan mimpi jika anak-anak dari tingkat sekolah dasar dan menengah akan mampu memahami yang mereka baca di sekolah maupun di rumah, sebagaimana yang pernah dikeluhkannya.

Jika mental Menteri saja masih percaya pada ritual tahunan formal, masih melihat nilai signifikan dari acara wisuda dan study tour, maka yang ada Abdul Mu’ti hanya menumpuk beban orangtua.

Pernyataan normatif dan cari aman Abdul Mu’ti di tengah polemik kebijakan KDM yang melarang wisuda dan study tuor, makin menunjukan gambaran jika Menteri ‘titipan’ Muhammadiyyah di era Presiden Prabowo ini benar-benar sudah kehilangan empati pada wali murid. Sebaliknya ia lebih mendengar suara mereka yang gemar menjadikan pendidikan sebagai lahan bisnis.

Jadi, andai saya Presidennya, pria paruh baya ini akan langsung saya pecat dan tak perlu lama-lama memberi kesempatan padanya yang usianya juga sudah tak semuda lagi.

Sebab selain tak punya terobosan kebijakan, di era Abdul Mu’ti belum ada kebijakan pendidikan baik untuk sekolah dasar maupun menengah yang dirasa fundamental dan monumental.

Jadi ke depan sebaiknya pemerintahan Prabowo memang harus menyerahkan segala urusan pendidikan kepada ahlinya yang punya program terobosan, bukan sebaliknya menyediakan ruang kementrian sebagai titipan semata. Tabik!

Sentimen: positif (66.7%)