Sentimen
Negatif (100%)
24 Apr 2025 : 14.33
Informasi Tambahan

Hewan: Gajah

Kab/Kota: Bandar Lampung, Senayan

Kasus: HAM, pelecehan seksual

Tokoh Terkait
Lisa

Lisa

Nurul Azizah

Nurul Azizah

Kasus Dugaan Eksploitasi OCI, Polri Telusuri Kembali Data yang Pernah Dilaporkan Tahun 1997 - Halaman all

24 Apr 2025 : 14.33 Views 46

Tribunnews.com Tribunnews.com Jenis Media: Regional

Kasus Dugaan Eksploitasi OCI, Polri Telusuri Kembali Data yang Pernah Dilaporkan Tahun 1997 - Halaman all

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polisi kembali menelusuri kasus dugaan eksploitasi yang dialami para korban Oriental Circus Indonesia (OCI).

Direktur Tindak Pidana Perdagangan Perempuan dan Anak (PPA)-Tindak Pidana Perdagangan Orang (PPO) Bareskrim Polri Brigjen Pol Nurul Azizah mengatakan kasus tersebut pernah dilaporkan 28 tahun silam.

"Terkait dengan laporan di tahun 1997 tentu kami masih proses mencari datanya mengingat kejadian sudah sangat lama," ungkapnya kepada wartawan, Kamis (24/4/2025).

Polisi juga sudah berkoordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) yang turut mendampingi para korban.

Beberapa pertemuan sudah dilakukan untuk memperbarui informasi dan mendalami penanganan kasus ini.

"Dan kami sudah bersurat ke fungsi yang membidangi (Kemen PPPA)," tandasnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Sugiat Santoso mengungkapkan bahwa kasus dugaan pelanggaran HAM oleh Oriental Circus Indonesia (OCI) mengandung unsur-unsur tindak pidana.

Termasuk dugaan perdagangan anak, eksploitasi, dan penyiksaan.

Komisi XIII pun mendesak agar Polri membuka kembali kasus ini yang sebelumnya telah diberi status SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan).

Hal itu disampaikannya usai audiensi Komisi XIII DPR bersama eks pegawai OCI, Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan Kementerian HAM.

“Ada banyak tindakan kejahatan yang terjadi terkait kasus ini. Misalnya, ditemukan bahwa sejak umur bayi, ada yang usia 2 tahun, 5 tahun, mereka diperdagangkan, katakanlah oleh oknum orang tuanya ke OCI dan dieksploitasi untuk bekerja sebagai pemain sirkus,” kata Sugiat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (23/4/2025).

Sugiat mengungkapkan, dari berbagai keterangan para korban, ditemukan indikasi kuat adanya penyiksaan dan berbagai bentuk kekerasan lainnya yang dialami mereka selama bertahun-tahun.

Bahkan, para korban telah memperjuangkan keadilan sejak tahun 1997, namun belum mendapatkan kejelasan hukum hingga kini.

“Dan dari beberapa penjelasan mereka, ternyata banyak sekali tindak kejahatan, penyiksaan, dan sebagainya. Mereka sudah melakukan pencarian keadilan sejak tahun 1997,” ujarnya.

Komisi XIII telah menyepakati untuk mendorong Polri membuka kembali penyelidikan kasus tersebut, dengan pintu masuk pada indikasi perdagangan manusia.

Sugiat mengakui bahwa untuk pembuktian kekerasan fisik mungkin sudah sulit, mengingat kasus ini terjadi puluhan tahun lalu.

“Kalau pintu masuknya adalah tadi saya katakan, bisa saja terkait dengan kejahatan perdagangan manusia. Kalau penyiksaan fisik karena sudah 28 tahun, mungkin agak sulit menemukan bukti-bukti atau visum. Tapi OCI dan eks-karyawan ini sudah sepakat bahwa sejak umur bayi mereka sudah diperdagangkan di OCI. Saya pikir itu bisa jadi pintu masuk,” kata Sugiat.

Ia juga menekankan pentingnya kehadiran negara dalam proses pemulihan para korban yang selama ini merasa ditelantarkan dan dieksploitasi sejak anak-anak.

“Kehadiran negara dalam proses pemulihan itu penting. Mereka rakyat Indonesia, mereka sejak dari umur bayi sudah ditelantarkan dan dieksploitasi oleh oknum OCI. Saya pikir harus ada kehadiran negara untuk proses pemulihan itu,” ujar Sugiat.

Menurutnya, berdasarkan keterangan korban, kuasa hukum, serta hasil investigasi dari Komnas HAM dan Komnas Perempuan, kasus ini sudah layak dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat.

“Kalau dilihat dari temuan, saya pikir sudah dijelaskan kuasa hukum, para korban, dan dikuatkan oleh temuan investigasi Komnas HAM dan Komnas Perempuan, ini pelanggaran HAM berat,” ucapnya.

Sebagai tindak lanjut, Komisi XIII sepakat untuk berkolaborasi antara Kementerian HAM sebagai leading sector bersama Komnas HAM dan Komnas Perempuan guna mendorong Polri membuka kembali kasus ini.

Kekerasan dan Pelecehan


Sejumlah mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) mengungkapkan pengalaman pahit mereka menjadi korban kekerasan fisik, eksploitasi, hingga pelecehan seksual selama bertahun-tahun terlibat dalam pertunjukan.

Pengakuan ini mereka sampaikan di hadapan Komisi XIII DPR RI pada Rabu (23/4/2025).

Rapat Dengar Pendapat (RDP) ini menghadirkan perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).

Fifi Nurhidayah, korban yang hadir dalam audiensi, menuturkan bahwa ia dibawa ke OCI oleh Frans Manansang sejak usia belia, ia bahkan tidak mengetahui pasti umurnya saat itu.

Kekerasan fisik seperti pukulan, tendangan, dan cambukan rotan, menjadi bagian tak terpisahkan dari kesehariannya jika ia gagal menampilkan pertunjukan dengan baik.

Akibat penyiksaan yang terus-menerus selama bertahun-tahun, membuat Fifi akhirnya melarikan diri dari Taman Safari.

Namun, pelariannya hanya berlangsung tiga hari sebelum ia ditangkap kembali oleh pihak keamanan dan dibawa pulang.

Akibat pelarian itu, ia mengaku mendapatkan hukuman berupa setruman di badan hingga alat kelamin, yang kemudian membuatnya mengompol.

“Setelah saya melarikan diri, 3 hari saya menghirup udara luar, saya ditangkap lagi dengan security. Di tengah jalan saya dipukulin, dikata-katain kasar seperti binatang. Sampai rumah saya dimasukkan ke kantor dan saya disetrum pakai setruman gajah. Sampai saya lemas. Sampai alat kelamin saya disetrum. Akhirnya saya jatuh, saya lemas, saya minta ampun, saya sakit. Tapi dia tidak mendengarkan omongan saya, malah dia menambahkan pukulan itu,” ungkap Fifi dengan suara bergetar.

“Setelah itu, saya jatuh lemas, ditarik lagi rambut saya, dijedotin ke dinding, dan saya ditampar. Akhirnya saya ngompol di situ. Setelah itu, saya dirantai selama 2 minggu, dipasung. Setelah 2 minggu dipasung, saya dibebaskan. Dan seperti biasa, saya latihan seperti biasa,” lanjutnya.

Bertahun-tahun kemudian, Fifi akhirnya menemukan celah untuk kabur dan meninggalkan Taman Safari dengan bantuan sang mantan kekasih.

Hingga sekarang, menurut Fifi, rangkaian peristiwa di Taman Safari masih membekas dan meninggalkan trauma mendalam.

Dalam kesempatan yang sama, Ida mengatakan bahwa ia pernah terjatuh dari ketinggian 13-14 meter saat melakukan atraksi di Bandar Lampung pada tahun 1989.

Ironisnya, setelah jatuh, pihak sirkus tidak langsung membawanya ke rumah sakit.

Ia mengaku hanya dipijat di belakang panggung.

“Setelah kira-kira beberapa jam (setelah jatuh) baru saya dibawa ke rumah sakit. Kejadiannya di Bandar Lampung. Satu malaman saya menunggu rasa sakit, belum ditangani sama dokter. Pagi baru mendapat penanganan, di-gips. Di-gips itu saya sudah tidak merasa sakit, karena mungkin dibius ya,” katanya.

Setelah di gips, Ida dibawa ke Jakarta oleh pihak OCI untuk menjalani operasi dan terapi.

Ia kemudian tak lagi menjadi pemain sirkus.

Dalam keterbatasan fisik, Ida kemudian bekerja dalam naungan manajemen Taman Safari dengan kondisi menggunakan kursi roda.

Pada tahun 1997 ia akhirnya mengajukan diri untuk keluar dari Taman Safari.

“Sekitar tahun 1997 saya lalu izin keluar. Saya sudah tidak mau ikut lagi di situ. Setelah saya keluar, saya diminta buat surat pengunduran diri. Padahal saya pikir untuk apa saya bikin, karena saya sebetulnya kan bagian dari keluarga katanya. Tapi saya dipaksa membuat surat sebelum saya meninggalkan Taman Safari. Jadi setelah saya tanda tangan, saya diizinkan keluar, tapi saya tidak menerima apa-apa. Jadi saya keluar, tidak dapat satu rupiah pun, saya keluar meninggalkan Taman Safari pada saat itu seperti itu gitu,” katanya.

Lisa, mantan pemain sirkus OCI lainnya, mengungkapkan bagaimana pihak OCI tidak mengizinkannya untuk bertemu keluarga kandungnya.

Menurut pengakuannya, istri dari Yansen, seorang pengelola sirkus, mengatakan bahwa Lisa adalah anak yang dijual oleh orang tuanya.

“Setelah usia saya 12 tahun, saya minta sama Pak Tony untuk dipertemukan dengan keluarga saya. Tapi Tony bilang, nanti suatu saat kalau kamu ada waktunya, kamu akan saya pertemukan. Setelah 15 tahun, saya juga minta lagi dengan Ibu Yansen. Kita panggil dia Sausau. Sau, saya ingin ketemu orang tua saya. Sausau terus bilang, kamu itu dijual. Kamu itu anak yang dijual. Saya sedih dari saat itu,” ungkapnya.

Lisa juga mengaku bahwa ia tidak diizinkan untuk memiliki KTP pada usia 17 tahun.

Ia akhirnya berhasil keluar dari sirkus pada usia 19 tahun setelah memiliki seorang pacar, namun hingga kini ia tak tahu asal usul keluarganya dan tidak menerima upah sepeserpun selama menjadi pemain sirkus.

“Sampai sekarang saya pun belum bisa ketemu orang tua saya. Identitas saya juga tidak tahu. Dari mana saya, nama orang tua saya itu siapa,” imbuh Lisa.

Sentimen: negatif (100%)