Sentimen
Informasi Tambahan
Institusi: UPN Veteran Jakarta
Kab/Kota: Tiongkok
Pasar Mangga Dua Disorot Amerika Jadi Sarang Barang Palsu, Ekonom Ungkap Hal Ini - Halaman all
Tribunnews.com
Jenis Media: Ekonomi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Laporan Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) yang kembali menyoroti Indonesia, khususnya Pasar Mangga Dua Jakarta dan platform e-commerce dalam daftar "Notorious Markets", dinilai merupakan kritik keras yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Dalam daftar tersebut, Indonesia dianggap gagal menertibkan peredaran barang palsu dan bajakan, serta tidak cukup melindungi hak kekayaan intelektual.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengatakan, ini adalah isu yang kompleks, menyentuh berbagai aspek mulai dari perdagangan internasional, penegakan hukum, hingga dinamika ekonomi mikro pelaku usaha kecil.
"Klaim ini, walau punya dasar yang sahih, perlu dipahami secara kontekstual dan direspons dengan pendekatan seimbang, antara perlindungan pasar domestik dan pemenuhan komitmen global," papar Achmad dikutip Rabu (23/4/2025).
Mengapa Indonesia Disorot, Bukan Negara Produsen Besar Seperti Tiongkok?
Jika kita melihat data global, Tiongkok memang merupakan negara dengan volume produksi barang palsu terbesar di dunia, mencakup lebih dari 70 persen barang bajakan secara global menurut laporan OECD dan EUIPO.
Namun, fokus laporan USTR bukan semata-mata pada negara produsen, melainkan pada titik-titik distribusi dan pasar akhir.
Dalam hal ini, Indonesia dengan pasar fisik seperti Mangga Dua dan ekosistem digital e-commerce yang longgar regulasinya menjadi titik temu antara produksi luar dan konsumsi domestik.
"Amerika Serikat tentu punya kepentingan strategis, melindungi brand dan industri mereka dari erosi nilai akibat pemalsuan," tutur Achmad.
Ia menyebut, ketika barang palsu yang meniru merek-merek Amerika masuk dan dijual bebas di Indonesia, mereka tidak hanya kehilangan potensi penjualan, tetapi juga menghadapi degradasi reputasi merek.
Kondisi ini, disebut Achmad, mendorong AS untuk menekan negara seperti Indonesia agar memperkuat perlindungan HKI, meski negara asal produksi seperti Tiongkok tidak disentuh secara frontal karena kompleksitas hubungan dagang yang lebih besar.
Lemahnya Penindakan
Achmad menyampaikan, penegakan hukum terhadap barang palsu di Indonesia, khususnya di ranah digital, masih jauh dari kata optimal. Banyak pelaku usaha menjual barang tiruan secara terang-terangan di marketplace besar tanpa takut sanksi.
"Ketidakhadiran sistem filtering yang efektif, lemahnya pengawasan dari pemerintah, serta kurangnya insentif bagi platform digital untuk membersihkan diri dari pedagang ilegal menjadi akar masalah," ujarnya.
Ditambah lagi, Achmad menilai, ketentuan hukum seperti UU ITE dan UU Perlindungan Konsumen belum memberikan tekanan yang cukup spesifik terhadap pemalsuan di ranah digital.
Menurutnya, perdagangan digital menciptakan ruang gelap (black box) di mana identitas pelaku dan asal barang sulit ditelusuri.
Pasar Pagi Mangga Dua yang terletak di Jalan Mangga Dua Raya, Jakarta Utara, tetap menjadi pusat belanja fashion yang populer meski usianya sudah mencapai beberapa dekade. Terletak di sebelah ITC Mangga Dua, pasar ini menawarkan berbagai produk fashion dari grosir hingga satuan dengan variasi yang mencakup barang lokal dan impor. (Tribunnews/Galuh Nestiya)
"Ini memerlukan pembaruan regulasi digital dan kolaborasi aktif antara pemerintah, penyedia platform, dan pemegang hak kekayaan intelektual. Tanpa itu, e-commerce akan terus menjadi jalur aman bagi pelaku pemalsuan," ujarnya.
Melihat hal ini, Achmad menyampaikan, sikap pemerintah Indonesia yang selama ini cenderung menunggu laporan dari pemegang merek sebelum menindak pelanggaran HKI harus diubah.
Ia menyebut, pendekatan ini hanya menimbulkan kesan bahwa negara bersikap pasif terhadap pelanggaran hukum yang jelas. Perlu ada reposisi paradigma dari sekadar "penegakan berbasis laporan" menuju "penertiban sistemik dan proaktif".
"Pemerintah bisa menggunakan pendekatan berbasis data dan teknologi untuk mengidentifikasi titik-titik distribusi barang ilegal, termasuk menerapkan kebijakan sanksi administratif terhadap pasar atau platform yang terbukti membiarkan perdagangan ilegal berlangsung," katanya.
Di sisi lain, Achmad meminta kampanye edukasi publik tentang pentingnya membeli produk asli dan dukungan kepada brand lokal juga perlu ditingkatkan.
Sentimen: positif (66.7%)