Sentimen
Informasi Tambahan
Kasus: korupsi
Daftar Kebijakan yang Bikin Indonesia Tersandera AS Usai Kenaikan Pajak 47 Persen
Pikiran-Rakyat.com
Jenis Media: Ekonomi

PIKIRAN RAKYAT - Amerika Serikat menaikkan tarif bea masuk terhadap produk tekstil dan garmen dari Indonesia hingga 47 persen, sebagai respons atas berbagai kebijakan ekonomi dan perdagangan Indonesia yang dinilai menghambat kepentingan bisnis AS. Kenaikan tarif ini menjadi bentuk tekanan dagang serius yang bisa berdampak pada ekspor nasional.
Dalam laporan resmi bertajuk “2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers”, Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) secara gamblang mencantumkan Indonesia sebagai negara dengan banyak hambatan perdagangan. Berikut penjabaran lengkap atas daftar kebijakan Indonesia yang dikeluhkan AS, lengkap dengan kutipan dari laporan USTR:
1. Kebijakan Impor: Tarif dan Non-Tarif
AS mempersoalkan tarif dan prosedur impor Indonesia yang dianggap tidak sesuai dengan komitmen di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Misalnya, tarif impor untuk produk teknologi informasi, seperti peralatan switching dan routing, semestinya nol persen berdasarkan perjanjian ITA (Information Technology Agreement). Namun Indonesia diduga mengenakan bea masuk hingga 10 persen.
“Meskipun memiliki tarif WTO sebesar nol persen untuk subpos HS 8517, Indonesia tampaknya menerapkan bea masuk 10 persen,” ujar USTR.
Tak hanya itu, Indonesia juga dikenai kritik atas cukai tinggi terhadap minuman beralkohol impor, kebijakan audit pajak yang tidak transparan, serta proses restitusi pajak penghasilan yang sangat lambat. USTR mencatat bahwa proses tersebut bisa memakan waktu bertahun-tahun, menciptakan ketidakpastian dan beban bagi perusahaan asing.
2. Hambatan Teknis Perdagangan (TBT)
AS menuding Indonesia menggunakan hambatan teknis secara berlebihan yang tidak selalu berdasar pada prinsip ilmiah atau risiko kesehatan. Contohnya:
Mainan anak wajib melalui uji laboratorium berulang meskipun telah lolos sertifikasi internasional. Produk susu dari AS harus diaudit langsung oleh pejabat Indonesia, termasuk biaya perjalanan, akomodasi, dan audit dokumen yang bisa mencapai lebih dari 10.000 dolar AS (Rp168 juta).
“Biaya audit fasilitas produksi susu AS dapat melebihi US$10.000 dan memberatkan, terutama bagi usaha kecil,” ucap USTR.
3. Sertifikasi Halal dan Labelisasi Produk
Sertifikasi halal diwajibkan untuk produk makanan, kosmetik, hingga barang rumah tangga, termasuk dari perusahaan asing. AS menilai implementasinya belum transparan dan bisa menjadi hambatan non-tarif.
“Indonesia memperluas cakupan kewajiban sertifikasi halal hingga ke produk rumah tangga dan kimia, meski proses sertifikasinya belum jelas dan tidak selalu berbasis risiko,” tutur laporan itu.
4. Kebijakan Lokal Konten dan Pengadaan Pemerintah
USTR juga mengecam kebijakan pemerintah Indonesia yang mewajibkan penggunaan komponen lokal dalam pengadaan barang dan jasa, khususnya dalam proyek pemerintah dan BUMN. Hal ini dinilai diskriminatif terhadap produk impor dari AS.
“Indonesia menginstruksikan lembaga pemerintah dan BUMN untuk memaksimalkan penggunaan barang dan jasa lokal, membatasi partisipasi perusahaan asing,” ucap USTR.
5. Penegakan Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
AS menyoroti lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran merek dagang dan hak cipta di Indonesia. Beberapa pasar tradisional dan e-commerce Indonesia dicap sebagai “pasar terkenal pelanggaran HKI”, termasuk Pasar Mangga Dua di Jakarta.
“Pasar Mangga Dua di Jakarta tercantum dalam Daftar Pasar Terkenal karena pelanggaran kekayaan intelektual, bersama sejumlah platform daring di Indonesia,” kata laporan itu.
AS juga meminta Indonesia meningkatkan koordinasi antar aparat penegak hukum dalam menangani kasus pelanggaran HKI.
6. Pembatasan di Sektor Jasa
Indonesia disebut membatasi masuknya layanan asing di berbagai sektor jasa. Beberapa pembatasan tersebut antara lain:
Kuota film domestik minimal 60 persen di bioskop. Kepemilikan asing dibatasi di media, penyiaran, dan transportasi. Hambatan regulasi terhadap jasa keuangan, pengiriman ekspres, telekomunikasi, dan ritel asing.
“Indonesia membatasi distribusi perangkat genggam dan smartphone melalui lisensi teknis dan regulasi TKDN, yang dianggap sebagai penghalang akses pasar,” tutur USTR.
7. Regulasi Perdagangan Digital
AS juga menyuarakan keberatan atas kebijakan Indonesia terkait pelaporan produk digital. Produk tak berwujud seperti perangkat lunak wajib dilaporkan ke bea cukai, meskipun tidak dikenakan tarif.
“Kewajiban pelaporan untuk barang digital tak berwujud tetap membebani secara administratif dan menciptakan ketidakpastian,” ucap USTR.
Selain itu, UU ITE dan aturan soal konten internet yang bisa diblokir dinilai terlalu luas dan tidak jelas, menciptakan iklim tidak aman bagi platform digital asing.
8. Hambatan Investasi Asing
AS mengeluhkan bahwa Indonesia masih mempertahankan beberapa larangan dalam Daftar Negatif Investasi (DNI), meski pemerintah mengklaim sudah menghapusnya. Beberapa sektor strategis tetap membatasi kepemilikan asing.
“Sektor media, penyiaran, dan transportasi udara masih tunduk pada batas kepemilikan asing antara 20% hingga 49%,” kata USTR.
9. Subsidi Ekspor dan Insentif Fiskal
Indonesia dinilai memberikan subsidi fiskal dan insentif pajak yang sangat kuat kepada sektor-sektor tertentu, khususnya di kawasan ekonomi khusus (KEK). AS mendesak Indonesia untuk mengungkap secara terbuka seluruh program subsidi ke WTO.
“Amerika Serikat terus mendorong Indonesia menyerahkan pemberitahuan atas semua program subsidi kepada WTO,” ujar laporan itu.
10. Masalah Struktural dan Ketidakpastian Regulasi
AS menilai iklim bisnis di Indonesia terganggu oleh masalah struktural seperti:
Korupsi Proses perizinan tanah yang lambat Penegakan kontrak yang lemah Ketidakpastian hukum dan kebijakan Ketiadaan partisipasi publik dalam penyusunan regulasi
“Banyak pemangku kepentingan AS memandang korupsi dan ketidakpastian regulasi sebagai hambatan besar untuk berbisnis di Indonesia,” kata USTR.***
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News
Sentimen: negatif (100%)