Sentimen
Positif (92%)
17 Apr 2025 : 01.00
Informasi Tambahan

Hewan: Kambing

Kab/Kota: Garut, Penggilingan, Tasikmalaya

Kampung Naga, Benteng Terakhir Budaya Sunda yang Menolak Modernisasi

17 Apr 2025 : 01.00 Views 13

Liputan6.com Liputan6.com Jenis Media: Regional

Kampung Naga, Benteng Terakhir Budaya Sunda yang Menolak Modernisasi

Liputan6.com, Tasikmalaya - Di tengah derap modernisasi, Kampung Naga Tasikmalaya, Jawa Barat, tetap teguh mempertahankan tradisi Sunda kuno. Desa adat ini menolak listrik, bahan bangunan modern, dan perubahan gaya hidup yang dianggap mengancam kelestarian budaya leluhur.

Mengutip dari berbagai sumber, Kampung Naga terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Jaraknya sekitar 30 menit berjalan kaki dari jalan raya penghubung Garut-Tasikmalaya.

Untuk mencapai permukiman ini, pengunjung harus menuruni ratusan anak tangga yang membelah persawahan dan sungai kecil. Pihak adat setempat menerapkan aturan ketat bagi wisatawan.

Kunjungan hanya boleh dilakukan pada siang hari, dengan larangan bermalam kecuali untuk keperluan penelitian budaya. Setiap pengunjung wajib didampingi pemandu lokal dan dilarang mengambil foto di area tertentu yang dianggap sakral.

Seluruh rumah di Kampung Naga tetap mempertahankan bentuk asli Sunda abad ke-17. Dinding terbuat dari bilah bambu anyaman (bilik).

Sementara atap menggunakan ijuk hitam yang diganti setiap 5-10 tahun sekali. Tidak ada semen atau seng yang boleh digunakan.

Tata letak permukiman mengikuti aturan adat. Rumah menghadap utara-selatan, lantai harus dari tanah liat yang dipadatkan, dan tinggi bangunan tidak boleh melebihi 4 meter.

Uniknya, setiap rumah tidak memiliki kamar tidur. Kegiatan istirahat dilakukan di ruang utama bersama keluarga. Masyarakat Kampung Naga mempraktikkan pertanian organik turun-temurun. Mereka menggunakan sistem huma (ladang berpindah) dan tidak memakai pestisida sintetik.

Benih padi lokal seperti pare ketan dan pare gede hanya diperoleh dari warisan leluhur, bukan bibit hibrida. Hasil panen diolah secara tradisional.

Beras ditumbuk dengan lesung kayu, sementara gula merah dibuat dari nira kelapa yang dimasak di tungku tanah liat. Tidak ada mesin penggilingan padi yang diizinkan beroperasi di wilayah adat.

Sebagian besar wilayah Kampung Naga berupa hutan larangan seluas 1,5 hektare. Menurut kepercayaan setempat, kawasan ini dihuni oleh Eyang Singaparna, leluhur pendiri kampung.

Warga dilarang menebang pohon, berburu, atau bahkan mengambil ranting kering tanpa izin tetua adat. Hutan menyediakan sumber obat-obatan tradisional dan air bersih melalui mata air alami. Setiap tahun, diadakan ritual Ngarumat Leuweung (merawat hutan) dengan menyembelih kambing hitam sebagai persembahan.

Penulis: Ade Yofi Faidzun

Sentimen: positif (92.8%)