Sentimen
Informasi Tambahan
Event: Hari Raya Nyepi
Kab/Kota: Banyuwangi, Denpasar, Jember, Malang, Pasuruan, Situbondo, Surabaya
Mudik Setahun Sekali dari Bali ke Malang demi Merajut Rindu Regional 30 Maret 2025
Kompas.com
Jenis Media: Metropolitan
/data/photo/2024/04/05/660f92675ecb3.jpg?w=400&resize=400,225&ssl=1)
Mudik Setahun Sekali dari Bali ke Malang demi Merajut Rindu Tim Redaksi KOMPAS.com - Setiap tahun, ada satu hal yang tak pernah terlewatkan bagi Budiarto , seorang perantau asal Malang yang telah lama mencari nafkah di Bali . Mudik bukan sekadar tradisi; baginya, pulang ke kampung halaman adalah kewajiban. Momen sakral ini menjadi jembatan antara kerinduan dan kebahagiaan setelah setahun penuh merantau. “Setahun sekali, wajib pulang. Nggak ada yang lebih penting dari bertemu keluarga,” katanya kepada Kompas.com , Minggu (30/3/2025) pagi. Bersama sang adik, Budiarto menempuh perjalanan dari Denpasar menuju Malang dengan menggunakan sepeda motor. Baginya, mudik berkelompok dengan teman-teman satu pekerjaan membuat perjalanan terasa lebih seru. “Kalau naik motor banyak temannya. Satu kerjaan ada enam orang yang pulang ke Jawa. Ada yang dari Malang, Surabaya, Jember. Goncengan-goncengan, ada juga yang sendirian,” ujar pria yang bekerja di daerah Ubung. Dengan berangkat dini hari, perjalanan menuju Gilimanuk hanya memakan waktu tiga jam. Namun, begitu tiba di Pelabuhan Ketapang, antrian panjang sudah menanti. “Saat itu jalan masih lengang, tidak terlalu ramai. Macetnya baru terasa di sini, setelah nyebrang sulit masuk,” imbuhnya. Perjalanan darat menuju Malang menghabiskan enam jam tanpa kendala berarti. Istirahat di kapal dimanfaatkan sebaik mungkin dan hanya berhenti sejenak saat mengisi bensin. Meski tahun ini ia mudik lebih awal karena bertepatan dengan Hari Raya Nyepi, semangatnya tetap sama. “Biasanya pulang H-3 Lebaran, tapi tahun ini takut pelabuhan tutup, jadi mudik lebih awal,” katanya. Mudik bukan hanya soal perjalanan, tetapi juga tentang menghadapi tantangan di jalanan. Salah satu pengalaman yang paling diingatnya adalah ketika hujan deras mengguyur perjalanannya menuju pelabuhan yang terletak di daerah Jembrana itu. “Pernah kehujanan di perjalanan ke pelabuhan. Sampai kapal, baju basah sampai kering sendiri karena antre lima jam,” ujar pria yang bekerja di bidang konstruksi. Untuk menaiki kapal, ia tidak pernah memilih besar atau kecilnya. Namun, ada satu hal yang selalu membuatnya kesal karena penataan motor yang asal-asalan. “Pernah saya marah ke petugas. Motor ditata kaya kayu, lecet-lecet semua,” sambungnya. Selama menjalani mudik ke Kota Malang, Budiarto selalu memilih berangkat tengah malam agar tiba di Banyuwangi saat subuh. “Biar perjalanan ke Malang masih terang. Daerah Pasuruan kalau malam rawan begal,” ucap pria berusia 48 tahun itu. Selain itu, jalur yang dilewati pun penuh tantangan, terutama di Situbondo yang memiliki jalan tambalan. “Jalanannya rata tapi tambalan semua, motor serasa jalan di batu-batu,” keluhnya. Meski harus menempuh perjalanan jauh, Budiarto tidak membawa banyak barang karena hanya mendapatkan waktu libur 10 hari saja. Sehingga, tibanya di Malang, waktu yang dimilikinya tak lama untuk menikmati libur Lebaran Hari Raya Idul Fitri ini, sekitar lima hari sebelum harus kembali ke Bali. “Nggak bawa oleh-oleh, biasanya orang rumah minta mentahannya saja,” katanya sembari tertawa. Baginya, mudik bukan sekadar perjalanan pulang, tetapi ritual yang tak bisa dilewatkan. Ia masih mengingat dengan jelas momen ketika pertama kali bekerja di Bali. Sebagai karyawan baru, ia tak diizinkan pulang sebelum setahun bekerja. Saat itu, semua keluarga sudah berkumpul, hanya dia yang absen. “Seru, karena ini kan tradisi buat ketemu keluarga. Wajib, karena orang tua tinggal satu, ibu,” ujarnya dengan nada haru. Momen paling menguras emosi adalah saat ia melakukan panggilan video dengan ibunya. “Waktu itu, semua keluarga sudah kumpul, cuma saya yang nggak bisa pulang. Pas video call sama ibu, beliau nangis. Saya juga ikut nangis,” kenang Budiarto. Kini sejauh apa pun jarak memisahkan, tidak ada yang lebih berarti selain pulang dan memeluk ibu. Karena bagi seorang perantau, rumah bukan hanya tentang tempat, tapi tentang kehangatan orang-orang terkasih yang selalu menunggu kepulangannya. Copyright 2008 - 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Sentimen: negatif (99.6%)