Sentimen
Informasi Tambahan
Brand/Merek: Wuling
BUMN: Berdikari
Tokoh Terkait
Penyontek yang Menjadi Game Changer
Espos.id
Jenis Media: Kolom

"Apa yang tidak membunuh kita, akan membuat kita semakin kuat," kata filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche, dalam Twilight of the Idols (1888).
Kalimat itu sering digunakan menggambarkan tantangan atau penderitaan dapat memperkuat seseorang secara mental, emosional, fisik, hingga kompetensi.
Deepseek menjadi salah satu bukti China memegang teguh kalimat Nietzsche itu. Deepseek adalah teknologi kecerdasan buatan alias akal imitasi (AI) buatan Negeri Tirai Bambu itu yang menggebrak dunia teknologi global.
Deepseek merusak hegemoni AI buatan Amerika Serikat seperti ChatGPT, Gemini, Copilot, dan lainnya di tengah gempuran embargo semikonduktor canggih yang dilakukan negeri Amerika Serikat kepada China.
China membuktikan dengan 1,4 miliar penduduk bukanlah negara yang cengeng, mudah menyerah, dan gampang ditaklukkan. Situasi tak mengenakkan justru membulatkan tekad China tidak bergantung pada negara lain dalam hal apa pun, terutama teknologi.
Beberapa perusahaan China terus menunjukkan kemajuan pengembangan teknologi, seperti yang ditunjukkan perusahaan AI DeepSeek, meski dibebani sejumlah sanksi.
Secara keseluruhan, sanksi Amerika Serikat terhadap China mencerminkan persaingan yang semakin intens dalam bidang ekonomi, teknologi, dan keamanan nasional.
Deepseek hanya satu dari sekian banyak gebrakan China di berbagai sektor untuk membuktikan mereka adalah salah satu pemain utama di tataran global. Perlahan, namun pasti, China menggeser dominasi Amerika Serikat dan negara-negara Eropa di panggung dunia.
Dulu China dikenal sebagai negara penyontek ulung. Berbagai produk yang dibuat negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Jerman, dan lainnya, bisa ditiru China.
Saat itu mereka tak terlalu mementingkan kualitas, yang penting produk tiruan memberikan manfaat seperti barang asli, namun bisa dijual dengan harga jauh lebih murah.
Sering ada fitur tambahan yang disematkan untuk meningkatkan nilai jual sehingga dengan mudah diserap pasar, terutama di negara berkembang.
Pemerintah China konon memberikan subsidi kepada industri dalam negeri mereka agar menghasilkan barang dengan harga yang sangat kompetitif. Negara-negara yang digelontor produk-produk China bertahun-tahun mulai merasakan ketergantungan.
Produk China, yang awalnya dianggap sebelah mata, kini tak lagi murahan, meski harganya masih lebih murah dibandingkan produk Amerika Serikat dan negeri-negeri Barat.
Barang-barang buatan Negeri Tirai Bambu berangsur-angsur menempati hati masyarakat yang menjadikan pilihan menarik sebagai subtitusi produk negara maju yang harganya bikin kantong jebol.
Setelah menguasai teknologi, China perlahan-lahan memperhatikan aspek build quality. Kini desain dan daya tahan produk China tak lagi bisa dibilang ecek-ecek.
Lihat saja mobil-mobil listrik buatan China kini banyak bersliweran di jalan-jalan di sekitar kita. Diawali Air EV buatan Wuling, disusul Binguo dan Cloud.
Belakangan mobil-mobil listrik dengan desain menarik dan futuristik buatan BYD menyita perhatian pengguna jalan. Pasar tak lagi malu memakai mobil China yang dulu dinilai berkualitas rendah.
Invasi mobil China tidak cuma terjadi di Indonesia, namun juga di negara-negara lain. Hal ini membuat Presiden Amerika Serikat Donald Trump gerah.
Ia menunjukkan kekhawatiran pada keberlangsungan industri otomotif Amerika Serikat yang sempat merajai dunia sebelum digempur Eropa, Jepang, dan belakangan China yang menempatkan diri sebagai game changer.
Trump tak mau memedulikan soal energi hijau yang dia anggap justru mematikan industri otomotif Amerika Serikat yang dikenal sebagai produsen kendaraan bertenaga besar, namun boros bahan bakar.
Begitu dilantik Trump menandatangani perintah eksekutif yang membatalkan sejumlah kebijakan tentang kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) yang diterapkan pemerintahan sebelumnya.
Ia mencabut mandat yang mendorong adopsi kendaraan listrik dan mengakhiri insentif pajak federal hingga US$7.500 untuk pembelian EV.
Ia juga menghentikan pendanaan pengembangan infrastruktur pengisian daya EV dan melonggarkan standar emisi gas buang yang berpotensi meningkatkan polusi kendaraan.
Langkah-langkah ini menandai perubahan signifikan dalam kebijakan energi Amerika Serikat dengan fokus beralih dari promosi energi hijau dan kendaraan listrik menuju peningkatan produksi dan konsumsi bahan bakar fosil.
Keputusan ini bisa dianggap sebagai kemunduran dari upaya global menjaga keberlangsungan bumi tetap hijau. Keputusan Trump ini menjadikan Amerika Serikat head to head dengan arus utama pendorong green energy yang dimotori China.
Seberapa kuat Amerika Serikat menahan? Ada banyak faktor yang menentukan, tapi yang pasti tidak akan mudah. Tidak hanya di sektor teknologi dan industri otomotif China merongrong Amerika Serikat.
Di sektor finansial China cukup agresif. Bersama Brasil, Rusia, India, dan Afrika Selatan, China mendirikan BRICS. Baru-baru ini, Indonesia resmi bergabung.
Salah satu tujuan BRICS mengurangi dominasi dolar Amerika Serikat dalam perdagangan internasional. Tentu situasi ini tak menyenangkan bagi Amerika Serikat yang selama ini memegang kendali atas transaksi perdagangan dunia berkat penggunaan mata uangnya.
Sepak terjang China dan kemampuan bertahan dari berbagai sanksi dan gempuran embargo bisa menjadi pelajaran bagi kita, bangsa Indonesia, bahwa pada akhirnya kita harus mampu berdikari, berdiri di kaki sendiri.
Kurangi ketergantungan pada negara lain, terlebih di tengah situasi global yang tak menentu akiat perang Rusia-Ukraina dan genosida yang dilakukan Israel terhadap bangsa Palestina. Perang dunia ketiga bisa saja terjadi, meski kita berharap tidak.
Apakah Indonesia bisa menjadi sekuat China? Melihat sumber daya alam yang dimiliki, sangat bisa. Bagaimana dengan sumber daya manusia? Ini yang masih tanda tanya.
Waktu dan energi kita tampaknya masih banyak dibuang untuk melanggengkan kemelut dan konflik antaranak bangsa sendiri hanya karena beda pilihan dan sudut pandang. Mau sampai kapan demikian?
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 24 Maret 2025. Penulis adalah Manajer Program Solopos Media Group)
Sentimen: neutral (0%)