Sentimen
Informasi Tambahan
Hewan: Ayam
Kekonyolan yang Kelewat Tragis
Espos.id
Jenis Media: Kolom

Sebuah insiden yang tidak hanya tragis, tapi juga absurd, terjadi di Kampung Karang Manik, Kecamatan Negara Batin, Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung, Senin (17/3/2025).
Sebanyak 17 polisi menggerebek arena judi sabung ayam, namun malah ditembaki orang tak dikenal. Tiga orang polisi meninggal dunia setelah mengalami luka tembak pada bagian kepala. Salah satunya Kepala Polsek Negara Batin Inspektur Polisi Satu Lusiyanto.
Tiga polisi itu meregang nyawa bukan di tangan para penjudi. Bukan pula oleh geng kriminal atau kelompok bersenjata. Mereka mati oleh tindakan sesama aparat negara, yakni dua prakurit TNI, Pembantu Letnan Satu Lubis selaku Komandan Subrayon Militer Negara Batin dan Kopral Kepala Basarsyah selaku anggota Subrayon Militer Negara Batin.
Ini bukan plot film action murahan. Ini kejadian nyata di negara yang konon menjunjung tinggi penegakan hukum. Aksi nekat prajurit TNI yang memberondong 17 polisi setelah menggerebek arena judi sabung ayam itu tentu membikin kita geleng-geleng kepala.
Mengapa aparat negara bisa menghabisi nyawa sesama aparat negara hanya karena judi sabung ayam? Berapa nilai tes psikologi aparat TNI itu? Mungkinkah mereka memiliki masalah mental sehingga punya kepribadian yang otoriter?
Bagaimana mereka bisa lolos seleksi menjadi aparat TNI? Apakah mungkin mereka lolos seleksi melalui “jalur khusus”? Dalam psikologi sosial ada konsep authoritarian personality yang dikenalkan Theodor Adorno.
Sosiolog dan filsuf berkebangsaan Jerman pada abad ke-20 ini menyebut ciri-ciri individu yang memiliki kepribadian otoriter, seperti mudah tersulut emosi, patuh secara buta pada hierarki, dan gampang menyalahgunakan kekuasaan.
Mungkinkah prajurit TNI tersebut memiliki kepribadian otoriter sehingga menganggap dirinya lebih berhak menentukan siapa yang boleh hidup dan siapa yang harus mati. Tentu saja ini bukan sekadar persoalan karakter individu. Ini juga soal sistem.
Seberapa serius institusi TNI memastikan calon aparat tidak hanya kuat secara fisik, tetapi juga matang secara mental dan moral? Jangan-jangan, asalkan lolos tes fisik dan bisa push-up 100 kali, langsung diangkat menjadi aparat, tanpa benar-benar diuji kestabilan emosinya.
Dalam teori kekerasan struktural ala Johan Galtung, sosiolog asal Norwegia yang intensif dalam studi perdamaian dan konflik, kekerasan dalam masyarakat tidak hanya terjadi karena individu yang kejam, tapi juga karena sistem yang melanggengkan budaya kekerasan.
Ketika seorang aparat sejak awal dilatih dan ditempa mentalnya dengan pendekatan otoriter, tanpa kontrol emosi yang baik, tidak mengherankan mereka kemudian bertindak brutal tanpa pikir panjang.
Mari berpikir sejenak. Jika aparat TNI bisa dengan enteng menembak polisi, siapa sebenarnya musuh bagi mereka? Apakah polisi dianggap rival yang mengancam keberlangsungan bisnis judi sabung ayam?
Adakah ikatan emosional antara pelaku dengan para penjudi ayam di arena tersebut? Apakah prajurit TNI itu menjadi backing yang melindungi praktik judi sabung ayam tersebut? Apakah ini cerminan betapa lemah profesionalisme aparat negara kita?
Apapun alasannya, insiden ini jelas mencoreng wajah institusi TNI. Kepercayaan publik terhadap aparat yang sebelumnya tidak tinggi-tinggi amat, kembali anjlok. Kasus ini adalah ironi level tinggi.
Polisi yang seharusnya menjaga hukum justru mati oleh peluru aparat yang seharusnya melindungi negara. Ini bukan hanya tragedi, ini lelucon pahit tentang kualitas perekrutan dan pembinaan aparat kita.
Mungkin, pada masa depan, otoritas TNI perlu memperketat seleksi aparat. Tidak cukup hanya kuat secara fisik dan loyal kepada negara. TNI harus bisa memastikan mereka sehat secara akal agar kita tidak terus-terusan melihat kekonyolan berdarah seperti ini atau malah menjadi korban kekonyolan seperti itu.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 22 Maret 2025. Penulis adalah Manajer Program Solopos Media Group)
Sentimen: neutral (0%)