Sentimen
Undefined (0%)
21 Mar 2025 : 19.30
Informasi Tambahan

Agama: Katolik

Kab/Kota: Gunung, Semarang

Kasus: kekerasan seksual, Narkoba

Trust Issue Polisi

21 Mar 2025 : 19.30 Views 7

Espos.id Espos.id Jenis Media: Kolom

Trust Issue Polisi

Suatu pagi menjelang sahur saya menyalakan TV, memindah-mindah kanal untuk memeriksa acara. Saat tiba di kanal Metro TV, kebetulan tengah ditayangkan iklan yang ternyata dari Polri.

Isinya tentu konten positif tentang peran Polri di tengah masyarakat dan ditutup dengan pernyataan Kepala Polri mengenai kesiapan Polri membantu masyarakat.

Saya sedikit kaget, bisa dibilang saya selama ini tak pernah bertemu iklan layanan masyarakat dari Polri di TV. Mungkin ini upaya Polri untuk membangun citra positif, entahlah. 

Ulang tahun Polri masih lama, tanggal 1 Juli, jadi iklan itu jelas tak berkaitan dengan perayaan ulang tahun alat negara itu. Saya jadi berpikir citra positif akan sulit terbangun dengan banyak berita buruk soal polisi belakangan ini. 

Yang paling “gila” tentu soal perilaku seorang kepala polres yang ternyata membuat konten seksual dengan objek (korban) anak di bawah umur yang lantas dikirim ke situs porno di luar negeri. 

Polisi yang minta suap, polisi yang membunuh sembarangan, polisi yang korup ternyata tidak cukup. Kini ada polisi yang bikin konten pornografi yang dikirim ke situs pornografi dan terciduk oleh aparat kepolisian negara tetangga, Australia. 

Wis, jan ora duwe rai! 

Buat saya yang orang awam, ini kembali menjadi red flag yang makin banyak buat Polri. Ada sesuatu yang salah sedang terus terjadi di tubuh Polri dan sayangnya hal itu belum memicu tindakan yang betul-betul serius dari pemimpin.

Semua kasus yang terjadi di tubuh Polri masih diperlakukan sebagai single incident alias kasus tunggal, ditangani satu demi satu, diiringi gemuruh hujatan warganet di media sosial. 

Satu demi satu “dikomentari” oleh pemimpin Polri dengan keprihatinan dan janji penanganan dan penindakan tegas. Hanya satu demi satu dan sementara yang satu sudah diproses muncul lagi kasus lain. 

Menurut saya, butuh sebuah proses reformasi besar di tubuh Polri untuk betul-betul membersihkan aparatur penegak hukum itu dari berbagai perilaku menyimpang. 

Psikolog di Universitas Katolik Soegijapranata, Kota Semarang, Lita Widyo, dalam wawancara dengan saya melalui korespondensi pesan di X, Minggu (16/3/2025), mengatakan ada faktor mentalitas individu dan organisasi yang harus diperbaiki di tubuh Polri. 

Menurut dia, prosedur tes psikologi tidak menjamin proses penyaringan orang untuk menduduki jabatan karena itu hanya menjadi salah satu alat ukur. 

Dibutuhkan proses lain seperti wawancara mendalam untuk menhetahui kondisi kejiwaan seseorang, namun dia juga mengakui hal ini akan sulit dilakukan karena keterbatasan waktu dan kesempatan. 

Lita menyebut mengenali pribadi seseorang sebenarnya paling efektif dengan banyak berinteraksi langsung, namun secara autentik, apa adanya, dalam berbagai suasana rileks. Dalam kondisi itu kejujuran-kejujuran jiwa secara natural muncul. 

”Masalahnya hal ini hampir mustahil terjadi di kalangan polisi/tentara. Atasan sangat kecil kemungkinan bisa ‘melihat secara telanjang’, bawahan sulit tampil secara autentik, sehingga atasan sulit menakar dengan akurat ketika akan menaikkan pangkat atau memberi jabatan baru,” ujar dia. 

Dia menyebut hubungan atasan-bawahan di lingkup aparatur negara selalu diselubungi topeng. Para bawahan menggunakan topeng saat berinteraksi dengan pemimpin. Sebaliknya, pemimpin juga berjarak dengan para bawahan. Jiwa adalah sesuatu yang sulit dideteksi.

Dia dalam sebuah unggahan yang mengomentari kasus eks Kepala Polres Ngada menyatakan bahwa perilaku kejahatan seksual yang dilakukan itu bukan sesuatu yang terjadi dalam waktu singkat. 

”Order anak² di bwh umur, melakukan KS [kekerasan seksual] kpd mrk, mengupload ke situs porno, bonus make narkoba. Ini bukan paket kjahatan tiba².  Gejalanya bs diketahui bertahun² sblumnya,” begitu analisisLita dalam sebuah unggahan di X yang saya kutip secara verbatim

”Pertanyaanku: Bgmn bisa manusia seproblematik dia smpai ke jenjang kapolres?” imbuh dia pula yang juga saya kutip secara verbatim. 

Terasa tepat pernyataan Ketua DPR Puan Maharani bahwa kasus kekerasan seksual yang dilakukan Ajun Komisaris Besar Polisi Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja saat menjabat Kepala Polres Ngada sebagai fenomena gunung es yang menambah daftar panjang kejahatan seksual di Indonesia. 

”Kita masih memiliki pekerjaan rumah yang sangat besar untuk menghapuskan kekerasan seksual di Indonesia. Ini menjadi fenomena gunung es yang harus menjadi perhatian kita bersama,” kata Puan, Jumat (14/3/2025), seperti diberitakan Antara.

Dia menekankan perlindungan terhadap anak dan perempuan harus menjadi prioritas utama dalam kebijakan negara, tidak hanya sekadar menjadi wacana tanpa tindakan nyata. 

”Jika negara gagal memberikan keadilan bagi korban dan tidak serius dalam upaya pencegahan, maka kasus serupa akan terus terulang,” ujar Puan.

Tentu saja gunung es dalam hal ini bukan hanya soal kejahatan seksual, tapi juga gunung es permasalahan kualitas personel Polri. Banyak konten positif mengenai Polri yang juga diunggah secara pribadi oleh sejumlah personel Polri di akun pribadi tentang aktivitas mereka membantu masyarakat tentu harus diapresiasi.

Misalnya akun Instagram @abster_matthew yang sering membagikan aktivitas membantu pengawalan ambulans saat berjumpa di jalan raya, akun Instagram @purnomopolisibaik yang secara pribadi merawat orang dengan gangguan jiwa atau ODGJ yang ditemukan, dan banyak lainnya. 

Sayangnya, semua kebaikan itu seperti terempas begitu saja ketika kemudian mencuat berita kebobrokan rekan sejawat mereka. Karena itulah, sebagai bagian masyarakat sipil, saya ingin mengusulkan agar pemerintah, khususnya Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, memberikan perhatian khusus terhadap hal yang saya yakini menjadi krisis sumber daya manusia Polri. 

Kalau perlu bentuklah sebuah komisi khusus untuk meneliti kondisi riil pengelolaan sumber daya manusia Polri. Tinjau ulang semua proses penilaian kinerja personel, kajian terhadap kepribadian, termasuk proses “kehidupan” di dalam kepolisian seperti apakah ada budaya suap-menyuap untuk mendapatkan jabatan, promosi, mutasi, dan sebagainya. 

Dalam waktu tertentu komisi ini harus melaporkan secara terbuka hasil kajian mereka dan rekomendasi-rekomendasi perbaikan harus langsung ditindaklanjuti oleh Polri. Semoga itu bisa terjadi. 

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 19 Maret 2025. Penulis adalah Manajer Konten Solopos Media Group)

Sentimen: neutral (0%)